Hal terberat apa yang membuat saya mau pengsan, selama pandemi?
Well banyak…
Kalo dibikin list
- Mikirin gimana caranya roots bisa bertahan
- Mikirin gimana caranya bisa tetap sehat
- Mikirin ABIB DAN KEGIATAN SEHARI-HARINYA.
Nah yang capslock itu yang paling ngeganjel…
Abib the explorer
Anak saya yang satu ini kan istimewa ya. Dia adalah anak outdoor, cara belajarnya kinestetik, dia dapet energi dari kehidupan sosial Bersama manusia lain (preferably dalam jumlah banyak), dia butuh ruang yang luas dan kegemarannya adalah berada di lingkungan baru setiap saat.
Pandemi membuat dia….MENDERITA!!!
Tahun pertama, 2020, kami melewatinya dengan babak belur. Sungguh dia yang penuh semangat dan selalu senang belajar hal baru berubah menjadi seonggok manusia yang tidak punya semangat, procrastinating, gak punya motivasi, apapun yang dia lakukan gak ada yang bikin dia happy, dan sekolah jadi hal yang paling dia benci.
Waktu awal-awal saya sempet nge-gas juga karena sayanya juga dalam kondisi yang stress berat kan banyak pikiran dan banyak banget yang harus di-adjust di pekerjaan. Lalu saya sadar bahwa, ini rasanya mungkin lebih berat untuk Abib.
Minta bantuan
Saya meminta konselor sekolah untuk ikut membantu, saya juga konsultasi ke Belinda, psikolog kesayangan kami. Lalu konsultasi ke dokter Adilla, yang kemudian menyatakan bahwa Abib memang mengalami regresi karena craving sensori, maka harus terapi untuk menentukan Langkah berikutnya; sensory lifestyle.
Eh iya, saya tau, saya enggak akan bisa jalan sendiri. Saya butuh banyak sekali bantuan. Saya sendiri keteteran soalnya, dengan begitu banyak kejadian dalam satu waktu. Saya tau, kalau saya enggak minta bantuan, pilihannya antara saya atau Abib yang harus jadi korban. Dan itu bukan pilihan…
Belajar lagi
Sambil terapi dan konsultasi terus berjalan, saya juga terus belajar.
Saya ikut berbagai kelas online psikologi anak dari summit-summit di GOZEN, play first summit, sampe sertifikasi PEC di The nourishing center-positive psychology. Karena saya tau saya harus belajar, ini hal baru dan saya enggak ngerti.
Self-efficacy
Di salah satu kelas itu, ada pembahasan soal Self-efficacy. Apa ya Bahasa indonesianya? What a person believes they can do with their skills under certain condition. Kepercayaan seseorang akan kemampuannya dalam menuntaskan suatu hal dengan sukses, kali ya?!
Nah, saya jadi belajar bahwa hal itu SANGAT PENTING Ketika berusaha mengembalikan motivasi si Abib. Soalnya, dia tentu harus mulai dari goal besar dan dirinci ke list-to do kecil yang bisa dilakukan setiap hari untuk mencapai goals tersebut.
Yah kaya ngitung KPI (Key performance indicator) kalo di kantor gitu, lho! Bedanya Cuma ini alat ukurnya bukan angka apalagi financial balance. Hahahaha…
Berangkat dari kerangka berpikir yang rasional dan taktis itu, saya jadi ngeh bahwa saya harus boosting self-efficacy si Abib nih, sebagai upaya dia untuk bertahan dan bahkan tidak lagi mengalami kemunduran.
Soalnya, self-efficacy saya cukup bagus, bagi saya, difficult tasks itu adalah interesting challenge to be mastered. Tapi kan saya INTJ sejati yang susah banget memahami orang lain dan kenapa tu orang gak bisa! Hehehe..jadi ngajar’s not my thing, sebetulnya. Namun berhubung ini anak saya, maka enggak ada pilihan ya harus saya coba.
Goal-setting
Saya tau, cara boosting self-efficacy itu dengan menjadi role models, dengan menjadi cheerleader (terus percaya, dan mengingatkan Abib bahwa saya akan selalu ada nemenin dia), mengajarkan regulasi emosi, mendukung agar dia mastery something, membantu dia mengenal strengthsnya, dan membantu dia memetakan masalah yang terjadi.
Gampang kok. Yang susah mengendalikan sabar saya yang tipis…
Standarnya ya GOAL SETTING seperti yang biasa digunakan di kantor-kantor; SMART. Tau kan…
Specific, Measurable, Attainable, Realistic, Timely.
Metode WOOP
Nah, tapi kalo di PEC, Saya diajarin pake WOOP. Apa itu?
WOOP METHOD
Wish: Children looking what should they wish to accomplish
Outcome: They hope will come from the thing that they wanna see happen. (what it would like?)
Obstacle: What may be the obstacle? What may get in a way that they plan?
Plan: Putting all that together and put it in a plan
Gunakan WOOP untuk semua project yang dia kerjakan. Jadi dia paham banget why-nya, what to do, how to say, obstacle dan bisa bikin perencanaan yang ajeg.
Nah kemudian, gunakan ilmu otak. Karena saya harus mulai dengan melakukan approach, kaaan? Nah tau gak bahwa otak kita enggak bisa enggak melakukan sesuatu? Hahahaha…iya maksudnya, otak kita itu susah memahami kalimat dengan “NOT”!
Because we cannot imagine ourselves “Not doing something” we can only imagine ourselves doing something.
YOU SHOULD THINK ABOUT WHAT YOU WANT, NOT WHAT U DON’T WANT.
Maksudnye gimane sik maleh?
Gini contohnya:
- I don’t want to be in debt anymore
I want to have financial abundance
- I don’t want more stress
I want calm and ease
- I don’t want students to act out
I want a classroom where students are engaged
Iyak gunakan kalimat yang enggak pake “enggak” gitu deh. Kalimat positip.
Mental constracting
Truuuus abis itu, gunakan strategi
MENTAL CONSTRACTING
Maksudnya adalah menggunakan Statements:
If ————- then —————
When————- then———–
Contohnya:
When I want to watch television instead of doing my homework, Then I will remind myself that I can use my favorite show as a reward and do 45” of work first.
Breakdown goal besar ke hal kecil
Nah, karena si PEC ini science-based, jadi Kembali lagi ke ilmu otak:
SIMPLIFY THE GOAL INTO IT’S SMALLEST ACTION STEPS
How do you break your goals into a small component?
With MIND MAP.
Make it as specific as possible. More mini wins; reward. Iyak, one step at a time. Kaya naik tangga aja, satu persatu. Kalo langsung 3 anak tangga kuatir kejengkang, sis.
Ini dia maksudnya, mulai dari goals besar lalu lakukan pemetaan ke list-to do kecil-kecil yang bahkan bisa dicicil setiap hari sampe mastery. 10.000 hours rules itu lhooo…
Soalnya si otak kita yang paling bawah itu, yang ngatur emosi, a.k.a otak reptile tu lebih suka sama hal-hal kecil dan mudah. Bener kan katanya “Mendingan ibadah yang kecil-kecil tapi dilakukan setiap hari!” edan emang agama gue ya? Hahahhaa..
Note penting untuk boosting si SELF-EFFICACY ini adalah:
- Spesifik kalau mau ngasih apresiasi; “You did well because you tried 3 times to draw flower without giving up” instead of praising them with “GOOD JOB”
- Providing just-right activities. Children need to be involve in the decision making process and practice new skills that are challenging but achievable.
Kondisi terkendali
ALHAMDULILLAH sekarang udah JAUH BANGET MEMBAIK.
Saya ajak dia mulai dari pemetaan skills. Karena anak ini kan ikut les, ikut sekolah ini itu. Alias skillsnya banyak, tapi dia gak termotivasi karena susah banget coping sama pandemic ini. Makanya saya mulai dari situ.
Dia petakan skillsnya lalu dia breakdown, skills mana yang mau dia fokuskan sampe akhir tahun.
Disesuaikan dengan “WHY”-nya. Dia mau tujuannya apa? Cita-cita dia apa? Tujuan besar hidupnya apa? Nah dari situ dia milih; fotografi, painting, drawing, public speaking and business untuk di-upskills.
Ide bisnis pot
Tiba-tiba dia punya ide untuk membangun bisnis; POTTOPIA. Dia mau beli pot-pot gerabah kecil, lalu di cat dan dijual. Dia presentasi ide-nya. Dan why-nya adalah “Nyanyak sering bikin charity, kegiatan-kegiatan dimana-mana untuk anak-anak, aku pengen ikutan, aku pengen punya uang sendiri biar bisa melakukan sesuatu”
Oh sungguh terkesima aku.
Sebenernya sih goals saya Cuma kepengen bikin dia semangat lagi, punya passion lagi, punya sesuatu yang dia seneng lakuin jadi bisa lebih mudah coping dengan situasi yang serba berat ini.
Alhamdulillah kalo akhirnya bisa jadi sesuatu yang lebih besar.
Trus implementasinya gimana?
Yang masih jadi kendala adalah nemenin dia sih. Soalnya saya juga banyak banget kerjaannya dan dia kan butuh banget ditemenin. Cuma kerangka berpikir dan semangat udah mulai Kembali. Tentu ini berkat bantuan semua pihak juga, ya dari sekolah yang suportif banget, miss-miss dan konselor, juga dari terapi yang dia jalanin sepekan sekali.
Sekolah online masih on-off semangatnya, tapi ya gimana Namanya juga bocah kan maunya pecicilan. Saya mah yang penting jiwa raganya selamet aja dulu deh. Gak tinggi kok ekspektasi saya, karena ini kan force majeur.
Tapi asli sih belajar itu membantu banget. Kebayang kalau saya enggak belajar dan enggak minta bantuan, mau jadi apa saya dan Abib?
Koneksi tentu yang utama, karena saya terkoneksi dengan Abib, maka saya tau kalau ada yang gak beres. Saya jadi tau apa yang dirasain Abib dan saya akan terus berusaha enggak nyerah untuk membantu dia. Karena dia masih kecil, otaknya masih terus tumbuh. Gimana saya mau ngarepin dia mampu coping, kalau prefrontal cortexnya aja masih cor-coran.
Tentu harus saya yang turun tangan, dan saya percaya, secapek apapun yang saya rasakan ini, manfaatnya jadi JAUH LEBIH BANYAK. Bukan Cuma buat Abib, namun justru juga buat saya.