Monthly Archives: September 2014

Menyalahkan Orang Lain?

Image

Oke. Kali ini saya mau curhat dikit.

Kemarin, saya mampir ke salah satu toko kue waralaba. Kondisi saya agak terburu-buru, dan di toko tersebut menerapkan sistem self service kepada customer.

Kue-kue yang hendak saya ambil terpampang manis di dalam showcase. Nah, saat saya hendak membayar kue-kue yang saya pilih, kemudian saya teringat untuk mengambil lagi satu kue keju. Iya, saya lihat disitu ada seorang ibu dengan anak kecil yang juga sedang memilih kue. Tapi karena sedang terburu-buru, maka saya membuka showcase kue nya dengan gerakan cepat. Tanpa sempat melihat posisi tangan si anak kecil tersebut.

Saat saya sudah mengambil kue yang saya ingin beli, tiba-tiba ibu itu menegur saya pelan “Mbak, lain kali hati-hati ya bukanya, tadi tangan anak saya ada disitu (sambil nunjuk pintu kaca showcase), untung enggak kejepit…”

Saya kaget lalu senyum sekilas.

Setelah pergi dari toko jadi kepikiran…

Iya sih saya salah karena saya keburu-buru maka kurang perhatian. Tapi, saya enggak pernah melakukan tindakan yang ibu tadi lakukan terhadap saya, kepada Abib.

Sebab menurut saya, itu jadi sama saja dengan menepuk meja jika kepala Abib kejedot.

Bener atau enggaknya, entah ya. Tapi buat saya, itu jadi seperti menyalahkan orang lain ketimbang memperingatkan anak sendiri untuk berhati-hati. Mosok yang ditegur orang lain? kan orang itu gak mungkin dengan sengaja mau menjepit tangan anak saya di show case toko kue…

Kecuali kalo lagi di playground dan ada anak yang lebih besar, dengan sengaja mendorong Abib sampai jatoh ya…itu lain cerita. *siapin Sarungtinju

Saya jadi inget baca di bukunya Ayah Edy:

1. Raja yang Tak Pernah Salah
Sewaktu anak kita masih kecil dan belajar jalan tidak jarang tanpa sengaja mereka menabrak kursi atau meja. Lalu mereka menangis. Umumnya, yang dilakukan oleh orang tua supaya tangisan anak berhenti adalah dengan memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup….cup…diem ya..Akhirnya si anak pun terdiam.

Ketika proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya kita telah mengajarkan kepada anak kita bahwa ia tidak pernah bersalah.

Yang salah orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa. Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar. Akibat lebih lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang lain yang tidak melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan.
Kita sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai melawan pada kita. Perilaku melawan ini terbangun sejak kecil karena tanpa sadar kita telah mengajarkan untuk tidak pernah merasa bersalah.

Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis? Yang sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah ia untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi; katakanlah padanya (sambil mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit): ” Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya? Lain kali hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu supaya tidak membentur lagi.”

Nah ya kan??

Saya sih gak tersinggung ya dengan ditegur sama ibu itu. namanya juga orang tua, kan suka terlalu sayang sama anak. Tapi, sayang dalam definisi saya gak seperti itu. sayang buat saya, adalah mengajak anak saya mandiri, berani dan bisa menjaga diri. Karena saya enggak pernah tahu, sampai kapan saya bisa hidup dan melindungi anak saya.

Kalo besok saya mati, dan anak saya selalu benar, maka celakalah saya. Karena saya sudah bikin dia susah dengan menjadikannya anak yang dirasanin orang lain mulu. Saya sudah bikin Tuhan marah karena mendidik anak untuk menjadi orang yang egois dan menyalahkan orang lain. Saya juga sudah bikin orang lain yang berada di sekitar dia susah, karena dia akan melawan terus. Sebab dia selalu merasa benar…

Kalo kata Dr Sears…”Initially a child believes behaviors are right or wrong because you tell her so, or she considers the consequences. By five years of age your child begins to internalize your values: what’s right for you becomes right for her. Your values, virtuous or not, become part of your child.”

Hehehe…

Sekian curhat kecil malam ini. Semoga ini bisa jadi pengingat dalam hidup saya, dalam membesarkan anak.

(Review) Sabtu Bersama Bapak @adhityamulya

Gallery

Semalam, saya enggak bisa tidur. Ya biasa sih, karena keasyikan. Bukan, bukan keasyikan nulis, nonton atau buka-buka instagram (baca: ONLINE SHOP hahaha). Tapi karena baca buku. Buku yang tadinya saya anggap buku cheesy, yang isinya bisa bikin ngakak, dan saya baca karena saya lagi mumet, butuh hiburan. Mengapa saya sudah yakin bahwa buku yang saya […]

Rate this: