Monthly Archives: March 2022

My Emotion Journey: OVERTHINKING

Image

Setelah saya nulis soal Failure kemarin, dan posting juga di Instagram Story, ternyata lumayan banyak yang komentar dan nanya ini itu terkait menghadapi perasaan gagal, sampe ke:

“Lalu kalau lagi meltdown, dan membiarkan segala perasaan sedih di dalam diri, trus idupnya gimana? Kan hidup enggak menunggu kita healing?”

Wah iya, saya lupa juga menyertakan cerita bahwa saya punya time management yang baik. Saya bisa mengatur waktu yang tepat, dan memberikan waktu untuk sedih dan merana sambil tetap menyelesaikan semua tasks dengan baik.

Saya bisa memberi jeda dan titik buat hidup 24 jam saya. Kalau tiba-tiba kabut datang dan membuat jiwa terasa mendung, saya akan rehat dan memberi waktu untuk diri saya merasakannya sampai reda, kemudian Kembali lagi bekerja.

Saya enggak lantas HILANG HEALING berhari-hari, karena saya tau, manusia itu hidup enggak hanya untuk dipenuhi hak-nya tapi juga memenuhi kewajibannya. Hak saya untuk merasakan perasaan, menjadi diri sendiri, terkoneksi dengan diri, harus berbanding lurus dengan kewajiban-kewajiban saya, yang merupakan konsekuensi dari pilihan hidup saya.

Tapi iya, itu gak otomatis terjadi, meski saya emang dari sananya udah pinter ngatur waktu. Ada hal-hal yang terjadi sehingga membuat saya lebih mampu me-manage waktu untuk emosi dan kewajiban.

Cerita dulu deh,

Saya ini biasanya kepalanya berisiiiiiik banget. Segalanya kepikiran, apalagi pas mau tidur. Asli sih semuanya seliweran seenaknya di kepala. Mikirin satu hal, merembet ke yang lain, trus connecting the dots, akhirnya gugling trus malah buka laptop.

Good thing; jadi konsep

Bad thing; kurang tidur

Ternyata yang saya pikir good thing itu gak good-good amat. Karena ternyata otak yang kurang tidur itu adalah otak yang kelelahan.

Dilihat dari circadian rhythm, perilaku saya udah salah banget. Karena jam 9 malem kan tubuh kita otomatis melepas melatonin. Itu hormone tidur supaya membantu tubuh tidur nyenyak.

Lah saya, udah mah overthinking, trus buka layar lagi. Padahal cahaya dari layar itu kan membuat otak berpikir bahwa saat itu masih terang, jadi belum waktunya tidur. Gak balance dong yak an hormonnya…

Lagipula, saat tidur itu kan justru saatnya tubuh kita melakukan banyak hal penting:

  1. Perbaikan otot
  2. Pertumbuhan tulang
  3. Pengaturan hormone
  4. Sortir ingatan

Jadi hasilnya tu kaya lingkaran setan: kurang tidur bikin cranky, disregulasi emosi. Nah disregulasi emosi ini kemudian bikin susah tidur. Ya gitu aja terus sampe gajah bisa masuk kulkas.

Menyadari hal ini membuat saya yakin bahwa ini kuncian saya sih.

Behaviour change itu SUSAH, iya. Tapi bukannya gak bisa, kok!

Saya mulai dari validasi, seperti biasa. Kenapa sih saya susah tidur? Ya karena :

  1. Kebiasaan, dan ini bermula sejak kecil sih karena selalu merasa tengah malam adalah waktu ternyaman untuk menikmati waktu sendirian. Rumah sepi, gak ada yang ngomong, gak ada siapa2, bisa duduk bengong ngeliatin bintang.
  2. Sekarang juga masih begitu, tapi karena bisa jadi diri sendiri di tengah malam. Bisa melakukan hal2 yang mau saya lakukan. Bikin konten, baca buku, nonton series, merangkai ide, bengong. Being truly Yasmina.

Intinya apa sih? Saya butuh waktu sendiri. Itu kan? Jadi saya switch,

Prinsipnya kaya melihara hewan di captivity. Tau gak saya belajar dari mana? Dari bukunya Temple Grandin; Animals makes us human. Iya disitu dia cerita bahwa hamster yang menggali-gali di kendang itu bukan berarti dia suka menggali. Dia menggali, karena di alam liar, Ketika dia menggali, dia mau bikin burrow.

Ya kan dia menggali, ke tanah, jadi liang buat dia ngumpet. Jadi yang dia butuhkan apa? Burrow.

Nah, instead of ribet merasa bahwa hamster harus dikasih banyak alas kayu karena dia suka menggali, mendingan kasih rumah2an yang dia bisa ngumpet dan merasa nyaman disitu. Dia gak akan ngegali lagi, karena dia udah dapat yang dia butuh. Meet the needs.

Sama lah kaya behavior anak yang tantrum, rewel, ya solusinya bukan gadget biar rewelnya ilang kan? Solusinya ya dicari akar penyebab si behavior itu apa. Baru deh diselesaikan.

Siapa tau dia Cuma butuh “burrow” ya kan?

Ya gitu juga dengan saya. Ternyata yang saya butuhkan adalah waktu sendirian, sepi dan nyaman.

Gak harus tengah malam kan sebenarnya?

Maka saya memulainya dengan ngobrol sama anak-anak, bertahap.

  1. Saya mulai jelasin, bahwa setiap hari saya akan butuh waktu sendirian. Saya butuh waktu untuk bernapas, karena pekerjaan sangat melelahkan. Kalau saya memaksakan diri main sama anak-anak tanpa memberi jeda untuk diri saya, yang terjadi saya akan cranky dan mudah marah-marah.
  2. Saya juga mulai ngasitau bahwa sekali2 nyanyak butuh keluar dan ketemu orang-orang dewasa untuk ngobrol dan berbagi. Jadi sesekali nyanyak akan pulang malam atau menghilang siang-siang.

Habis ngobrol dan ngejelasin ke mereka, perlahan saya coba bertahap. Awalnya dari hanya “hilang” 5-10 menit, sampe akhirnya sekarang saya bisa punya 20 menitan bahkan kadang 30 menit kalo lagi luar biasa capeknya.

Anak-anak gimana? Baik2 aja. Mereka ngerti dan bisa memahami bahwa ibunya butuh waktu dengan dirinya sendiri. Toh sebenarnya gak sering-sering kok. Kadang memang Cuma 10 menit aja.

Karena minimal #10Menitsehari cukup banget kok rekoneksi.

Nah, karena hak saya untuk bengong sendirian sudah dipenuhi, maka saya jadi lebih mudah tidur. Belom bisa dibawah jam 11 malem sih, tapi sekarang udah bisa dibawah jam 12 malem. Udah ada kemajuan. Pelan-pelan gapapa kaaaan?

Tapi yang berasa banget, saya juga jadi gak terlalu anxious. Saya jadi bisa mikir lebih jernih di siang hari. Nah yang paling alhamdulillah; saya berhenti OVERTHINKING.

Jadi kalau kaya sekarang, saya lagi sedih dan merana disebabkan oleh 1 hal, ya waktu bengong dan sendirian saya Cuma buat konsentrasi merasakan 8 sensori saya Ketika tenggelam dalam rasa yang satu ini aja. Enggak jadi kemana-mana, enggak mikir yang enggak-enggak, yaudah itu aja diselami sampe puas.

Kalau di Atlas of The Heart-nya Brene Brown, sepertinya ini ada di:

PLACES WE GO WHEN THINGS ARE UNCERTAIN or TOO MUCH. (Stress, overwhelm, anxiety, worry, avoidance, excitement, dread, fear, vulnerability)

Ada beberapa poin yang saya highlight:

ANXIETY feels like what I lovingly call the “Willy Wonka Shit Tunner”. None of it makes narrative sense; it’s just scary and confusing.

“You are afraid of surrender because you don’t want t lose control. But u never had control; all u had was ANXIETY!”

Worry is described as a chain of negative thoughts about bad things that might happen in the future.

Worrying is not a helpful coping mechanism, that we absolutely can learn how to control it, and that rather than suppressing worry, we need to dig into and address the emotion driving the thinking.

Avoidance, the second coping strategy for anxiety, is not showing up and often spending a lot of energy zigzagging around and away from that thing that already feels like it’s consuming us. And avoidance isn’t benign. It can hurt us, hurt other people, and lead to increased and mounting anxiety.

In her book The Dance of Fear, Dr.Harriet Lerner writes, “It is not fear that stops you from doing the brave and true thing in your daily life. Rather, the problem is avoidance. You want to feel comfortable, so you avoid doing or saying the thing that will evoke fear and other difficult emotions. Avoidance will make you feel less vulnerable in the short run, but it will never make you less afraid.”

Sekarang badan saya ada alarm-nya. Kalau saya udah kerja seharian, trus saya bilang cukup then cukup. Udah selesai. Waktunya saya istirahat, waktunya saya main sama anak-anak.

But believe me, semua kerjaan malah selesai dengan baik.

Saya bisa membuat tasks harian yang secukupnya, gak overworked. Tapi bisa selesai tanpa begadang. Dan begitu juga besok2nya, bahkan saya siang2 bisa punya waktu makan siang santai sambil ngobrol atau nonton vindes.

Eh kalo bagian ini tentu juga dengan bantuan Allah SWT ya ngasih saya tim baru yang LUAR BIASA KINERJANYA. Gila mereka kerja cepet dan bagus banget!!!

Jadi ya, saya bisa being vulnerable. Ngasih waktu buat nangis dan merana setiap hari sampai dukanya berangsur hilang. Sekaligus ngasih waktu juga untuk tubuh mendapatkan hak-nya: tidur.

Karena 24 jam itu ternyata cukup kok.

Oh ada juga yang bilang, kemarin:

“Min, kalau gundah kan Kembali aja ke Allah, sholat dan doa. Kok lo gak pernah bahas?”

Hmmm…iya saya enggak pernah bahas soal ibadah, karena:

1. Saya gapunya kompetensi bicara soal itu. Takut salah

2. Dalam persepsi saya, ibadah kan wajib ya masa harus dibahas? Trus ya saya sih pernah nulis juga kalo nyokap saya selalu ngingetin; jangan bergantung pada manusia karena ada Allah. Tentu kesitu yg pertama saya cari, kok. Gak kemana-mana.

Cuma ya itu, saya takut salah. Jadi gak apa lah ya, saya bahas yang saya tau aja?! Yang saya tau adalah cerita saya. I own my story, dan saya ceritakan Kembali, siapa tau ada manfaatnya buat orang lain. Karena saya tidak melewatinya dengan mudah.

Jadi apa kesimpulan cerita ini? Ya Kembali lagi ke Yasmina si gila-gila performa. Yasmina yang takut gagal. Yasmina yang sibuk mikirin orang lain over herself. Yasmina yang berusaha untuk ngurusin semua hal, bahkan hal-hal yang diluar kuasanya.

LET IT GO, YASMINA! LET IT GO!

My emotion journey: Failure

Image
resource: @sistercody

Kalimat “gak bisa” adalah musuh terbesar saya.

Bagus ya di satu sisi, saya punya growth mindset. Saya selalu percaya bahwa gak ada yang gak bisa. Selama saya mau belajar lagi dan lagi, pasti bisa.

Tapi di sisi lain, saya tumbuh menjadi sangat ambisius, dan yang paling jelek adalah;

saya gak terima ketika menghadapi kegagalan.

Padahal hidup ya tentang gagal. Iya, kalo gagal saya pasti nyoba lagi nyoba lagi terus sampe berhasil. Tapi kebiasaan ini bikin saya lupa bahwa ada hal yang emang bukan buat saya. Ya emang diusahain kayak gimana juga, ternyata emang bukan milik aja sih.

Saya gak tau sih ini berkah atau bukan, tapi saya emang nyaris enggak pernah gagal. Semua yang saya tuliskan untuk menjadi goals, kebanyakan berhasil. Apalagi goals besar.

Ada sih yang side track, kaya SMA yang saya pengen gak berhasil saya dapatkan krn harus ngalah sama maunya papa. Meski ya setelah dijalani, ternyata saya justru dapet banyak banget hal baru yang seru.

Atau pas melahirkan Abib yang saya rencanakan pervaginam tapi jadinya SC. Dibilang “enggak bisa” sama dokter dan saya gak terima selama 7 tahun. Tapi kan pas melahirkan Ara akhirnya berhasil dan saya bisa bilang ke diri sendiri “Tuh kan min, bisa!”

Saya paling sering dikasih pelajaran soal ini, tapi ini juga yang selalu bikin saya lupa karena setelah kegagalan, saya biasanya selalu dapetin lagi semua yang saya mau. Karena saya selalu punya rencana2 cadangan yang membuat saya merasa gak pernah runtuh.

Diajarin terus soal GAGAL

Belakangan ini saya lagi diajarin lagi nih sama Allah soal kegagalan. Ada lah kejadian yang buat saya sih super besar, dan saya utak atik ulik-ulik kesana kemari lewat jalan tikus sampe jalan besar ternyata enggak ada celah menuju keberhasilan sama sekali.

Kejadian ini mungkin mirip-mirip aja sih sama kejadian kegagalan saya yang dulu selalu saya deny, atau saya lupa2in karena udah berhasil bikin rencana baru lalu kemudian berhasil. Bedanya, saya sekarang udah belajar soal emosi.

Saya jadi sadar bahwa, saya enggak harus selalu langsung merasionalkan segala sesuatu dan bergegas melangkah ke step selanjutnya hanya demi merasa tenang karena saya bisa membuktikan “Gue gak gagal!”

Mau membuktikan apa ke siapa sih, miiin???

Kalau dari atlas of the heart-nya brene brown, mungkin ini masuknya ke section:

Places we go when we fall short: shame, self-compassion, perfectionism, guilt, humiliation, embarassement.

Saya juga masih menerka2 sih, apa ya yang saya rasain sekarang? Biar apa? Biar dinamain jadi tau persis apa yang saya rasa.

Namun ya, saya masih tenggelam dalam duka. Karena dukanya sih mirip grieving aja. Gak terima aja kalo emang mentok ga ada celah yg bisa diusahain. Maka saya biarkan diri saya merasa luar biasa patah arang. Nangis, mellow, mendung, kaya ditinggal mati.

Saya biarin aja diri saya merasakan semua, dan menikmati kesepian.

Saya tau, this too shall pass.

Saya tau saya harus belajar “let go” karena gak semua harus saya miliki.

Saya tau, pada akhirnya ya saya cuma harus ikhlas sama ketentuan Tuhan pada hidup saya.

Bukan sih ini bukan saya gak bersyukur. Saya gak pernah ga bersyukur sama apapun yang saya jalani sekarang. Saya cuma enggak mau memburu2 proses ini. Saya mau semua emosi yang bikin saya berantakan ini gak perlu denial. Gak perlu saya enyahkan secepat kilat.

Karena coping mode saya ya kaya gitu banget. Begitu saya mengalami kegagalan, otak saya langsung cepet2 mikir jalan keluar biar gak perlu merasakan dukanya. Kemarin juga sempet begitu kok, sempet saya repress sekuat tenaga,

dan mencari pembenaran lewat hal lain.

Sayang sih kejadiannya terlalu personal dan saya gak mau cerita. Tapi mungkin saya bisa menggambarkannya lewat hal lain. Hmmm…kejadian apa ya?

Luka 2017 sampe sekarang masih terasa

Oh ini deh, saya pernah menjadwalkan pergi ke adelaide waktu travelling berdua abib ke melbourne 2017. Tiket pesawat melb-adelaide udah dibeli, hotel di adelaide juga udah di booking. Saya udah menyiapkan baju dan diri sejak malam untuk pergi pagi2 buta menuju bandara.

Pesawat jam 7.30 dan saya nyampe ke bandara jam 7. Tapi gate nya sudah ditutup, situ tau kan orang oz yang keras banget. Enggak ya enggak. Padahal pesawatnya masih ada, tapi saya terlambat 5 menit. Edan banget itu rasanya. Saya nyoba nyari pesawat lain, bis, kereta apa ajalah pokoknya saya harus sampe ke adelaide.

Tapi gagal.

Saya sempet duduk diem di salah satu cafe di bandara buat sarapan berdua anak kecil yg msh ngantuk. Saya kesel banget tapi saya akhirnya cepet2 bertindak. Nelp apt selanjutnya di melb yg udah saya booking untuk hari2 setelah saya balik dr adelaide, trus mikir mau kemana 2 hari itu.

Yaudah deh jalan ke ballarat dan jadi sempet menikmati banyak tempat lain di melbourne yg tadinya enggak saya jadwalkan. Selesai perkara. Happy.

Tapi sampe hari ini, saya masih ada rasa gak terima karena saya gagal ke adelaide hari itu. Ya kalo di ikhlas2in tentu ikhlas aja. Saya juga bisa mikir silver lining-nya, ya mungkin kalo hari itu saya maksa, jangan2 ada hal buruk yang akan terjadi sama saya dan abib. Jangan2 di adelaide malah gak se seru perjalanan saya di melb pada waktu itu.

Saya juga jadi belajar bahwa saya harusnya gak ambil travel pagi itu yg mampir2 bikin saya telat sampe bandara. Saya juga belajar bahwa kalo ke australia lagi maka saya bener2 harus tepat waktu. Iya, belajar kok. Bersyukur juga karena dikasih pelajaran.

Tapi emosi kan gak bisa di repress. Sampe hari ini, asli, saya masih punya kecewa dan dendam karena saya gagal. Berat ya? Hahahahhaa..

Gak ada yang salah juga sih dengan tindakan saya yang cepat pada waktu itu, karena saya kan bawa anak dan cuma berdua2an di negeri orang. Kalo saya gak bisa mikir solusi cepat, masa kita luntang lantung?

Tapi harusnya saya waktu itu mengakui atau minimal nangis deh. Mengakui bahwa saya sedih banget karena saya gagal. Nangis buat memproses perasaan yang buat saya ternyata besar itu. Instead of menamai rasa kecewa, saya malah bilang “Gak apa2 kan, kita jadi jalan2 seru di melbourne!” Udah aja.

Jadi sekarang kalo lagi keingetan, saya suka bilang “Iya yasmina kamu kecewa banget waktu itu. Kesel banget dan sedih karena gagal pergi ke adelaide. Gapapa kok kalo mau nangis karena perasaan itu..”

Ganggu banget sih enggak ya. Enggak juga jadi kepikiran mulu. Tapi rasanya tetep sesak kalo diingat2. Padahal kan harusnya enggak, gila udah berapa taun tuh? Dan itu ga besar2 banget, karena emang langsung dpt apt dan destinasi jalan2 yang seru.

Terjebak dalam SHAME

Sementara yang sekarang lagi terjadi cukup besar damagenya. Mayan ganggu dan bikin saya sedih banget. Maka saya, yang sedang belajar mengenali emosi ini, mengakui rasa kecewa itu. Saya mengulang2 terus sampe rasanya luluh lantak karena duka.

Saya embrace kegagalan saya dan mengakui bahwa yang satu itu emang bukan milik. Bukan buat saya, dan saya kecewa. Mungkin keliatannya cheesy ya, tapi kegagalan sih selalu besar buat saya. Gagal checklist task satu hari aja bisa bikin saya uring2an kok.

Iya, kelihatannya saya merasa shame, guilt dan terjebak terus karena perfectionism. Ngaco tapi perlahan saya embrace. Biar terproses bener dan bersih, lalu saya bisa siap mengisi lagi hippocampus dengan memori-memori lain.

Gue merasa gak boleh gagal, karena nanti gue akan merasa gak worthy.

Shame is the intensely painful feeling or experience of believing that we are flawed and therefore unworthy of love, belonging, and connection.

Shame is the fear of disconnection—it’s the fear that something we’ve done or failed to do, an ideal that we’ve not lived up to, or a goal that we’ve not accomplished makes us unworthy of connection.

I’m unlovable. I don’t belong.

What To do?

Trus harus gimana? Ya kenali dulu akar masalahnya. Gue sih kayanya ke shame ya, dan gue jadi bisa sih connecting the dots sama hidup yg gue jalani dari kecil. Jadi tau asalnya darimana.

Lalu ngapain? Healing. Kaga usah jauh2 ke labuan bajo buat healing, itu mah holiday aja. Healing mah nangis, cuy. Di kamar juga bisa!

Nangis itu cara paling proper untuk bebersih hippocampus. Supaya segala emosi terproses dengan bener. Karena kalo semua dijejelin tapi gak diproses, ya ruwet gak bakalan bisa bikin otak mikir jernih. Boro2 mindful yang ada mind FULL.

Resource: @sistercody

Ibaratnya tu Kaya kamar penuh barang, berantakan, tapi saya deny dan semuanya saya jejelin aja masuk lemari biar gak keliatan berantakannya. Perfect, on the outside, messy on the inside. Boro2 diisi barang lain, yang ada makin kacau.

Decluttering itu hqq, fren! Hahahaha

Habis itu ngapain? Cerita. Cari orang yang bisa menanggapi dengan empati. Ke psikolog, mungkin?

The antidote to shame is empathy. If we reach out and share our shame experience with someone who responds with empathy, shame dissipates.

Shame needs you to believe that you’re alone. Empathy is a hostile environment for shame. Self-compassion also helps us move through shame, but we need empathy as well for an important reason: Shame is a social emotion.

Shame happens between people and it heals between people. Even if I feel it alone, shame is the way I see myself through someone else’s eyes.

Self-compassion is often the first step to healing shame—we need to be kind to ourselves before we can share our stories with someone else.

Brene Brown

Toh idup emang gak sempurna, kan? Saya harus bisa merasa cukup, tapi merasakannya harus bener2 ikhlas. Dan saya percaya, ikhlas akan muncul kalo saya udah bisa menerima bahwa ini semua ketentuan Tuhan, pasti yang paling baik buat saya.

Kalo kata diga “Mungkin setelah kesusahan ini akan ada hal yang justru lebih baik bakal terjadi sama nyanyak..”

#np let somebody go – coldplay