GEN Z adalah generasi break out, generasi yang mudah bosen dan sering pindah kerja. Generasi sosial yang apa2 harus ada purpose-nya. Generasi yang bisa minta cuti karena mentally breakdown. Generasi yang pre-digital native, tapi seringkali kesulitan small talk dan sopan santun.
gen millenial
Siapa sih Gen Z?
Masih banyak lagi statement geng millennial tiap bahas gen z.
Saya sepakat gak sepakat.
First of all, siapa sih gen z? mereka yang lahir antara tahun 1995-2010.
Jadi anak2 saya mah masih masuk gen alpha. Udah digital native banget. Mungkin kelak akan lebih complicated lagi. Hahahaha
Tapi saya sih gak seneng melakukan generalisir ya, soalnya buat saya manusia ya manusia. Siapapun dia, lahir dimana, lahir di tahun berapa, ses nya apa, pendidikannya gimana, ya manusia aja.
Gak mau generalisir
Mungkin emang ada penelitian secara umum mengenai karakter satu generasi yang lahir di tahun yang berdekatan, kaya generalisir zodiac, atau asal daerah. Bisa jadi memang mirip, karena ada kesamaan pembentukan karakter.
Tapi, MBTI aja gak semuanya sama persis. Saya yang INTJ banget ini, kadang muncul perilaku ENFP-nya, kadang ada perilaku2 lainnya juga. Gak bisa dipukul rata, kok.
Bagi saya, pukul rata ini akan mengakibatkan kita jadi fixed mindset. Ngeselin.
“Duh gue gak bisa deh rapi gitu, gue kan sanguine!” atau “Ya ampun, gue kan ENFP banget. Ya gue emang gini!” lah gimana dah ceritanya. Kaya gak gaya belajar aja; duh gue tuh gaya belajarnya visual banget, gak bisa deh gue belajar kalo gak liat visualnya.
No, saya percaya bahwa kita semua divergent.
Otaknya belum beres dibentuk
Nah coba kita bahas dari GEN Z deh. Kalo yang paling tua lahirnya tahun 1995, berarti usia mereka sekarang, yang paling tua aja, baru 26 tahun kan?
Prefrontal cortex—bagian otak yang mengatur executife function, behavior dan personality-nya aja baru terbentuk di usia 25. Itu juga kalo stimulasinya cukup.
Artinya? Ya masih nyari. Hehehehe…apa Anda lupa dulu jaman muda juga alay? Apa lupa kalo dulu sosialisasi nongkrong sana sini jauh lebih penting ketimbang apapun di dunia ini?
Jadi kalau perilakunya masih lompat sana lompat sini, masih galau, overthinking, gak bisa ambil keputusan, meaningless, ya wajaaaar laaah! Emang milestone-nya kan!
OUR BRAIN IS A MEANING MAKING MACHINE
Ketimbang nyela2 dan generalisir, mendingan ngana yang tua mulai ngajak mereka yang masih muda itu untuk menemukan WHY hidupnya!
Sebelum baca buku Simon Sinek, saya udah nonton KUNGFU PANDA. Menurut saya, film itu menggambarkan lebih gamblang soal mencari meaning atau why. Iya, dia mencari siapa dia? Panda apa angsa?
Dia juga mencari chi-nya, mencari tau kenapa dia dipilih master oogway sebagai dragon warrior, mencari maksud keberadaannya di dunia ini. Keren banget, asli.
Trus belajar juga Ketika sertifikasi positive psychology. Soal meaningful life yang harus ditanamkan ke anak-anak bahkan sejak kecil. Anak-anak harus terbiasa dengan WHY. Jangan sampe idup Cuma jadi rutinitas yang meaningless.
Mulai dari KINDNESS
Tau emotional contagion? Jadi kalau dalam satu ruangan ada manusia yang “bertingkah”, dia akan mengakibatkan efek domino ke yang lain. Iya, energy impact the whole room.
Nah, tentu menanganinya harus dengan kindness. When someone receive the act of kindness, they’ll more grateful and more likely to pass it on. Kita, otomatis, jadi kepengen juga pay it forward ke orang lain.
THE MORE WE FOSTER GRATITUDE AND KINDNESS>> THE MORE THE CULTURE TURNS TOWARD POSITIVITY.
Meaning
Nah, habis itu, masuk deh ke meaning. Makanya, semakin besar anak, mereka akan lebih sering nanya “WHY???” Ya kaaaan…artinya neocortexnya makin gede ya makin terbentuk. Masukin deh value-value yang penting.
Sebab, memahami arti diri kita di dunia ini akan membuat hidup yang dijalani jadi fits into a larger context and has significance. Tumbuh deh tu komprehensi dan merasa hidup ini semuanya masuk akal.
Makanya, disebut bahwa memahami punya alasan menjalani hidup akan menahan dampak stress. Penelitian bilang bahwa mereka yang punya kapasitas untuk membuat hidup yang dijalaninya masuk akal dan meaningful, biasanya mampu menanggapi trauma yang pernah dihadapi sebagai pembelajaran yang membuatnya tumbuh lebih dewasa.
Iya, mention itu; GRIT, RESILIENCE. Ini dia kan kompetensi penting yang dibutuhkan kita untuk tumbuh optimal. Kita jadi mampu connecting the dots, kemudian memahami kenapa kita dikasih ujian A, ujian B sampe Z. accept dan melenting lebih tinggi.
Penting banget, kan? Iya lah. Makanya sekaarang juga di ilmu marketing, yang dikedepankan bukan what to say, tapi justry why-nya. Brand purpose-nya. Karena tanpa itu, kita Cuma jualan sesuatu yang meaningless. Gak ada sesuatu yang bermakna di brand kita.
Lebih oke sih menurut saya, perkembangan zaman yang justru menggiring kita ke consciousness ini, menjalani kehidupan yang jauh lebih mindful. Bukan sekadar bangun tidur lalu siap2 dan menjalani rutinitas just because this is what I’m supposed to do.
ERA 5.0 DI DEPAN MATA
Sudah pernah nonton film free guy? Ceritanya sederhana tapi bagus banget buat saya. Dulu nonton ready player one, udah kuatir kalo masa depan anak-anak akan lebih banyak dihabiskan di dalam dunia VR yang meaningless, dan justru menjadikan mereka robot.
Di free guy, lebih gila lagi. Kode games yang bisa mikir kaya manusia itu gila sih. Sayangnya, hal ini mungkin banget terjadi. Bahkan manusia bisa jatuh cinta sama manusia di dunia game yang totally bot, gak ada playernya. Buseeeett!!!
Nah itu gambaran masa depan gen alpha, Ketika society 5.0 terjadi kelak, manusia akan berjalan beriringan dengan robot. Iya, robot yang kecerdasannya bisa melebihi manusia dan bahkan bisa bikin manusia merasa lebih nyaman Ketika Bersama dengan robot. Inget film HER? Ya saya aja seneng kok ngobrol sama google assistant, bener dah.
Jadi jangan gila ya, hari gini masih enggak aware sama competencies yang dibutuhkan anak kita di masa depan kelak. Solusinya bukan menjadikan mereka robot dengan jadwal yang ketat tanpa flexibility, dipaksa duduk dan belajar coding terus tanpa bergerak seru layaknya anak-anak.
Justru, jadikan mereka manusia. Karena secanggih2nya coding setiap robot kelak, still, mereka buatan manusia kok. Pasti tetap bisa diprediksi, bahkan bisa di reboot. Manusia kan enggak. Kalo bersanding dengan kemampuan robot doang, ya pasti kalah, karena robot gak pake nyeri mens, gak pake sakit hati, gak ada perasaan yang bisa menghambat kinerja.
Cuma manusia yang punya creativity, flexibility, interdependence dan kemampuan kolaborasi. Cuma manusia yang punya resiliensi, karena kita tau kita gak bisa di-reboot. Kuncinya ada di WHY. Iya di kemampuan tiap kita memahami makna keberadaan kita di dunia.
Kalau anak-anak muda itu sering bilang hampa dan mental breakdown; embrace, validasi, dan lakukan meaningful roles intervention. Kasih peran penting untuk berpartisipasi di komunitas masyarakat, atau kasih kesempatan untuk memahami makna hidupnya dengan beri kepercayaan berperan.
STOP GENERALISIR
Jangan malah disentak di generalisir. Ingat, otaknya masih cor-coran. Kalau yang kita tawarkan adalah feedback positif, dan kindness, mereka akan tumbuh lebih baik dan punya peran di masa depan. Bukan buat diri mereka sendiri aja, kok. Buat kita semua juga..
Bukankah kita juga punya tanggung jawab untuk membangun negeri Bersama-sama? Bukankah kita kepengen Indonesia jadi lebih baik dan lebih nyaman untuk ditinggali? Bukankah anak-anak kita akan berjalan beriringan dan masa depannya juga ditentukan oleh si gen z yang sedang berperan di era kita udah sakit pinggang susah jalan, kelak?
Mereka semua akan menjadi pemimpin, menggantikan peran generasi kita, kelak. Ketimbang saling menyudutkan, gimana kalau berjalan beriringan saling membersamai, saling menyayangi?
yasmina