kemarin, saya dateng nemenin si citra ngerjain tugasnya disuruh liputan. Awalnya mau ke acara wapres, tapi saya jadi inget saya sempet dapet undangan dari antara foto buat hadir di acara pameran fotonya Riza Marlon di GI. Akhirnya, saya pilih aja tempat itu.
Akhirnya niat awal nemenin, malah menghasilkan tulisan feature buat di koran. Yah semoga aja redakturnya baik dan mau naikin..hehehe.. ini dia:
Melaju Solo di Ranah Fotografi Wildlife, Demi Bumi Indonesia
“Kita (Indonesia) itu negara dengan kekayaan biodiversity kedua, meskipun saya yakin posisi kedua itu karena kita enggak punya data. Mungkin kita sebenarnya nomor satu, sebab peneliti kita kan seringkali penelitianya bagus tapi publikasi dan dokumentasinya melempem. Akhirnya yang dilihat adalah Brazil sebagai nomor satu. Karena kenyataannya mereka lebih serius. Kita tak bisa pungkiri itu,” Kata Riza Marlon, fotografer wildlife, suatu sore, di tengah-tengah dinginnya Grand Indonesia Shopping Town, Jakarta.
Ucapannya itu didukung data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang mengungkapkan bahwa baru 30 persen keanekaragaman hayati di Indonesia yang tercatat selama ini. Waktu itu, pihak LIPI menyatakan perlunya ada jaringan yang mengintegrasikan hasil-hasil temuan dan penelitian spesies di berbagai lembaga riset dan perguruan tinggi menjadi basis data yang terpadu secara nasional. Karena data tentang keanekaragaman hayati Indonesia terpencar-pencar. LIPI sendiri, sudah memiliki museum untuk berbagai koleksi keanekaragaman hayati ini, termasuk untuk biota laut yang tercatat hingga sekitar 50 ribu spesies.
Namun hanya sedikit perguruan tinggi yang memiliki simpanan koleksi, apalagi mereka belum lama memulai mata kuliah kelautan, diawali oleh Universitas Riau (Unri), IPB, Undip, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) dan Universitas Pattimura (Unpati) pada sekitar tahun 2000-an. LIPI juga pernah menegaskan bahwa kini terdapat ketidakseimbangan antara tenaga taksonomi dengan peta kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat tinggi. Selain kekurangan tenaga taksonomi, takson yang diteliti pun kebanyakan yang hanya memiliki nilai penting di bidang ekonomi seperti pertanian (Coleoptera, Hymenoptera, Homoptera, Lepidoptera), perdagangan (lepidoptera), kesehatan (diptera).Sedangkan kelompok yang kurang bernilai secara ekonomi meskipun berperan dalam ekosistem, ternyata kurang diminati seperti Coral, Cestoda, Collembola.
Faktor kurang bernilai secara ekonomi tersebut juga terjadi di kalangan fotografer. Bayangkan, hingga kini, baru satu orang fotografer yang berani mengambil bidang wildlife di Indonesia. Padahal, Riza menekankan, seorang fotografer yang berani menembus alam bebas dengan berbekal pengetahuan biologi dan mengambil gambar kemudian menyebarkannya bagi khalayak dalam bentuk pameran maupun buku, ternyata sangat membantu tugas peneliti dan penggiat pendidikan. “Saya selama ini sendirian, saya mau mengajak yang lain, apalagi kalau peneliti kita bisa motret, dan fotografer belajar biologi. Nantinya bisa saling mengisi. Tapi susah,” keluh Riza. Karena, seperti diakuinya, jalur fotografi wildlife secara finansial, jalurnya lebih kering dan proyeknya sedikit. Namun demikian, selama ini, dengan bekerja sendirian, Riza mengaku masih belum efektif untuk mempromosikan kekayaan alam Indonesia. Apalagi mengingat perjalanan antar daerah di Indonesia yang harus ditempuh dengan menyeberangi lautan dan bergumul dengan hutan beresiko tinggi.
Riza sendiri memang lulusan fakultas Biologi dari Universitas Nasional, Jakarta. Pada 1982, ia memilih fakultas tersebut karena dirinya memang menggemari hewan dan buku-buku bergambar semenjak kecil. Semasa menjadi mahasiswa, Riza sudah mulai menjajaki karier sebaga fotografer. Tetapi pada saat itu, ia belum menentukan “jurusan” nya. Ia mengambil semua order foto yang dapat menghasilkan pemasukan dan menebalkan kantongnya. “Awalnya memutuskan untuk menetapkan niat menjadi fotografer wildlife memang berat, tapi akhirnya saya memilih dan memulainya di tahun 1990-an,” kata dia. Langkahnya pun semakin mantap saat mengingat bahwa buku foto kehidupan alam yang ada di Indonesia ini seluruhnya impor. “Ya enggak salah karena tak ada yang ngerjain, Makanya saya bikin pameran dan buku supaya media lihat bahwa ada orang ini dan serius.”
Lagipula, menurut dia, sekarang ini politik nampaknya lebih penting kerimbang lingkungan. “Biarpun ada menteri lingungan hidup tapi porsinya selalu dibawah, anggaran yang diberikan sedikit, padaha kita kaya lingkungan,” katanya. Riza, sebagai tukang foto, berusaha untuk mengambil langkah kecil demi mengingatkan semua orang dan mengajak agar seluruh elemen masyarakat dan pemerintah menyadari bahwa Indonesia adalah negara kaya yang harus dijaga bersama-sama. Ajakan dan peringatannya itu diwujudkan dengan pameran foto “Nature On Canvas” Biodiversity of Indonesia yang digelarnya bersamaan dengan peluncuran buku “Living Treasures of Indonesia” karyanya, di Grand Indonesia, 5-14 November ini.
Foto-foto hasil jepretan Riza yang dipamerkan dan dibukukan itu adalah kumpulan gambar yang di”tabung”nya selama 20 tahun sejak 1990-2010. Menatap berbagai hewan yang “terperangkap” di kanvas Riza, pada hall kecil di tengah mall mengahadirkan suasana yang berbeda. Rasanya seolah diajak menjelajah berbagai pulau di Indonesia. Awalnya, saat mulai menyisir foto demi foto dari sebelah kanan hall, membuat jantung berdebar dan rasa bangga tertoreh di dada. Riza menyajikan gambar hewan dari berbagai pose yang menakjubkan sekaligus menggelikan. Memandangi hasil-hasil jepretan itu seolah mengamini istilah “Tuhan menciptakan Indonesia sambil tersenyum”. Dari foto beruk mentawai, harimau sumatra, belalang coklat yang bentuknya persis daun kering, king kobra di sumatera, bakal bunga bangkai, bajing kerdil dari Berau Kalimantan timur, elang jawa yang ada jambulnya di gunung salak, jamur coklat di ujung kulon yang saat betumpuk jadi seperti symbal drum, kera simpai yang punya bentuk daun telinga persis manusia, dengan posisi duduk simpuh, kodok kecil pegunungan muller, bulu burung kuau raja sumatera yang detail kulitnya persis batik, bidadari halmahera dalam posisi yang cantik, lompatan tarsius di pulau sanger Sulawesi utara, burung parotia di papua hingga yang terbaik rasanya jatuh pada foto julang Sulawesi yang kaya warna sedang bertengger di pohon, dan foto orang utan meringis.
Namun, di akhir dinding pameran, terpampang-lah foto kerusakan hutan, pembunuhan satwa liar, perburuan badak bercula, hingga suku anak dalam dan “mainan” nya. Riza mengaku, ada beberapa foto hewan di beberapa daerah yang diambilnya puluhan tahun lalu itu, kini sudah punah. Karena itu, ia menegaskan bahwa dirinya sedang berkejaran dengan laju kehancuran. Itu juga alasannya mengapa ia turut memamerkan jepretan kerusakan-kerusakan alam dan perdagangan satwa liar untuk konsumsi berlebihan yang kini marak. “Section itu untuk mengingatkan bahwa ada ancaman dan bukan ancaman. Tetapi perlu diingat bahwa foto orang kubu yang memakan beruk itu bukan ancaman sebab mereka orang asli yang harus hidup di alam. Itu berbeda dengan industri yang menghilangkan hutan dan membunuh satwa liar untuk konsumsi yang berlebihan,” kata dia. Namun demikian, foto-foto kerusakan itu hanya memakan 10 persen tempat dari semua fotonya yang berhasil membuat bulu kuduk berdiri, saking terbayang indahnya alam Indonesia. Tujuannya, tambah Riza, juga untuk mengingatkan agar masyarakat tidak terlalu terlena dengan kayanya alam Indonesia. Bahwa bukan tak mungkin dalam 10 tahun kedepan, gambar kerusakan itu berubah menjadi 90 persen-nya.
Pameran yang diselenggarakan dan buku yang dilemparnya ke publik, juga berfungsi sebagai sarana pendidikan. Supaya, katanya, masyarakat banyak belajar dan mengetahui bahwa hingga kini Indonesia masih memiliki banyak hewan dan tanaman, untuk dijaga. Pendidikan tersebut ditujukan, kata dia, paling banyak untuk masyarakat. Sebab, ungkapnya, fotografer itu sedikit, peneliti dan pemerintah juga sedikit. “Yang banyak itu masyarakat,” kata dia. Ia sangat berkeinginan untuk menggalang “people power”. Sebab, menurutnya, semakin banyak masyarakat yang sadar dan melakukan sesuatu maka akan lebih kuat dan alam Indonesia bisa terjaga. Mencetak buku tanpa sponsor, menyimpan foto yang masih dalam bentuk film selama bertahun-tahun, kata Riza, memang membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Namun ia yakin, setiap tujuan baik yang dilakukan, maka disanalah tangan Tuhan akan bekerja. “Sampai saat ini, ada saja pihak yang mau membantu,” ujarnya sambil tersenyum. Maka, kepuasan hatinya akan pameran dan buku hasil karyanya, semoga saja terbayar dengan tujuan mulianya. Menjaga kekayaan alam tanah air kita yang kaya raya ini.n min
Mellow, sebenarnya. Mellow karena khawatir bahwa semua itu pada akhirnya akan terenggut dan musnah gitu aja. Mellow juga karena iri. Riza sudah melakukan langkah besar untuk memilih “jurusan” foto dan langkah kecilnya untuk Indonesia, saya belom ngelakuin apa2. Cuma bisa nulis blog. Tapi gimanapun, saya tetep harus inget something beautiful will make a beautiful mind, dan sumpah demi Tuhan, foto2 itu bener2 indah…
jadi inget bang Riza ngomong: “Gak usah takut mati kalo punya niat baik, min..”