Kungfu Panda 3 dan “Siapa Aku?”

Gallery

Tadi siang saya nonton Kungfu Panda 3. Seperti biasa, ceritanya bagus banget, dan endingnya gak mudah ditebak. Selalu bikin deg2an menjelang ending. Seneng banget nontonnya.

Kali ini ceritanya tentang si Po yang sedang galau karena disuruh jadi guru oleh master shifu. Dia ngerasa gak bisa ngajar. Tiba-tiba ditengah kegamangannya itu, dia ketemu papanya. Kemudian,  hadir musuh lama master oogway dari dunia kematian dan bisa menyerap chi para master. Yagitulah, kalo dilanjutin nanti saya jadi spoiler.

Dan dialog pertamanya (saat shifu minta Po jadi guru) aja udah bisa bikin saya diem.

Shifu:If you only do what you can do, you’ll never be better than what you are.

Po: But I like who I am!

Shifu: You don’t even know who you are!

Ini ngingetin saya sama salah satu aspek dari materi sharing session kedua sama Mbak Devi psikolog anak dari Rainbow Castle, untuk karyawan taman main, tentang anak usia 3-5 tahun. mbak Devi bilang: usia 3-5 tahun adalah satu-satunya fase seorang anak memeroleh rasa percaya diri yang akan dibawanya sampai dewasa. Lewat usia ini, udah susah deh membentuk PD.

Bahas dikit deh materi tentang percaya diri ini ya..

Di usia 3-5 tahun, aspek sosioemosionalnya juga mengalami perkembangan pesat. Ciri-cirinya:

  1. Mulai berkembang self concept—aku siapa? Kemampuanku? Sikapku seperti apa? Nilai dengan diriku apa? Dia mulai melihat dirinya sebagai individu yang punya sesuatu dalam diri.
  2. Semangat untuk menghadapi tugas baru dan menemukan apa saja yang ia mampu lakukan. Tentunya bermain. Aku bisa ini aku bisa itu
  3. Munculnya rasa keberhargaan diri—seberapa bagus/baik/berharga sih aku sebagai seorang anak. modal awal masa dewasa, ya ada di waktu usia ini. Emangnya mau, anak tumbuh sebagai anak yang “aku gak bisa” karena kita sering dibilangin “kamu ga bisa, itu salah dll” dia akan selalu inget rasanya. Rasa bersalah itu bagus kalo lebih sedikit jumlahnya. Rasa PD nya harus lebih gede. Rasa bersalah itu perlu, buat bikin dia lebih baik lagi. didorong aja dikit. Pilih-pilih kata dalam mengoreksi anak. Memang anak mungkin lupa kata2nya, tapi gak pernah lupa rasanya.
  4. Mulai memahami emosi dan penyebabnya
  5. Parallel play –main bersebelahan tapi sendiri2. Jadi ini normal sampe usia 5 tahun. sering aja kita mainin bareng, nanti juga dia ada co working play. Social play.
  6. Mulai tahu identitas jenis kelamin dan perbedaan perannya dari lingkungan. MULAI USIA NILAH KITA MEMPERKENALKAN PERBEDAAN PEREMPUAN DAN LAKI2. Sex education: mengenalkan anggota tubuh. Harus udah tau nama2 jenis kelamin yang bener. Mengajarkan malu.

MASALAH:

  1. Self esteem rendah. 3-5 tahun ini adalah masa pembentukannya, lewat dari ini, gak bisa lagi. resiko self esteem rendah ada di masa ini.
  • Dia akan tumbuh baik jika anda merasa ia bisa menguasai satu hal. Merasa bisa ambil gelas, bisa sendokin nasi ke piring sendiri, merasa bisa cuci piring sendiri.
  • Biasanya pada usia 4-5 tahun dia mulai berkomentar bahwa dia gak bisa pada suatu hal. Sering juga anak melaporkan orang tua mengoreksi kesalahan kecil mereka. ini hal yang wajar. 3-4 tahun dia mau coba semua. Tiba2 pas 4 tahun dia bilan ga bisa. Tipsnya: Pilih koreksi yang paling penting aja. Misalnya yang berkaitan dengan Kejujuran, kebaikan dan kasih sayang. Jangan semuanya dikoreksi. Biarkan anak melakukan dengan caranya.
  • Manajemen ekspektasi pada diri orangtua thd anak. MANAJEMEN EKSPEKTASI: Jangan mengharapkan anak itu seperti orang dewasa. Kalau mau mengoreksi, lebih baik langsung ngasitau aja yang lebh baiknya gmana: langsung kasitau, “ini coba kaya gini, mungkin lebih oke.” Langsung kasih kalimat pilihan solusi.
  • Selalu temukan sisi positif pada kerja anak. biasanya dirumah orang tua Cuma muji kalo nilainya bagus aja. Misalnya dia mau beresin mainan itu kebaikan, dia mau nyoba, itu kebaikan. TANGKAP SEMUA KEBAIKAN KECIL.
  • Utamakan membahas tentang proses dan cara meningkatkan kemampuan anak. kita bukan hanya memuji hasil akhirnya. Namun justru MEMUJI PROSESNYA. “Kami hebat ya, mau gambar dengan sabar” tapi inget ya, kalimat “Gitu doong masaknya enak.”– Itu bukan pujian. Pilih kalimat yang lebih baik, seperti “Terimakasih ya sudah mau bantu beresin mainan,”
  • Karena itu kita harus Stop labelling. “Hei si cantik,” atau “Kamu kok gak bisa dibilangin sih?” pujian sebelum melakukan sesuatu hanya akan membuatnya terlalu PD, merasa cantik, misalnya. Nanti saat dewasa, ada jerawat dikit, dia langsung ngerasa jelek. Pujian itu setelah dia berhasil melakukan sesuatu.

Oke itu secuil materinya. Sebab sebenernya ada banyak banget, tapi ini aja deh ya yang dibahas. Hihihi..

Nah apa hubungannya sama si Kungfu Panda 3?

Kung-FU-Panda-3-poster

Yang udah nonton, ngeh kan sama scene, si Po akhirnya sadar; bagaimana cara menjadi guru yang baik? iya, di scene ini dia mendadak sadar, bahwa yang bikin dia gak bisa ngajar itu adalah cara dia memandang muridnya. Dia tadinya berpikir; bagaimana membuat murid-muridnya bisa jadi seperti dia. padahal sebetulnya bukan itu esensi pendidikan.

Menjadi guru (atau orang tua) yang baik, adalah; membuat murid-murid (atau anak-anak) nya bisa mengenal dirinya sendiri, kemudian mengembangkan potensi yang selama ini sudah ada dalam dirinya. Bukan mengubah mereka jadi seperti guru (atau orang tua) nya. DALEM GAK? Hahahaha..

Di film ini, dia akhirnya mengajak semua panda-panda untuk menjadi ahli dalam bidangnya masing-masing. Mencari tau, “siapa aku?” dan kemudian menjadi dirinya sendiri, menggunakan segala kemampuannya untuk berperan dalam sebuah kelompok, untuk mencapai tujuan. Di film ini; melawan musuhnya, Kai.

Keren banget. Apalagi ditambah kalimat dari master shifu yang bilang bahwa master oogway pernah berdiam dalam gua selama 30 tahun untuk menjawab satu pertanyaan “Siapa aku?” baru kemudian menemukan chi-nya. Ah, ini bikin sedih sih. Iya juga ya, sadar gak sadar, saya sering banget berusaha membuat Abib memiliki kemampuan saya. padahal kan gak harus begitu. apalagi kenyataannya, karakter dia beda banget dengan saya.

Kita, eh, atau saya aja ya? hehe..dulu biasa dibesarkan oleh orang tua yang berusaha keras menjadikan diri saya seperti yang mereka mau. Papa, dengan otak kanannya yang spontan, penuh seni, kreatif, dan melakukan apapun dengan feeling. Sementara mama, yang ramah, manis sama semua orang, tapi tegas dan sangat disiplin.

Saya pernah tumbuh dalam kebingungan, dan gak pernah mampu melejitkan potensi, karena ENGGAK PERNAH TAU: SIAPA AKU?? Hhh..

Saya enggak dibesarkan dengan kesempatan untuk menjawab pertanyaan itu. saya dibesarkan dengan standar-standar, yang harus dipenuhi. Dan itu sebetulnya menyusahkan, dan enggak menjadikan saya apa-apa, ya kan?

Untungnya, saya menikah dengan si Poe. Dia sih guru banget, emang. Dia yang bikin saya sadar bahwa dominasi otak saya 80 persennya ada di kiri. Dan harusnya saya tumbuh menjadi anak yang amat pintar ngitung dan suka matematika. Dia pernah bilang “Kamu itu otak kiri garis keras, tapi dipaksa  untuk berpikir dengan otak kanan. Akhirnya bingung”. Heu. Itu dulu banget jaman baru nikah. Sayang ya, sebenernya.

Dan sekarang, terimakasih banyak untuk si poe, akhirnya saya bisa menjawab pertanyaan itu. saya jadi tau gaya belajar saya, dan jadi tau apa yang saya mau. Telat sih emang, karena sekarang umur saya udah 31 tahun. tapi, seenggaknya sadar lah ya. hahahaha..

Nonton kungfu panda tadi juga bikin saya inget sama sahabat-sahabat saya, yang kerjasama bareng bikin taman main. Kami punya karakter yang sama sekali beda. Tapi kami bisa kerjasama dalam satu tim, karena kami bekerja dengan potensi dan kekuatan masing-masing. Saya dan kemampuan bikin jadwal, banyak baca, dan nulis. Eva dengan kemampuan bikin gambar, mendesign segala sesuatu. Resna, dengan kemampuan bikin laporan keuangan, precise sama banyak hal. Citra, dengan kemampuan ramah pada semua orang dan bonding sama anak kecil. Tante nung, dengan kemampuan persuasi orang tua, karyawan, dan pengetahuan soal dunia pendidikan.

Kami jadi kuat, karena kami berbeda. Kami bisa menyamakan ritme, karena kami punya tugas masing-masing, jadi gak saling tumpang tindih. Enak banget kan rasanya?

Coba ini udah terjadi dari dulu, mungkin saya enggak perlu melewati masa remaja dengan kesulitan dan kebingungan. Andai aja dulu saya udah dididik menjadi diri saya sendiri, dan bisa menjawab pertanyaan “siapa aku” dari usia dini.

Tapi gak ada gunanya beranda-andai toh? Sekarang saya punya anak. saya harus mengubah cara berpikir egois saya, dan mengembangkan potensi yang dia miliki. Apalagi sekarang abib udah 4 tahun, waktu saya tinggal sedikit untuk bisa mendidik dia agar mampu meraih self esteem yang cukup untuk dia bawa hingga dewasa.

Ada aturan-aturan dan standar-standar yang harus dipenuhi, memang. Itu gak boleh disepelekan. Tapi, mengenal siapa dirinya kemudian menguatkan potensi harusnya ada di nomor satu dalam prioritas cara mendidik saya. jadi pada akhirnya, dia juga bisa meraih keberhasilan dengan memaksimalkan apa yang sudah ada dalam dirinya.

Terimakasih loh Kungfu Panda 3. Sekarang saya gak lagi meraba-raba materi dari Mbak Devi tentang PD. Saya harus selalu ingat chi, Cuma bisa diraih setelah seseorang mampu menjawab pertanyaan penting yang sudah muncul sejak usia 3 tahun; “siapa aku?” setelah itu bisa terjawab, baru deh saya bisa melejitkan potensinya.

Gak perlu muluk pengen mengambil semua keahlian. Gak perlu tamak dan selalu pengen jadi yang terbaik di semua bidang. Kalo kata master Oogway ke Kai: “When will u realize? The More u take, the less u have..”

One response »

  1. Pingback: Bantu Gen Z menemukan makna hidup! | My -FreeTime- Writing Domain

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s