Monthly Archives: May 2022

My emotion Journey: Idul Fitri

Image

Pengalaman idul fitriku tidak seperti idul fitrimu.

Memori yg ada di kepala mengenai idul fitri kebanyakan menyebalkan. Karena selalu ada kejadian2 konflik ditengah idul fitri, pre dan pasca.

Apalagi buat manusia yg seperti saya, yang sebelum situ pada ribut soal introvert dan ansos, saya udah diem di pojokan kek kaktus.

Makanya pas jadi wartawan saya suka mengajukan diri untuk piket di hari raya, demi menghindari idul fitri. Meski saya tau, nantinya mama suka manyun.

Idul fitriku bukan idul fitrimu.

Kami gak punya kampung, maksudnya mudik kami paling jauh hanya ke bandung. Gak jauh2. Ya dulu sebelum ada cipularang kami harus lewat puncak, kadang jonggol dan perjalanan sungguh melelahkan. Tapi alhamdulillah selalu punya mobil, kalau malas nyetir pun bisa menikmati perjalnan dengan tenang via kereta api.

Jadi tak ada kenangan mudik, mungkin krn itu mama sejak dulu mengingatkan “Kalau cari jodoh, cari yg gak punya kampung. Kamu itu gak biasa mudik jauh2, gak bakalan tahan diajak mudik jauh. Seleksi aja yg keluarganya di jakarta..”

Emang visioner.

Idul fitriku (mungkin) tak sama dengan idul fitrimu.

Mamaku tidak pernah masak ketupat, sayur, atau opor. Mamaku juga tidak memanggang kue. Dia selalu bilang

“Mama kan kerja, kalau sudah pulang, mendingan buat ibadah di bukan ramadan atau main sama anak2, menggantikan waktu yg hilang. Masak biar urusan orang, kan kalau kita beli juga ngasih rezeki buat orang lain..”

Mama memang jarang masak, biasanya hanya sup kaldu ayam yg kentaaaaal kalau kami gak enak badan (makanya saya doyan bgt bakmi acang karena tiap nyeruput kuah kaldu, rasanya seger inget mama) atau sayur kacang merah favoritnya. Gak pernah jadi masalah buat saya. Karena memang waktu yg diberikannya untuk main, bacain buku atau mengajak kami duduk dan mengaji bersama buat saya lbh menyenangkan. Makan mah apa ajalah.

Idul fitriku rasanya kerap berbeda dengan idul fitrimu.

Hal ini baru saya rasakan ketika menikah dan merasakan idul fitri di rumah keluarga suami. Baru tau kalau idul fitri itu semarak. Baru tau kalau idul fitri itu artinya masak hingga nyaris tengah malam. Baru tau kalau idul fitri itu penuh ritual yang awalnya terasa amat membingungkan.

Tapi bisa jadi idul fitriku sama dengan idul fitrimu.

Karena mamaku selalu membeli kembang sedap malam, kadang dicampur lily, atau bunga matahari. Karena dia suka bunga. Rumah kami haruuuum alami, dan rasanya hangat.

Mamaku juga suka sekali makan lidah, maka selalu ada menu semur lidah di hari idul fitriku. Mamaku suka duduk di teras, menikmati suara takbir sambil ikut merapal takbir, ditemani segelas kopi panas. Kadang ia tiba2 menitikkan air mata. Entah kenapa..

Idul fitri bagiku mungkin tak seistimewa bagimu,

karena kebiasaan kami tidak selalu meromantiskan sesuatu. Silaturahim harus dilakukan kapan saja, tak perlu menunggu lebaran. Baju baru juga tak selalu. Saling memberi hadiah selalu dilakukan kapan saja. Ketupat bisa dinikmati bersama ketoprak atau sate padang.

Tapi sejak mama meninggal, saya jadi banyak muhasabah.

Betapa lebar senyum mama tiap kali bertakbir, padahal lelah, padahal hidupnya tak pernah ramah. Betapa kerasnya mama berusaha agar kami semua mengalami kenikmatan yg sama, meski situasinya lebih sering tak ideal. Betapa dia memahami bahwa anak2nya merasa diem di rumah dan gak ngapa2in saat lebaran itu jauh lbh menyenangkan ketimbang harus berkumpul rame2.

Tapi mama, adalah mama. Orang yg selalu berusaha untuk mengakomodir segala situasi, dari keluarganya sendiri–a.k.a orang tuanya yg sudah berpisah, anak2 dan suaminya yang pendiam dan sukanya ngumpet di goa, lalu keluarga suaminya yang luar biasa orkestra.

Ini adalah idul fitri ke 9 tanpa mama. Tak terasa? Terasa. Karena ternyata hidup saya berotasi mengelilingi mama. Kebayang gak, ketika saya harus berhenti berotasi?

Ternyata idul fitri bagi saya adalah mengenai mama. Bagi saya, ramadan lebih banyak kenangannya. Ramadan lebih menyenangkan ketimbang idul fitri. Ramadan lebih hangat karena waktu yg saya habiskan bersama mama lebih banyak. Ramadan lebih istimewa.

Idul fitri hanyalah sebuah pesta, persis seperti resepsi pernikahan. Iya, hanya berlangsung satu hari dan sudah itu, begitu saja. Mama tidak pernah menceriterakan soal hari kemenangan atau menganjurkan kami untuk maaf2an di hari idul fitri.

Mama hanya bilang bahwa idul fitri itu mengenai hadir di lapangan untuk solat dan mendengarkan khutbah (yang realitanya jaman kecil saya selalu tertidur di paha mama) kemudian sisanya; idul fitri adalah tentang menjaga silaturahim dan menjaga koneksi.

Karena dulu, usai solat, kami akan menemani nenek keliling dari satu rumah ke rumah lainnya. Sampai waktu zuhur tiba, kami kembali berkumpul di rumah, solat lalu tidur sampe sore. Semakin kesini, semakin habis keluarga yg dikunjungi karena meninggal dunia.

Jadi, kami akan duduk bersama dan ngobrol santai menikmati hari libur bersama2. Iya, keluarga saya enggak terlalu saklek harus ini harus itu ketika idul fitri. Tapi mama, akan selalu jadi katalis bagi anak2nya yang bersikap kaktus.

Mama akan selalu sibuk menyiapkan berbagai hadiah kecil, untuk dibawa dan diberikan sebagai buah tangan tiap kunjungan. Mama akan sibuk meminta kami bersilaturahim dengan keluarga yg masih ada, sebab menurutnya, kami harus paham garis keturunan dan menjaga silsilah.

Saya tau, itu adalah bentuk penjagaan mama buat kami. Karena menjaga silaturahim artinya menjaga relasi, dan membuka kesempatan berkolaborasi. Mama meninggalkan harta yang paling berharga; kompetensi. Saya tau, saya berani membuka diri justru ketika mama enggak ada.

Ya kan kalau masih ada mama, biarin aja mama yang maju, saya diem aja di keteknya. Ketika mama gak ada, saya harus mampu melakukan hal2 yang biasanya dia lakukan. Percayalah, saya mau melakukannya.

Saya senang melihat dia senang, meski kadang rasanya maleeees bangeeeet. Saya pengen bisa melakukan yang mama lakukan, meski kadang rasanya susaaaaaaahh banget membuka diri dan menghadapi orang banyak.

Ini tidak pernah mengenai pertanyaan “kapan nikah?” Atau “kapan punya anak?”

Saya gak terlalu peduli ditanya apapun, karena saya tau saya gak harus menjawab dan saya gak bisa mengendalikan apa yg akan dilakukan orang lain. Ini mengenai saya yang terbiasa dengan suasana tenang dan sepi. Saya yang enggak biasa hidup dengan banyak orang.

Ini mengenai saya dan kemampuan beradaptasi yang memang harus bisa saya lakukan karena saya manusia. Mau lari kemanapun, situasi orang banyak dan rame gak bisa saya hindari. Ini mengenai saya dan kemampuan berpikir kreatif, bahwa masalah itu harus dihadapi dengan cara yang manusiawi, bukan lantas kabur atau melakukannya dengan kebencian.

Saya sekarang paham kok, bahwa momentum idul fitri buat kebanyakan orang adalah mengenai sosialisasi, kebahagiaan karena bisa bersama2 berkumpul, namun bukan juga mengabaikan diri sendiri karena terus menerus berusaha menyenangkan orang lain sementara energi saya habis.

Ini tentang keseimbangan. Karena ngobrol basa basi memang membutuhkan banyak rasa legowo dan mau belajar. Saya manusia, dan saya enggak akan bisa hidup benar-benar sendiri. Iya saya gak suka small talk, tapi menjalin koneksi dan membangun deep talk, mau gak mau harus dimulai dengan small talk.

Saya mungkin seperti ebenezer scrooge atau grinch, yang terkenal karena membenci hari raya namun kemudian belajar dan berusaha berubah.

Saya enggak percaya dengan kata enggak bisa. Saya enggak suka hari raya, karena saya takut orang banyak, banyak kenangan buruk, dan males basa basi. Itu aja. Maka semakin saya mengenali diri sendiri, saya jadi paham bahwa saya bukannya enggak bisa, tapi saya enggak suka.

Dan hidup bukan melulu soal saya suka atau gak suka. Hidup adalah mengenai membangun koneksi, mempererat koneksi. Bukan memperkuat benci. Gimana saya bisa mengajarkan anak2 saya untuk terus saling sayang dan saling jaga, kalau saya sendiri enggak mau mencontohkan kebiasaan itu?

Maka yang saya lakukan adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Merapal mantra, mem-brief anak2, memberikan hak diri sendiri untuk menenangkan diri sebelum hari H, mempersiapkan hal2 menyenangkan (misalnya stok kopi, roti kesukaan atau harum2 yang saya suka) untuk diri sendiri, dan membangun suasana kondusif buat saya juga anak2.

Olahraga, tidur cepat, mandi air dingin, dan tetap melakukan rutinitas yang membuat saya merasa lebih secure juga jadi cara saya untuk coping dengan idul fitri. Saya melakukannya bukan untuk siapa2, tapi untuk saya. Karena kemampuan ini penting untuk saya.

Penting juga untuk saya contohkan ke anak2 saya, karena mereka akan menjalani hidupnya masing2 kelak. Symptoms seperti alergi mendadak kumat, nafas agak pendek dan mules2 sih masih kerap muncul karena anxious. Tapi enggak apa2, saya tarik nafas panjang dan membuangnya panjang juga.

Karena gak ada gunanya saya belajar banyak, kalau ilmunya enggak bisa saya bagi. Enggak ada gunanya saya kalau enggak bisa memberi manfaat buat banyak orang. Sibuk idealis dan merasa bahwa idul fitri adalah buang2 waktu, mudik adalah salah, lebaran artinya sampah menumpuk, tapi keluar hanya dalam bentuk marah2 ya enggak akan bikin orang jadi sadar dan bekerjasama dengan saya untuk mencari jalan keluar terbaik, kan?

Bersikap SJW enggak harus selalu muncul dalam bentuk demonstrasi, tapi lebih nyaman jika dilakukan dalam bentuk cinta.

Siapa sih yang mau dengerin orang ngomel dan penuh ancaman? Siapa sih yang mau ngikutin kata2 manusia yang bersikap santun aja gak bisa?

Maafin yasmina yang biasanya ngeselin dan gak ramah, ya. Yasmina sekarang lagi belajar untuk jadi lebih toleran dan beradaptasi. Karena belajar meregulasi diri dan koneksi emang pace-nya masing2 kok. Buat saya, mungkin emang penting dikasih harus ditinggal mama dulu biar belajar.

Karena i’m on my own, now. Enggak ada lagi mama tita yang bisa pasang badan buat saya. Sekarang waktunya saya menghidupkan lagi mama tita dan setiap pesannya semasa hidup, untuk terus menjaga silaturahim. Waktunya saya menerapkan ajaran mama dalam kehidupan saya.

Trauma bisa sembuh, dan sembuhnya bukan dengan melarikan diri. Tapi dengan koneksi, regulasi emosi, saling jaga, saling sayang tanpa perlu menyingkirkan kebutuhan diri sendiri.

Taqabalallahu minna wa minkum. May Allah accept [good deeds] from you and us.

Eid mubarak to all of you and your family. Hope you fill your bellies and have a day filled with laughter and joy. May Allah grant you and your family success and make you among the righteous.

Yasmina

Sebagai penutup; foto anak kecil megang segepok duit. Duit bapaknya. Hahahahhaa