Semalam, saya enggak bisa tidur. Ya biasa sih, karena keasyikan. Bukan, bukan keasyikan nulis, nonton atau buka-buka instagram (baca: ONLINE SHOP hahaha). Tapi karena baca buku. Buku yang tadinya saya anggap buku cheesy, yang isinya bisa bikin ngakak, dan saya baca karena saya lagi mumet, butuh hiburan.
Mengapa saya sudah yakin bahwa buku yang saya baca ini cheesy? Karena penulisnya Adhitya Mulya. Itu loh, penulis “jomblo” dan “Gege Megejar cinta”. Dan saya enggak suka baca resensi sebelom baca buku atau nonton film. GANGGU. Hahaha..
Nah, ternyata di buku nya yang terbaru ini, beda. Iya, masih banyak sih kalimat-kalimat lucu yang bikin saya ketawa. Tapi, di halaman-halaman lain, ada begitu banyak kisah yang sukses bikin saya terenyuh. Judulnya sederhana…SABTU BERSAMA BAPAK.
Kang Adhit, kamu sukses membuat saya mellow. 🙂
Buku setebal 277 halaman ini bercerita tentang dua orang anak yang tumbuh dewasa tanpa kehadiran fisik Ayahnya yang meninggal karena kanker, di usia muda. Saat kedua anak ini, Satya dan Cakra, masih berusia amat belia. Namun ternyata ayahnya punya cara spesial, SUPER spesial, yang berhasil membuat kedua jagoannya tetap tumbuh dengan kehadiran seorang Ayah.
Jadi menarik, sebab buku ini justru menceritakan kisah kehidupan Satya dan Cakra di usia 30an. Saat problema yang dihadapi lebih dekat dengan kehidupan manusia dewasa. Dengan pilihan menikah, cara mendidik anak, menyelesaikan masalah pernikahan, menjalani karier. Plus kisah seorang ibu yang menghadapi dua putra dewasa.
Ok, segitu aja sebelom saya jadi spoiler. Hehehe..
Jadi buku ini, seperti buku-buku Kang Adhit lainnya, memang berhasil membuat saya gak berhenti baca. Tapi, kalau sebelumnya, saya baca buku kang Adhit isinya ngakak doang, kali ini jadi ada variasi. Ngakak, mewek, ngakak, mewek. Benar-benar lelaki yang pandai memainkan perasaan ya dia ini. Hehehe..
Tapi, kalo mau dirasionalkan, saya merasa kelemahan cerita di novel ini adalah rasa ragu yang terbit dalam hati usai membaca. Bisakah anak tumbuh baik tanpa bapak, dan tetap menjalankan pesan tanpa kehadirannya secara nyata? Mungkinkah hal ini terjadi? Entah ya…
Selain itu, alur ceritanya juga mudah ditebak. Unsur kejutannya minim banget. Tapi kayanya memang bukan untuk itu buku ini ditulis. Buku ini, seperti baca kolom parodi nya samuel mulia di koran kompas saban hari minggu. Cerita yang smooth tapi dalem.
Untungnya kisah di buku ini unik, cara bercerita yang betul-betul enak dibaca, dan keliatan banget deh matangnya. Kalo musisi-musisi kan suka ditanya wartawan tuh tentang album barunya, biasanya dijawab “Di Album baru ini, kami semakin matang..” mungkin Kang Adhit juga bisa jawab demikian. *Grin
Dan endingnya….hhhh *helanafas
Pasti mewek lah baca endingnya.
**
Setelah selesai baca, hal pertama yang saya rasakan adalah; KANGEN BERAT sama mama. sosok si Ayah di buku ini, adalah sosok mama dalam kehidupan saya. Penuh perencanaan yang matang, karakter yang tenang, otak yang cerdas dan punya stok sabar yang unlimited.
Salah satunya yang bener-bener sama adalah, pesan mama untuk jadi orang yang bersyukur. Dengan cara menjadi ‘perhiasan’ dunia akhirat buat suami, seperti pesan nabi. Saya pernah nulis soal itu disini. Kalo di buku ini ceritanya adalah si bapak memberi dua contoh kawannya yang poligami dan ‘jajan’ sana sini karena istrinya sudah enggak menarik.
“Satya, Cakra, suami-suaminyang memerlakukan istri mereka seperti barang, adalah suami yang zolim. Tapi ada hikmah yang bapak dan ibu petik disni. Bahwa semakin kita tua, kita memang semakin tidak menarik. Itu sebabnya bapak dan ibu rajin berolahraga. Bagi bapak, yang penting itu bapak menjadi perhiasan yang menyenangkan ibu. Bagi ibu, yang penting itu ibu menjadi perhiasan yang menyenangkan bapak”
Selain itu, karakter Satya yang meledak-ledak dan kurang sabar dalam menghadapi ketiga putranya juga seperti menendang-nendang saya. Cih, seringkali saya gak sabar dalam menghadapi abib. Padahal anak baru satu.
**
Saya jadi sedih, kenapa ya saya gak punya kenangan berupa pesan seperti yang Ayah Cakra dan Satya lakukan? Kenangan dan pesan-pesan mama Cuma nempel di kepala, tanpa bisa saya dengar lagi. Omelannya, tegurannya, lengkap dengan matanya yang melotot itu. oh mah, plis lah omelin aku lagi…hehehe
Don’t know what you got till it’s gone itu benar adanya ya?
Tapi ya mama gak perlu juga menyiapkan cara seperti bapak di buku ini. Karena dia kan ada, hadir, di setiap masa sulit dalam hidup saya. Dan dia meninggalkan saya, ayah saya dan adik saya saat kami berada dalam keadaan terbaik dalam hidup kami. Dia meninggalkan keluarga yang dia jaga seumur hidupnya, dengan tenang.
Ok, sebelom saya keburu mewek, ada cerita dari buku ini yang mau saya bagi dan pasti bikin kepengen baca.
Kamar tidur, sore hari. Pak Gunawan selesai memberikan penjelasan kepada istrinya. Dia menutup folder yang ada di depan mereka dan memberikan folder itu pada sang istri. Sang istri menatap label dari folder itu lagi.
‘Aset’
“Hidup kalian beres. Pendidikan anak beres. Dan yang paling penting, bekal kamu, beres.”
“Terima kasih ya kang.” Ibu Itje menatap suami yang kian lemah setiap hari. “Kalo saya jangan dipikirin. Yang penting anak-anak.”
“Nah…jangan berpikir seperti itu.”
“Zaman orangtua kita, negeri ini masih membangun. Yang namanya pekerjaan itu, masih mencari orang. Bapak-bapak kita lulusan SD aja bisa nafkahi orang sekampung.
Zaman kita, adalah zaman mencari pekerjaan. Kepala sarjana tidak terlalu mahal lagi. Kita berdua masih bisa mandiri.
Zaman anak kita, gak kebayang seperti apa sulitnya persaingan mereka. Pastinya orang cari pekerjaan.”
“Setelah mereka mandiri nanti, belum tentu mereka bisa menolong diri mereka. Apalagi menolong kamu. Makanya saya siapkan untuk kamu juga.”
“Waktu dulu kita jadi anak, kita enggak nyusahin orangtua. Nanti kita sudah tua, kita gak nyusahin anak.”
**
Ok. Misi penulisan novel ke lima Kang Adhit ini berhasil. Cerita ini menjadi wacana yang dekaaaaaat sekali di hati saya. Keep on writing ya Kang. 🙂