Monthly Archives: September 2021

GOAL SETTING and PROBLEM SOLVING si anak sekolah online

Image

Hal terberat apa yang membuat saya mau pengsan, selama pandemi?

Well banyak…

Kalo dibikin list

  1. Mikirin gimana caranya roots bisa bertahan
  2. Mikirin gimana caranya bisa tetap sehat
  3. Mikirin ABIB DAN KEGIATAN SEHARI-HARINYA.

Nah yang capslock itu yang paling ngeganjel…

Abib the explorer

Anak saya yang satu ini kan istimewa ya. Dia adalah anak outdoor, cara belajarnya kinestetik, dia dapet energi dari kehidupan sosial Bersama manusia lain (preferably dalam jumlah banyak), dia butuh ruang yang luas dan kegemarannya adalah berada di lingkungan baru setiap saat.

Pandemi membuat dia….MENDERITA!!!

Tahun pertama, 2020, kami melewatinya dengan babak belur. Sungguh dia yang penuh semangat dan selalu senang belajar hal baru berubah menjadi seonggok manusia yang tidak punya semangat, procrastinating, gak punya motivasi, apapun yang dia lakukan gak ada yang bikin dia happy, dan sekolah jadi hal yang paling dia benci.

Waktu awal-awal saya sempet nge-gas juga karena sayanya juga dalam kondisi yang stress berat kan banyak pikiran dan banyak banget yang harus di-adjust di pekerjaan. Lalu saya sadar bahwa, ini rasanya mungkin lebih berat untuk Abib.

Minta bantuan

Saya meminta konselor sekolah untuk ikut membantu, saya juga konsultasi ke Belinda, psikolog kesayangan kami. Lalu konsultasi ke dokter Adilla, yang kemudian menyatakan bahwa Abib memang mengalami regresi karena craving sensori, maka harus terapi untuk menentukan Langkah berikutnya; sensory lifestyle.

Eh iya, saya tau, saya enggak akan bisa jalan sendiri. Saya butuh banyak sekali bantuan. Saya sendiri keteteran soalnya, dengan begitu banyak kejadian dalam satu waktu. Saya tau, kalau saya enggak minta bantuan, pilihannya antara saya atau Abib yang harus jadi korban. Dan itu bukan pilihan…

Belajar lagi

Sambil terapi dan konsultasi terus berjalan, saya juga terus belajar.

Saya ikut berbagai kelas online psikologi anak dari summit-summit di GOZEN, play first summit, sampe sertifikasi PEC di The nourishing center-positive psychology. Karena saya tau saya harus belajar, ini hal baru dan saya enggak ngerti.

Self-efficacy

Di salah satu kelas itu, ada pembahasan soal Self-efficacy. Apa ya Bahasa indonesianya? What a person believes they can do with their skills under certain condition. Kepercayaan seseorang akan kemampuannya dalam menuntaskan suatu hal dengan sukses, kali ya?!

Nah, saya jadi belajar bahwa hal itu SANGAT PENTING Ketika berusaha mengembalikan motivasi si Abib. Soalnya, dia tentu harus mulai dari goal besar dan dirinci ke list-to do kecil yang bisa dilakukan setiap hari untuk mencapai goals tersebut.

Yah kaya ngitung KPI (Key performance indicator) kalo di kantor gitu, lho! Bedanya Cuma ini alat ukurnya bukan angka apalagi financial balance. Hahahaha…

Berangkat dari kerangka berpikir yang rasional dan taktis itu, saya jadi ngeh bahwa saya harus boosting self-efficacy si Abib nih, sebagai upaya dia untuk bertahan dan bahkan tidak lagi mengalami kemunduran.

Soalnya, self-efficacy saya cukup bagus, bagi saya, difficult tasks itu adalah interesting challenge to be mastered. Tapi kan saya INTJ sejati yang susah banget memahami orang lain dan kenapa tu orang gak bisa! Hehehe..jadi ngajar’s not my thing, sebetulnya. Namun berhubung ini anak saya, maka enggak ada pilihan ya harus saya coba.

Goal-setting

Saya tau, cara boosting self-efficacy itu dengan menjadi role models, dengan menjadi cheerleader (terus percaya, dan mengingatkan Abib bahwa saya akan selalu ada nemenin dia), mengajarkan regulasi emosi, mendukung agar dia mastery something, membantu dia mengenal strengthsnya, dan membantu dia memetakan masalah yang terjadi.

Gampang kok. Yang susah mengendalikan sabar saya yang tipis…

Standarnya ya GOAL SETTING seperti yang biasa digunakan di kantor-kantor; SMART. Tau kan…

Specific, Measurable, Attainable, Realistic, Timely.

Metode WOOP

Nah, tapi kalo di PEC, Saya diajarin pake WOOP. Apa itu?

WOOP METHOD

Wish: Children looking what should they wish to accomplish

Outcome: They hope will come from the thing that they wanna see happen. (what it would like?)

Obstacle: What may be the obstacle? What may get in a way that they plan?

Plan: Putting all that together and put it in a plan

Gunakan WOOP untuk semua project yang dia kerjakan. Jadi dia paham banget why-nya, what to do, how to say, obstacle dan bisa bikin perencanaan yang ajeg.

Nah kemudian, gunakan ilmu otak. Karena saya harus mulai dengan melakukan approach, kaaan? Nah tau gak bahwa otak kita enggak bisa enggak melakukan sesuatu? Hahahaha…iya maksudnya, otak kita itu susah memahami kalimat dengan “NOT”!

Because we cannot imagine ourselves “Not doing something” we can only imagine ourselves doing something.

YOU SHOULD THINK ABOUT WHAT YOU WANT, NOT WHAT U DON’T WANT.

Maksudnye gimane sik maleh?

Gini contohnya:

  1. I don’t want to be in debt anymore

I want to have financial abundance

  • I don’t want more stress

I want calm and ease

  • I don’t want students to act out

I want a classroom where students are engaged

Iyak gunakan kalimat yang enggak pake “enggak” gitu deh. Kalimat positip.

Mental constracting

Truuuus abis itu, gunakan strategi

MENTAL CONSTRACTING

Maksudnya adalah menggunakan Statements:

If ————- then —————

When————- then———–

Contohnya:

When I want to watch television instead of doing my homework, Then I will remind myself that I can use my favorite show as a reward and do 45” of work first.

Breakdown goal besar ke hal kecil

Nah, karena si PEC ini science-based, jadi Kembali lagi ke ilmu otak:

SIMPLIFY THE GOAL INTO IT’S SMALLEST ACTION STEPS

How do you break your goals into a small component?

With MIND MAP.

Make it as specific as possible. More mini wins; reward. Iyak, one step at a time. Kaya naik tangga aja, satu persatu. Kalo langsung 3 anak tangga kuatir kejengkang, sis.

Ini dia maksudnya, mulai dari goals besar lalu lakukan pemetaan ke list-to do kecil-kecil yang bahkan bisa dicicil setiap hari sampe mastery. 10.000 hours rules itu lhooo…

Soalnya si otak kita yang paling bawah itu, yang ngatur emosi, a.k.a otak reptile tu lebih suka sama hal-hal kecil dan mudah. Bener kan katanya “Mendingan ibadah yang kecil-kecil tapi dilakukan setiap hari!” edan emang agama gue ya? Hahahhaa..

Note penting untuk boosting si SELF-EFFICACY ini adalah:

  1. Spesifik kalau mau ngasih apresiasi; “You did well because you tried 3 times to draw flower without giving up” instead of praising them with “GOOD JOB”
  2. Providing just-right activities. Children need to be involve in the decision making process and practice new skills that are challenging but achievable.

Kondisi terkendali

ALHAMDULILLAH sekarang udah JAUH BANGET MEMBAIK.

Saya ajak dia mulai dari pemetaan skills. Karena anak ini kan ikut les, ikut sekolah ini itu. Alias skillsnya banyak, tapi dia gak termotivasi karena susah banget coping sama pandemic ini. Makanya saya mulai dari situ.

Dia petakan skillsnya lalu dia breakdown, skills mana yang mau dia fokuskan sampe akhir tahun.

Disesuaikan dengan “WHY”-nya. Dia mau tujuannya apa? Cita-cita dia apa? Tujuan besar hidupnya apa? Nah dari situ dia milih; fotografi, painting, drawing, public speaking and business untuk di-upskills.

Ide bisnis pot

Tiba-tiba dia punya ide untuk membangun bisnis; POTTOPIA. Dia mau beli pot-pot gerabah kecil, lalu di cat dan dijual. Dia presentasi ide-nya. Dan why-nya adalah “Nyanyak sering bikin charity, kegiatan-kegiatan dimana-mana untuk anak-anak, aku pengen ikutan, aku pengen punya uang sendiri biar bisa melakukan sesuatu”

Oh sungguh terkesima aku.

Sebenernya sih goals saya Cuma kepengen bikin dia semangat lagi, punya passion lagi, punya sesuatu yang dia seneng lakuin jadi bisa lebih mudah coping dengan situasi yang serba berat ini.

Alhamdulillah kalo akhirnya bisa jadi sesuatu yang lebih besar.

Trus implementasinya gimana?

Yang masih jadi kendala adalah nemenin dia sih. Soalnya saya juga banyak banget kerjaannya dan dia kan butuh banget ditemenin. Cuma kerangka berpikir dan semangat udah mulai Kembali. Tentu ini berkat bantuan semua pihak juga, ya dari sekolah yang suportif banget, miss-miss dan konselor, juga dari terapi yang dia jalanin sepekan sekali.

Sekolah online masih on-off semangatnya, tapi ya gimana Namanya juga bocah kan maunya pecicilan. Saya mah yang penting jiwa raganya selamet aja dulu deh. Gak tinggi kok ekspektasi saya, karena ini kan force majeur.

Tapi asli sih belajar itu membantu banget. Kebayang kalau saya enggak belajar dan enggak minta bantuan, mau jadi apa saya dan Abib?

Koneksi tentu yang utama, karena saya terkoneksi dengan Abib, maka saya tau kalau ada yang gak beres. Saya jadi tau apa yang dirasain Abib dan saya akan terus berusaha enggak nyerah untuk membantu dia. Karena dia masih kecil, otaknya masih terus tumbuh. Gimana saya mau ngarepin dia mampu coping, kalau prefrontal cortexnya aja masih cor-coran.

Tentu harus saya yang turun tangan, dan saya percaya, secapek apapun yang saya rasakan ini, manfaatnya jadi JAUH LEBIH BANYAK. Bukan Cuma buat Abib, namun justru juga buat saya.

Parenting itu mudah

Image

Parenting itu mudah.

Ngeselin ya? Iya seringkali saya dicap ngeselin Ketika mengatakan hal ini. Saya sudah berulangkali mengulangnya di Instagram saya, dan tetep lah ada komen kesel sama statement ini, karena semua orang bilang parenting itu adalah pekerjaan paling sulit di dunia.

Hmmm…

Gini, anak saya emang hanya dua, dan belum berpengalaman lah hitungannya. Anak pertama usianya 10 tahun, yang kedua usianya 3 tahun. Satu pre-teen, satu toddler. Tapi saya semakin yakin bahwa parenting itu mudah, yang susah itu berubah.

Masa lalu saya enggak mudah. Banyak trauma yang saya alami di masa kecil, dan masih saya bawa sampe sekarang. Tapi sejak memutuskan untuk menikah, saya belajar. Iya, saya terus menerus menenggelamkan diri dalam bahan bacaan dan ikut berbagai kelas untuk semakin memahami tugas baru sebagai istri dan ibu.

Ternyata, semakin saya belajar, semakin saya paham bahwa yang tersusah adalah berubah. Hal yang paling berat untuk dilakukan adalah menyadari apa yang salah, dan memahami diri sendiri. Memahami kenapa saya merasakan ini dan itu, kenapa saya melakukan ini dan itu, dan apa sih yang idealnya dilakukan.

**

Saya adalah manusia yang sulit merasakan perasaan. Sulit memahami apa yang terjadi. Karena biasanya, emosi yang saya tau hanya garis besar: senang dan marah. Kalau di gambar gunung es, dua perasaan ini ada di permukaan dan sisanya adalah rasa-rasa lainnya yang kerap tersembunyi; cemburu, sedih, kecewa, dan sebagainya.

Saya sulit memahami itu semua, karena terbiasa me-repress hal-hal yang saya rasakan dengan kalimat kunci “I’m fine!”

Saya memutus koneksi dengan diri saya sendiri. Sehingga, saya mengalami banyak kesulitan dalam bersosialisasi. Saya mengalami banyak kesulitan dalam berkonsentrasi, karena saya bahkan tidak mampu meregulasi emosi saya sendiri.

Terima kasih Tuhan karena mengizinkan saya menjadi ibu, dan belajar lebih banyak lagi dari anak-anak saya tentang emosi.

Ternyata begitu sulit mengasuh anak, jika saya bahkan tidak mampu meregulasi emosi diri sendiri. Ternyata begitu sulit menjalani rumah tangga, jika saya bahkan tidak mengenali kebutuhan diri sendiri. Ternyata yang sulit bukan praktik pengasuhan, namun memahami emosi dan meregulasinya sehingga dapat berfungsi dengan baik, sebagai manusia.

Luka-luka masa lalu, yang enggan diakui dan diterima keberadaannya ini akan terus memberikan beban berat di Pundak saya. Inilah yang membuat saya kerap terganggu dengan perilaku anak-anak. Ini yang membuat saya sering marah dan merasa parenting itu sulit.

**

Saya terbiasa menjadi sosok kuat, apalagi saya anak pertama. Banyak hal yang dibebankan di Pundak saya. Saya pikir saya memang baik-baik saja. Saya pikir tidak ada masalah. Ternyata ada begitu banyak masalah yang terjadi Ketika saya harus bersosialisasi dengan manusia lain.

Saya terlalu keras. Saya terlalu gamblang mengatakan hal-hal yang harusnya saya katakan dengan hati-hati. Saya tidak bisa memahami air mata orang lain. Saya tidak mau mengerti kesulitan yang dialami orang lain. Saya terus menerus memberikan pressure seolah semua orang sekuat saya.

Iya, saya memang keras kepala. Saya memang kuat. Saya memang bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu dan saya pembelajar yang kelewat baik. Namun ternyata semua itu percuma, tanpa regulasi emosi.

Saya gagal memahami bahwa kuat itu berarti mampu mengakui diri sendiri dengan segala kelemahannya. Saya gagal memahami bahwa saya manusia, ada kalanya saya Lelah dan butuh istirahat. Saya gagal memahami bahwa saya tidak akan pernah bisa hidup sendiri.

Saya akui, ini berat sekali.

Dan tambah berat Ketika saya menikah dan harus menyesuaikan diri untuk hidup dengan orang lain. Lalu punya anak, Ketika saya yang sebetulnya keropos ini, harus terus berbagi dengan manusia mungil yang menggantungkan hidupnya pada saya.

Gelas saya kosong, jadi tidak ada yang bisa saya bagi.

Ini adalah titik terberat yang akhirnya membuat saya sadar. Saya butuh koneksi.

**

Semua berubah Ketika saya memahami soal koneksi, Ketika saya memahami diri sendiri, dan mulai perlahan melakukan perubahan.

Saya belajar menangis. Saya belajar mengakui. Saya belajar merasa lemah dan tak berdaya. Saya belajar berserah diri pada Tuhan. Saya menyambung Kembali koneksi dengan diri sendiri. Perlahan gelas saya Kembali terisi.

Sejak itu saya paham bahwa parenting itu mudah.

Parenting itu sebetulnya pekerjaan yang amat mudah, Ketika saya memahami koneksi. Ketika saya terus belajar untuk meningkatkan pemahaman mengenai diri sendiri, dan berbagai kondisi psikologis di diri ini untuk kemudian mengisi gelas dan membaginya dengan keluarga saya.

Oh ya, seperti iman, koneksi juga naik turun.

Ada kalanya saya Lelah dan kelepasan marah. Ada kalanya saya bosan mendengar keluh kesah anak-anak. Ada kalanya saya butuh waktu sendiri.

Namun karena saya sudah memahami diri saya, maka yang saya lakukan adalah memberikan waktu untuk diri sendiri. Yang saya lakukan adalah terus belajar bernafas dan mencoba menggali lagi, “Kenapa ya tadi saya melakukan itu?”

Koneksi juga mengajarkan saya untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf pada anak-anak saya.

Koneksi juga mengajarkan saya untuk memahami bahwa behavior itu seperti demam. Iya, itu adalah gejala dari suatu penyakit. Bukan penyakitnya. Jadi saya harus mencari tahu, kenapa orang melakukan behavior tertentu, menggali dari akarnya dan mencari solusi untuk itu.

Kalau anak saya tantrum, saya adalah manusia pertama yang harusnya paling memahami kenapa dia melakukan itu? Bukannya menyelesaikan tantrumnya dengan Langkah sementara demi ego saya…
“biar gak berisik” atau “biar anteng”

Koneksi akan memudahkan saya untuk melakukannya. Koneksi akan membuat segalanya jadi mudah dipahami dan sungguh deh, mudah dilakukan.

Serius deh, parenting itu…MUDAH

Jadi, saya akan tetap ngotot menyatakan bahwa parenting is easy.

Saya akan tetap menggaungkan kepada dunia bahwa “easy” bukan berarti menggampangkan. Bukan berarti menyelesaikan persoalan seenaknya, memilih jalan yang paling mudah untuk mengurus anak atau bahkan mengabaikan anak-anak, karena harus easy.

Bukan itu.

Easy terjadi karena koneksi.

Once saya memahami koneksi, maka apapun yang anak-anak saya lakukan, saya tau apa yang harus saya lakukan. Kalau saya salah Langkah maka saya akan meminta maaf dan mengakui kesalahan. Lalu memperbaiki hubungan.

Easy terjadi karena koneksi.

Ketika saya terkoneksi dengan diri sendiri, saya akan mampu meregulasi emosi. Ketika saya mampu meregulasi emosi, maka saya tau apa yang sedang dibutuhkan oleh tubuh saya, jiwa saya. Saya tau kapan saya harus tetap tegas pada pendirian, dan kapan saya harus mengalah. Saya tau battle mana yang harus saya pilih.

Easy terjadi karena koneksi.

Dengan memahami koneksi, saya akan mulai melakukannya dengan setiap manusia bahkan mahluk hidup lain. Karena itu saya mulai connecting the dots, karena ternyata setiap hal saling terkoneksi satu sama lain. Ternyata semua hal tidak ada yang diciptakan sendirian. Ternyata banyak hal yang saya belum ketahui, dan saya jadi semakin haus pengetahuan.

Saya jadi belajar lebih banyak, dan tertarik pada banyak hal secara simultan.

Ketika ibu menjadi pembelajar, ia akan terus memperbaiki dirinya di setiap hembusan nafasnya.

Saya yang tadinya enggak pernah tau cinta itu apa, sekarang mulai paham, karena Tuhan mengajarkan cinta lewat anak-anak saya. Saya jadi tahu, ternyata cinta yang membuat saya masih berdiri disini dan rela melakukan apapun untuk masa depan anak-anak saya.

Saya yang mulai terkoneksi ini merasa bahwa belajar untuk menjadi lebih baik itu sangat penting untuk anak-anak saya kelak. Saya adalah role model mereka, ucapan saya akan menempel di kepala mereka, keyakinan saya adalah keyakinan mereka, duka saya adalah duka mereka.

Cinta yang membuat saya jadi lebih baik terus setiap harinya.

Cinta yang menggiring saya menuju koneksi.

Dan koneksi yang meyakinkan saya bahwa….parenting is easy!

Yasmina Hasni