“Kopi adalah minuman rakyat, dijual dengan harga rakyat. Kopi rakyat enak karena keringat petani dan tangan tukang kisar yang melepuh. Selain daripada itu, Penipuan!” – paman ikal, Kopi dalam gelas-andrea hirata p.133
Senyum gak bacanya?
Saya sih senyum…apalagi kalau sudah baca sluruh isi bukunya. Gak kebayang, bisa ada manusia yang bikin ensiklopedia kopi di dalam novel. Harga kopi, di dalam buku itu digambarkan dengan jumlah yang sangat muraah…karena dibuat sendiri, dan diseduh sendiri di gelas bening tanpa gagang.
Kadang dengan gula,kadang tanpa gula. Kopi hitam dengan asap mengepul yang wangi dan diminum panas-panas, karena idealnya memang diseduh dengan air mendidih. Bubuk kopi yang mengendap di bagian bawah gelas, akan menyisakan air yang saat diminum akan berakibat lidah merasakan sensasi paripurna hingga tak tahan berdiam, dan mendecakkannya sambil tanpa disadari berujar “cckkk…aaaaahh”..
Itu dia kopi. Kopi rakyat. Enak ya? Tapi di Jakarta ini, kalau menyitir keluhan si paman, semuanya penipuan. Bayangin, di kampung, harga kopi bahkan gak sampe seribu perak. Disini? Hampir menyentuh harga lima puluh ribu perak. Kedainya juga beragam, yang jelas kebanyakan dari mereka, menyajikan tempat yang kelewat nyaman. Dengan dominasi warna coklat kayu, sofa-sofa empuk, karpet lembut, irama pelan music jazz, dan tentu aroma menggigit khas kopi yang seolah memanggil hidung untuk masuk dan sekadar menikmati segelas kopi sambil melamun.
Kedai terbesar, yang bisa ditemui dimana-mana, dan punya menu caramel macchiato paling enak adalah Starbucks. Ada yang gak tau? Saya yakin gak ada. Hehehe… si lingkaran hijau dengan gambar mermaid ditengahnya itu ada dimana-mana. Di semua tempat, di semua negara. Kalau dilihat dari segi bisnis, starbucks adalah acuan tindakan bisnis gila yang harus ditiru. Inget makian, “Secangkir kopi satu setengah dolar? Gila! Siapa yang mau? Ya ampun, apakah Anda kira ini akan berhasil? Orang-orang Amerika tidak akan pernah mengeluarkan satu setengah dolar untuk kopi,”? makian yang dikeluarkan dari mulut orang2 kepada Howard Schultz saat menelurkan ide untuk mengubah konsep penjualan Starbucks.
Tapi itu dulu, sekarang? dibantu dengan CEO yang diperbantukannya, Orin C Smith, Howard berhasil mengembangkan Starbucks hingga puluhan ribu cabang di seluruh dunia. Ia juga menekankan layanan dengan keramahan pada konsumen, dan di sisi lain, memperlakukan karyawan sebagai keluarga. Dengan cara itu, Howard terus berekspansi hingga terus menjadi kedai kopi terbesar.
Hebat ya? Tapi kenyataannya sekarang, di Indonesia, negeri penghasil kopi terbesar di dunia setelah Brasil dan India, harus merogoh kocek sangaaaat dalam untuk minum segelas kopi. Mungkin gak heran juga, karena starbucks adalah perusahaan “impor” jauh-jauh dari AS. Karena itu kopinya mahal. Wajar juga, karena hasil produksi kopi Indonesia, kata Data departemen pertanian, sebanyak 70 persen dipergunakan buat ekspor dan hanya 30 persennya yang diperuntukkan bagi kebutuhan lokal.
Memang begitu kebijakan investasi pemerintah Indonesia, jadi saya sih gak heran lagi. Hehehe… Kayak misalnya sudah dari jauh-jauh hari, ada perusahaan AS yang namanya PT Freeport di Papua. Itu juga sama terkenalnya dengan starbucks. Indonesia memiliki kekayaan alam disana, emas, uranium, dan hasil-hasil tambang lainnya. Dan hal itu udah disadari AS sejak tahun 1971. Saat pertama kalinya Freeport, masuk ke daerah keramat di Papua, dan membuka tambang Erstberg. Sejak tahun 1971 itulah warga suku asli Amugme dipindahkan ke luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.
Laporan investigatif wartawan New York Times Jane Perlez, Raymond Bonner dan kontributor Evelyn Rusli, “Below a Mountain of Wealth, a River of Waste”, 27 Desember 2005 bercerita bahwa Tambang Erstberg ini habis open-pit-nya pada 1989, dilanjutkan dengan penambangan pada wilayah Grasberg dengan ijin produksi yang dikeluarkan Mentamben Ginandjar Kartasasmita pada 1996. Dalam ijin ini, tercantum pada AMDAL produksi yang diijinkan adalah 300 ribu /ton/hari. Bukan rahasia lagi, kalau selama bertahun-tahun James R Moffett, seorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini, dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto, dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport.
Pasalnya, Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali memperingatkan perusahaan ini sejak tahun 1997, Freeport melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Menurut perhitungan Freeport sendiri, penambangan mereka dapat menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untukmembuat Terusan Panama).
Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telahdiberikan status khusus oleh PBB. Sebuah studi bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan Parametrix, perusahaan konsultan Amerika, yang hasilnya tidak pernah diumumkan mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok untuk kehidupan makhluk hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke New York Times oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
New York Times pada masa itu berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin khusus bagi wartawan. Semua permintaan itu ditolak. Freeport hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah surat yang ditandatangani oleh Stanley S Arkin, penasihat hukum perusahaan ini menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga, dengan emas sebagai produk sampingan, dan bahwa banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia memperketat aturan pada tahun 1990-an.
Selama bertahun-tahun, Freeport juga memiliki unit pengamanannya sendiri,sementara militer Indonesia memerangi perlawanan separatis yang lemah dan rendah gerakannya. Kemudian kebutuhan keamanan ini mulai saling terkait. Tidak ada investigasi yang menemukan keterkaitan Freeport secara langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, dan pada sejumlah kasus kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan fasilitas Freeport.
Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat, memperkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun 1975-1997 di daerah tambang dan sekitarnya. Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk membangun infrastruktur militer, barak-barak, kantor-kantor pusat, ruang-ruang makan, jalan dan perusahaan juga memberikan para komandan 70 buah mobil jenis
Land Rover dan Land Cruiser, yang diganti setiap beberapa tahun. Semua memperoleh sesuatu, bahkan juga angkatan laut dan angkatan udara. Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, ketika itu perusahaan ini sudah merekrut seorang bekas agen lapangan CIA, dan atas rekomendasinya, perusahaan kemudian mendekati seorang atase militer di Kedubes Amerika Serikat di Jakarta dan memintanya untuk bergabung.
Dan sekarang, raksasa bisnis Amerika itu, Freeport McMoRan Copper & Gold. Melalui PT Freeport Indonesia, perusahaan emas kelas dunia asal Amerika itu menjadi salah satu penambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia, tahun lalu menghasilkan 86 ton emas. Malahan, berdasarkan data Freeport-McMoran per akhir 2009, Freeport Indonesia merupakan penyumbang pendapatan terbesar bagi induk perusahaan tambang emas yang berpusat di Phoenix, Arizona, AS itu. Freeport Indonesia membukukan pendapatan US$5,9 miliar, jauh melampaui perusahaan Freeport yang beroperasi di Amerika Utara dengan pendapatan US$4,8 miliar.
Bahkan, Freeport Indonesia juga mengungguli perusahaan dalam kelompok Freeport yang beroperasi di Amerika Selatan dan Eropa. Di Amerika Selatan, kontribusi pendapatan perusahaan Freeport di sana sebesar US$3,8 miliar, sedangkan Eropa hanya US$1,89 miliar. Secara total, pendapatan Freeport-McMoran dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sejumlah negara tersebut selama 2009 mencapai US$15,04 miliar.
Patut diakui bahwa Freeport Indonesia memang nyetor kepada pemerintah Indonesia senilai US$1,01 miliar, lebih tinggi dibanding perusahaan Freeport di Amerika Selatan dengan pembayaran US$507 juta.
Sementara itu, selama periode April-Juni 2010, Freeport Indonesia juga telah melakukan kewajiban pembayaran kepada pemerintah Indonesia sebesar US$634 juta atau sekitar Rp5,7 triliun. Sementara itu, selama periode April-Juni 2010 tersebut, setoran kepada pemerintah Indonesia itu terdiri atas pajak penghasilan badan US$490 juta, pajak penghasilan karyawan, pajak daerah serta pajak-pajak lainnya sebesar US$106 juta, dan royalti US$38 juta.
Tapi coba deh, dibandingin sama hasil bumi yang sebenarnya milik kita itu? Dan coba dibandingin sama kerusakan lingkungan yang terjadi. Kata WALHI, pengrusakan lingkungan yang diakibatkan oleh PT.Freeport Indonesia, tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Karena sejauh ini pemerintah Indonesia, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup tetap mendukung perusahaan tersebut, lewat pemberian ijin pembuangan tailing sebanyak 300.000 ton per hari ke sungai Ajkwa di wilayah hidup masyarakat tradisional Papua. Apalagi rekomendasi yang pernah dikeluarkan organisasi lingkungan hidup untuk mengurangi produksi secara drastis (lebih dari 500 kali lipat dari tingkat produksi sekarang) demi mempertimbangkan daya dukung lingkungan, tidak dilakukan oleh PT Freeport Indonesia sampai saat ini. Mungkin isu lingkungan ini memang agak gak menarik buat AS, yang gak pernah memberikan sikap serius dalam protocol Kyoto maupun moratorium Oslo.
Hehehe,,, itu Cuma dua contoh kekuatan AS di Indonesia. Masih ada dana pinjaman IMF, perusahaan-perusahaan lain seperti Exxon dan blok cepu. Kekuatan lainnya, masih hangaaaaat banget kejadiannya. Iya, waktu mr Barrack Obama datang ke Indonesia. Hebat kan dia? Si barry yang doyan sate dan bakso itu dijamu layaknya seorang nabi. Kita semua lihat, kayak apa Jakarta menyambut kedatangan Obama yang terus tertunda sejak beberapa bulan lalu. Saat kedatangannya yang gak sampe 24 jam itu, wuihh,,,time line twitter saya aja sampe penuh hashtag #obamadiRI.
Jadi gak Cuma jajaran pemerintah yang menyambut antusias kehadiran “Pulang Kampung” nya Obama. Tapi juga kita semua, rakyat, yang kagum dengan caranya berpidato. Saya akuin, seorang Obama memang punya bakat dan gift dari Tuhan buat berpidato dengan baik dan gak luntang-lantung. Dia juga bisa memacu semangat, kayak Mario teguh. Dia juga bisa menempatkan diri, misalnya di negara mayoritas muslim, dia bicara soal keislaman dan islam tidak selalu identik dengan terorisme. Tapi sayang, rasanya kita semua terlalu terpukau dan terlampau kagum.
Hehehe…saya gak akan memaparkan “dosa obama” seperti yang dilakukan hizbut tahir waktu nolak kehadiran Obama. Kenapa juga harus ditolak? Biarin aja dia dateng, mungkin kangen sama sarinah. Saya Cuma mau berseru: Heyy,,,semua itu ada dua sisinya. Kehebatan Obama, dan kebanggaan kita pada fakta bahwa dia pernah tinggal disini, jangan sampai membuat kita lengah untuk mengingat bahwa habis sudah harta kekayaan tambang , energi dan alam bersih kita oleh mereka. Habis sudah kedai kopi murah kita dilibas starbucks. Menumpuk sudah utang kita di IMF. Kita masih punya Pe-er besar buat menyelamatkan Indonesia instead mengelu-elukan kehadiran pemimpin AS yang bisa ngomong sateee…
Kemarin saya sama poento sempet bercanda waktu ada berita di tivi yang mengulas soal sebentarnya keberadaan Obama di Indonesia.
Tivi: Obama hanya berada di Indo tidak sampai 24 jam, padahal sebelumnya di negara2 lain 2 hari dan rencananya di jepang akan 3 hari.
Poento: yaiyalaaaah….kita kan santai
Saya: aturannya, maksud kamu?
Poento: iya, gak perlu ngerayu banyak2. Peraturan bisa berubah, bisnis AS lancar.
Saya: iya ibaratnya di Jepang dia harus down on his knees, disini colek aja jadi.
Hehehehe…. 🙂
cool story!
100% agree with this part: “Tapi sayang, rasanya kita semua terlalu terpukau dan terlampau kagum.” plus, alinea akhir sebelum percapakan antara penulis dengan suaminya 🙂