Sedih dan menderita…
Jadi, saya baru saja menamatkan buku ATLAS OF THE HEART: MAPPING MEANINGFUL CONNECTION AND THE LANGUAGE OF HUMAN EXPERIENCE- nya Brene Brown.
Nah, disitu di jelasin peta nama-nama perasaan manusia. Kan katanya NAME IT TO TAME IT. Jadi saya baca dengan tekun satu persatu perasaan-perasaan itu. Lalu Ketika sampai di #6 PLACES WE GO WHEN WE’RE HURTING, perasaannya ada: Anguish, Hopelessness, Despair, Sadness, Grief.
Menderita, putus asa, hilang harapan, sedih, duka cita.
Segala jenis perasaan yang seumur hidup saya enggak pernah mengerti, apa bedanya, apa Namanya, tapi saya terjemahkan jadi satu perasaan : MARAH.
Maka reaksi saya Ketika mengalami berbagai macam badai perasaan tersebut adalah: marah-marah.
Iya itu saya sadar betul terjadi dan saya lakukan, sampe akhirnya saya mulai memahami jenis-jenis perasaan lain selain marah dan senang.
*helaNafas
Oke, jadi dalam beberapa tulisan ke depan, saya akan bercerita mengenai perasaaan dan semuanya akan saya rangkum di YASMINAHEALINGJOURNEY
Cie ileh healing. Kaya anak jaman sekarang gak sih?
Iya, biarin lah gapapa norak. Tapi emang rasanya banyak banget yang saya alami, dan perjalanan ini bukan perjalanan yang singkat. Karena sudah 12 tahun ini saya bergulat dengan memahami apa yang saya rasakan dan mempertanyakan
“What Happened to me?”
Itu terus yang saya pertanyakan.
Lalu, kenapa saya memutuskan untuk belajar mengenai emosi dan segala sesuatu yang seumur hidup saya tolak dan saya bentengi? Karena saya menikah lalu punya anak.
Saya tahu, tanggung jawab saya jadi besar dan jauh lebih besar ketimbang sebelumnya Ketika saya hanyalah seorang anak dan seorang karyawan.
Saya tahu, saya harus terus belajar untuk memahami perasaan karena saya berhubungan dengan manusia yang harus saya urus dan saya perhatikan semua kebutuhannya.
**
Di tahun pertama menikah, saya dan poe memutuskan untuk tidak punya anak dulu selama setahun pertama. Karena kami percaya bahwa, hubungan kami belum cukup kuat untuk membesarkan anak.
Kami masih harus saling beradaptasi, saling mengenali satu sama lain dan belajar menoleransi satu sama lain.
Maka, kami berusaha keras untuk melakukannya. Berantem tiap hari, gak nyamaaaaan banget sebenernya karena ada begitu banyak perbedaan. Jadi, actually saya dan poe tidak mengalami “kebahagiaan” pengantin baru yang biasa diceritakan.
Katanya, kalau setahun pertama masih manis dan masih romantis, masih lucu, masih gemes. Kaga ada sih sedikitpun. Karena yang terjadi adalah kami bertengkar tiap hari dan kabur2an. Hahahaha…
Tapi di tahun pertama ini adalah masa pertama kalinya saya merasakan beberapa emosi baru. Eh maksudnya baru ngerasain emosi itu.
Baru tau rasanya kecewa, joy, bersyukur, belonging.
Dan semua itu bisa saya rasakan, sepertinya karena untuk pertama kalinya saya harus banyak memahami satu orang dalam intensitas yang mendalam, setiap hari ketemunya dia doang, orang asing dengan kebiasaan-kebiasaan yang amat berbeda dengan kebiasaan saya.
**
Mungkin bacanya aneh ya?! Masa sih manusia enggak bisa ngerasain perasaan. Tapi ya saya beneran sih ngalamin itu.
Oh iya tentu latar belakangnya sih trauma ya.
Saya enggak kepengen cerita detail soal trauma-nya, maybe later, but not now.
**
Nah, bicara soal kesedihan.
Duh gak tahan lagi nulisnya.

Ternyata menyebut nama-nama perasaan yang berkaitan dengan kesedihan aja bikin hati saya nelangsa. Enggak kuat. Lemes bahkan sampe ngantuk
Mungkin ini adalah bentuk perasaan yang paling membuat saya merana sehingga paling saya hindari untuk dirasakan. Begitu nekad merasakan, saya….lebur.
Tau gak, kapan pertama kali saya begitu merananya? Waktu kucing kesayangan saya yang saya rawat 11 tahun meninggal dunia di 2010. Saya sampai bikin tiga tulisan di blog ini soal dia. Disini, disini dan disini. Saking merananya saya ditinggal mati.
Dan kejadian itu saya alami Ketika saya sudah Bersama poe. Jadi saya enggak sedih sendiri.
Cuma saya emang suka bloon, kalo gak dipancing, saya enggak cerita. Dan saya enggak ngerasa harus cerita karena enggak pernah terbiasa cerita dari kecil. Saya biasa sendirian dan selalu enggak mau nyusahin orang lain. Saya selalu merasa bahwa saya kuat dan bisa kok menguatkan orang lain, selalu siap jagain dan melindungi orang lain.
Dan bahkan saya enggak bisa nangis. Bayangkan. Hahahaha…
**
Saya jarang banget keluar air mata, nyaris ga pernah.
Nah baru sekarang-sekarang ini nih saya tau rasanya sesaaaaak di dada karena segala perasaan campur aduk gak keruan.
Ketika dari satu nafas ke nafas lainnya harus di hirup dan di hela dengan tenaga, Ketika angin menerpa wajah tiba-tiba memantik air mata menetes begitu saja..
Iya, saya baru merasakannya.
Yasmina, si selalu kebingungan sama perasaan dan hal-hal yang dirasakan.
Si enggak pernah tahu harus ngapain, si resah Ketika menyadari; kok ngeliat semua jejak dari orang itu aja, bikin hati pilu banget dan gak tau ini Namanya apaaa.
Tapi satu yang saya Yakini, ini bukan hal buruk. Ini hal yang harus saya alami dan memang mau gak mau harus saya lewati. Karena perasaan semacam ini harusnya sudah pernah dilewati jaman muda dulu, sayangnya saya dengan sengaja men-skip-nya.
Ini seperti anak usia 5 tahun yang harus menjalani terapi sensori integrasi—merangkak, merayap, karena waktu usia batitanya dulu ia tidak melewati fase itu. Sementara tubuh kita semua, butuh melewati fase itu.
Jadi aneh sih sebetulnya ya, mengejar keterlambatan. Special needs banget ini ya kasusnya.
Menurut Brene Brown di buku Atlas Of The Heart;
- Kesedihan dan depresi bukan hal yang sama
Kesedihan itu hal wajar yang terjadi pada setiap orang, namun bukan berarti depresi. Sebab, depresi adalah Kumpulan gejala yang terbentuk dalam kurun waktu tertentu. Biasanya bentuknya diiringi dengan tidak nafsu makan, insomnia, kehilangan ketertarikan pada berbagai bentuk kegiatan, atau sulit konsentrasi.
2. Kesedihan dan berkabung (grief) juga bukan hal yang sama
Meskipun kesedihan merupakan bagian dari rasa berkabung, namun berkabung merupakan emosi yang lebih kompleks karena menggabungkan berbagai macam bentuk emosi lainnya berbarengan dengan kejadian besar.
3. Ada hal-hal positif yang bisa muncul dari kesedihan
Kalau menurut Joseph P. Forgas, professor dan universitas New South Wales di Sydney, kesedihan itu sebetulnya banyak manfaatnya. Orang-orang yang mau merasakan kesedihan sebetulnya cenderung jarang melakukan kesalahan dalam menilai sesuatu, biasanya lebih mudah termotivasi, dan lebih sensitive terhadap berbagai norma sosial. Perilakunya pun biasanya lebih murah hati.
Menekan atau “menendang” jauh emosi yang terasa, tidak akan membantu kita melaluinya dengan baik. Apalagi kesedihan. Biasanya, berani merasakan kesedihan akan membantu seseorang untuk mengevaluasi hidupnya dan mempertimbangkan untuk melakukan perubahan di dalam hidupnya usai kejadian yang membuatnya sedih.
Acknowledging dan menamai kesedihan merupakan elemen penting untuk diri mampu membangun rasa compassion dan empati. Iya kan? Biasanya pas kita sedih, yang kita pengenin itu dipeluk orang lain dan merasa terkoneksi dengan mereka yang punya pengalaman yang mirip, meski penyebabnya bisa berbeda. Dari situ akan muncul empati.
4. Ada alasan kenapa kita menyukai filem sedih
Kalo kata suami saya, ini filem pembunuhan. Hehehehe soalnya filem sedih itu kan sebenarnya menyiksa ya. Tapi sebetulnya kita suka lho menontonnya, karena kita pengen mendapatkan motivasi dari hal-hal baik di filem sedih, kita, sebagai manusia, pengen merasa terkoneksi dan Pengen diingatkan bahwa satu kejadian dialami karena adanya koneksi yang tak terpisahkan antara 1 kejadian dengan yang lain.
Jadi, nonton filem sedih itu sebenernya membantu kita mengungkap adanya korelasi positif antara kesedihan dan enjoyment. Urutannya tuh gini: sedih –> feeling moved (termotivasi) –> enjoyment.
Saya sih suka banget filem dan lagu sedih. Seringkali saya malahan bisa konsentrasi kerja kalo denger lagu sedih. Makin merana, makin konsen. Hahahaha
Jadi yaudah, sekarang saya lagi belajar banget memproses kesedihan, membedakannya dengan depresi, hopelessness, anguish, dan despair. Saya lagi memproses tempat baru yang seumur hidup saya hindari; PLACES WE GO WHEN WE’RE HURTING.
Karena kalau kata Gabor Mate:
When people are numbing themselves through work or through the internet or pornography or through drugs or alcohol or nicotine or whatever it is, is because they’re in pain. So, you have to ask what gave them the pain in the first place? And that’s always shelter trauma. And why do people numb themselves?
There’s nothing wrong with pain, life brings pain as the Buddha pointed out, life is painful, life brings suffering. It’s not that that’s all it brings, but it does bring it. Why does it bring it? Because we lose. We lose our health, we lose loved ones, our favorite cat or dog may die. Our friends might not want to play with us, grandfather might die or maybe the neighbor yells at us.
That’s all painful.
There’s nothing wrong with that pain, as long as you can manage it. We can handle it as long as we can hold it, as long as our minds can hold the pain. But no child’s mind can hold the pain on their own. So, the child needs the parent to help them hold their pain. But in our society because of the disconnection we’ve been talking about, so many parents are not available to hold their child’s pain.
So they try and do two things. One is to suppress the pain in the child or stop crying or give you something to cry about or they try and distract the pain through objects and television and gifts and junk food and so on. But they’re not available to hold the child’s pain.
So the child has the pain, they can’t hold the pain themselves, then they start numbing the pain in themselves. So then one way to do that, there’s many ways to do it. But one way to do this is through addiction. So then that child becomes an adult and they’re used to numbing their pain.

Yaudah kan? Life brings pain.
TO BE HUMAN IS TO KNOW SADNESS. OWNING OUR SADNESS IS COURAGEOUS AND A NECESSARY STEP IN FINDING OUR WAY BACK TO OURSELVES AND EACH OTHER.