Tag Archives: jurnalis

Sarjana, Wartawan, Ibu Rumah Tangga..

Gallery

Being Housewife is not a Crime, aight?

Status

Tulisan saya kemarin, adalah soal resign yang –nyaris- tertolak.

Setelah hampir lima hari terluntang lantung enggak jelas di kantor, akhirnya, boss saya memberikan juga restunya.

Saya sudah resmi keluar dari harian umum Republika, sejak 15 Agustus. (Meskipun, masih harus mengurusi segala tetek bengek dan kemungkinan baru fix jadi pengangguran per september 2011..). Lega banget rasanya.

Well, sampai detik ini saya belum ngerasa mellow, sedih atau apapun itu. Saya masih ngerasa LEGA. Karena sudah lama saya ditempa gundah dalam menjalani profesi sebagai wartawan ini. Hehehe…

Karena, patut diingat bahwa saya bukan hanya resign dari Republika, saya resign dari profesi wartawan.

Remember this: https://yasminahasni.wordpress.com/2010/09/17/ya-sudahlah/

Banyak banget manusia di kantor, di rumah, dimana-mana yang kemudian nanya :”Habis ini lo mau ngapain? Ngurus anak doang? Ga takut bosen? Elo kan enggak bisa diem…”

Atau “Sayang kan gajinya..”

Atau “Jadi wartawan kan bikin elo belajar setiap hari, trus ntar kalo dirumah mulu, elo pasti garing”

Hehehe…sampai detik ini, saya cuma dapet SATU dukungan. Sumpah, cuma satu. Tentu saja, itu datangnya dari suami saya yang hebat…

To be honest, ini bukan keinginan dia. Ini pure keinginan saya. Tapi dia selalu bilang “Yang gue mau cuma liat lo seneng. Kalo elo senengnya dirumah, then do that. Gue yakin enggak akan ada yang bisa ngalangin lo ngejar cita-cita…”

Siapa yang bilang, jadi wartawan itu enggak enak? Sama seperti semua pekerjaan, jadi wartawan itu ada enaknya ada gak enaknya.

Jadi, buat pertanyaan pertama, saya yakin menjawab:

“Sampai detik ini, yang ada di pikiran gue, iya, gue mau dirumah, mau ngurus anak. Mau masak tiap hari. Mau breastfeeding sampe anak gue umur 2 tahun. Mau jadi ‘the queen of the house’ yang menata rumah dan ngurus tetek bengeknya. Mau kenal sama tetangga.”

Bosen? Mungkin…tapi itu kan manusiawi ya? Jadi wartawan juga kerap membosankan kok. Waktu jadi mahasiswa juga saya sering bosen.

Gak bisa diem? Iya. Tapi saya percaya, itu dia kekuatan saya. Kalo main mortal combat jaman SD, itu dia power yang bisa saya andalkan. Bahwa saya, adalah manusia yang enggak bisa diem. Saya gak akan duduk depan tivi aja nonton sinetron atau infotainment, sambil nyemil lapis legit, rambut di roll, pake daster buluk, minum sirop gula, teleponan lalu gossip dan jadi gendut. Hehehe….

Gaji? Ahahaha…soal ini juga saya pernah nulis. https://yasminahasni.wordpress.com/2010/10/24/belajar-bersyukur/

Disitu saya bilang, boss BESAR saya cukup baik dan gaji yang diberikan cukup memadai. Sekarang, iya, agak berubah. Hehehe..dan sesuai perhitungan kasar yang dilakukan si suami, yang pintar menghitung itu, nyatanya, saya rugi.

Seriously.

Dan saya gak mau jadi bagian dari barisan protes yang teriak2 di kantor, macam buruh pabrik panci yang meneriakkan hak nya untuk mendapatkan hal lebih. Kenapa? Ah, gapapa, males aja. Lagian saya gak ngerasa udah jadi karyawan yang baik, selama ini. Mungkin, saya memang gak berhak menuntut banyak.

Lebih baik mundur, kan? 🙂

Jadi wartawan, MEMANG belajar setiap hari. Rasanya enggak ada yang bisa ngebantah. Saya pernah ada di desk metropolitan, 9 bulan. Kebagian wilayah Bekasi 6 bulan dan Bogor 3 bulan. Kemudian, saya ada di desk Ekonomi, sektor perbankan dan perusahaan BUMN. Sambil sesekali juga liputan energi, makro dan lain2 selama ada di desk ekonomi dan bisnis.

Setelah itu, kantor melempar saya ke desk politik dan hukum. Post di Istana wakil presiden. Selama setahun saya duduk disana. Sesekali liputan di DPR, atau di acara2 lepas politik-hukum. Kemudian, saya langsung di-paksa- untuk duduk di post istana Presiden. Sampai lalu hamil. Dan saya ditarik ke kantor, duduk di kursi panas halaman 1: Pro-Kontra, trending news, serta HL-HL.

It was FUN. Yess..indeed. belajar dari sini ke sana, belajar setiap hari, dalam makna yang sebenarnya. Belajar dengan cara yang menyenangkan. Hehehe..

Poin ini yang juga jadi salah satu pertimbangan waktu mau resign. (yah, menurut lo?? Lumayan lama juga kali saya mikirnya…)

Tetapi, saya sadar bahwa belajar, bisa saya lakukan dimana aja. Kapan aja. Duduk di profesi apa aja. Hari gini, akses internet mudah, telepon bisa, baca buku, apalah. Saya yakin kok, saya bisa belajar tanpa harus jadi wartawan.

Karena, gak enaknya, adalah: saya udah ga punya passion lagi di pekerjaan ini. Beberapa kali saya cerita di blog soal ini. Beberapa kali saya menyiratkan kegalauan itu. Salah satunya di tulisan ini:

https://yasminahasni.wordpress.com/2010/08/18/kejar-passion-di-sebuah-ajang-harian/

Tulisan @reneCC di bukunya, selalu terngiang-ngiang di kepala saya. Dan sering jadi beban…

“…Karier merupakan totalitas kehidupan professional sejak mata terbuka di pagi hari hingga kembali terlelap tidur. Tidak semata terkait dengan cara-cara memperoleh penghidupan. Karier berhubungan erat dengan passion, tujuan hidup, values dan motivasi dalam berkarya untuk  memberikan kontribusi kepada lingkungan (keluarga, perusahaan, negara, mahluk lain, dan alam semesta). Tujuan karier tidak lain adalah kebahagiaan dan ketercapaian. Dan tidak ada cara yang lebih tepat- dan nyaman (paling tidak untuk diri sendiri) apabila karier kita dikendalikan oleh passion kita. Your career is yours. Your career is you….”

Hal itu sudah enggak saya rasain lagi di pekerjaan saya. Saya juga sering terpukul dengan peringatan “APA TUJUAN LO?” nya Ligwina Hananto.

Saya harus mengakui bahwa saya enggak lagi bahagia, dengan menjalani profesi sebagai seorang jurnalis. Oia, kemarin di twitnya, Peter F Gontha nulis: “Sebetulnya negara kita tidak ada masalah sama sekali, percaya atau tidak? Caranya? Jangan nonton TV jangan baca Koran jangan baca majalah!”

Saya….err…saya yang bikin beritanya. Itu enggak mudah. Karena, sebenarnya saya juga gak bisa melakukan apa-apa. Saya Cuma bisa nulis berita, kemudian orang baca dan jadi tahu. Sesuatu, yang sebenarnya, kadang2 ‘berkepentingan’ dan gak selalu ‘benar’. Enough with that. Ini poinnya. Saya rasa, saya benar-benar sudah selesai.

Kemudian hari ini, saya beranjak dari ruang HRD dan baca:

http://istribawel.com/2011/08/my-life-as-a-housewife.html

http://www.fromfifi.com/2010/11/end-of-year.html

Akhirnya, hati saya jadi semakin yakin. Ini pilihan saya. Kedepannya, saya belom tau apa yang akan terjadi dengan kehidupan saya.

Urus anak, urus rumah, nulis, baca, nonton, travelling, gatau lah. Yang jelas, saya rasa, membesarkan anak akan jadi pekerjaan yang sangat mulia dan enggak mudah. Jadi tiangnya keluarga, jadi ‘wakil presiden’ negara Hariyadi. Mungkin, sesuatu yang enggak pernah dicontohkan mama, si wanita karier itu. Tapi, saya kan berhak punya pilihan ya?

Iya. Saya berhak kok! 🙂

(Jangan) RESIGN!!!

Gallery

selamat ulang tahun pak Boediono..

Gallery

Solo Karier di Istana Presiden..

Gallery

Jangan Takut Mati Kalo Punya Niat Baik

Gallery

belajar bersyukur?

Standard

Telinga saya sibuk mendengarkan keluh kesah seseorang soal gaji..

“Gila yah gaji kita ini gak naik-naik, mana kerjaan banyak banget.”

Saya senyam senyum, sambil asik makan

“Itu lagi si boss, dia dapet banyak keuntungan dari perusahaan, notabene dari kita-kita juga kan! bukannya bukan dibalikin buat meningkatkan kesejahteraan kita malah bikin tivi. Tivi islam di saluran berbayar pula, apa sih maksudnya?

Saya jawab : “Dia berpikir bagus kok buat ekspansi bisnisnya, berpikir seperti orang cina dan jepang, berkesinambungan. bikin policy dengan manfaat dan raupan keuntungan jangka panjang, jadi gak gampang jatuh bangun. Kemaren pak Boed juga ngomong kalo itu efektif,”

Jawaban saya disambut bibir manyun dan diam.

Dalam hati saya bersyukur. Berisik, saya pusing dengar dia bicara soal gaji. Soalnya menurut pandangan saya, kalau situ gak puas ya tinggal hengkang. Cari kerjaan lain. Masih muda ini.

Hehehehe…iya saya paham kok kalo cari kerja itu gak gampang, trus mau gimana? nuntut kantor? nuntut pak boss? atau nuntut pemerintah? hehehe…apa gak lebih buang-buang waktu? Saya tau, gaji kita gak cukup besar. Saya tau, BANYAK bos-bos raja perusahaan media yang asik membangkitkan idealisme wartawan untuk menggempur tenaga dan mengirit pengeluaran gaji. Lalu dia bikin mol. Atau perusahaan baru lainnya.

Ya lalu salah siapa? Yang jelas, yang pasti bukan salah si boss. Kenapa? karena sejak awal, heyy, anda yang memilih bekerja di perusahaan media, apalagi jadi wartawan, ya harus siap lah dengan semua konsekuensinya. Saya hampir gak pernah complain soal gaji. Kenapa? karena dari awal saya udah tau konsekuensinya. Toh saya jadi wartawan juga niatnya mau belajar, bukan nyari uang, apalagi nyari jodoh. Bahkan di kepala saya, kantor saya udah baik.

Lihat ya, kemaren saya baca di majalah SWA terbaru, di artikel “Wajah Usaha”, ada muka boss saya disitu.Di bagian terakhir, Adrian Sarkawi bilang, pak ET terlalu baik. “Padahal dia menganggap dalam bisnis media kuncinya adalah SDM,” katanya. persoalan apapun yang harus ditolong lebih dahulu adalah SDM. ET dinilainya longgar dalam memberikan tantangan ke anak buahnya. ” Kalau saya, jika peluangnya 14 ya saya push aja sampai 14. Jangan dibawahnya, sedangkan pak ET oke saja dengan target 10, melihat anak buah bisanya 10,” Riri Satria, pengamat manajemen juga bilang kalo ET memiliki kekuatan dalam mengelola orang. ET berhasil mendapatkan orang-orang terbaik di industri ini karena pria ini sangat fokus dalam bisnis media.

Dalam hati saya ngangguk-ngangguk. Bener kok. Saya gak pernah merasa kecewa dengan apa yang udah kantor kasih, terutama dalam bentuk fisik yaaa…atasan juga sebenernya baik2, konflik2 kecil sih biasa lah. Namanya juga orang idup. Coba bandingin sama media sebelah pimpinan CT yang grup bisnisnya ekspansif banget. Karyawan digaji keciiiiil banget, fasilitas sedikit, klaim susah, tapi di push kerja sampe teler. Gak percaya, boleh lirik blog temen saya http//www.denyamanja.wordpress.com kalo liat di laporan keuangannya, dan analisis di majalah bisnis, direktur utama bank-nya juga dapet gaji yang cuma beda tipis sama dirut BPR. Padahal grup bisnisnya sangat besar dan menggurita.

Jadi, masa saya gak boleh bersyukur? Menurut saya, in my humble opinion, ketimbang marah-marah dan ngeluh, ada beberapa opsi yang seharusnya temen saya yang manyun itu bisa kerjain:

1. Cabut

2. Punya bisnis sambilan yang menghasilkan

3.Hemat dan menabung

4. Atau Kerja sesuai argo aja. Ini industri kawan, sejak awal seharusnya sudah tau kalo gak usah terlalu ngoyo. Gak usahlah kerja kesetanan. Jalanin hidup yang sehat, istirahat cukup, makan teratur, biar masih punya kesempatan buat melakukan hal-hal yang lebih baik ketimbang terjebak jadi wartawan.

Ada juga jalan ekspress: Cari jutawan buat dipacarin, ambil uang haram, punya lebihan uang main aja ke BEI atau cobalah pasang togel…hehehehe

Sayang dia keburu manyun, diem dan pergi ninggalin saya. Terpaksa deh hal-hal yang tadinya mau saya omongin ke dia jadi saya tulis disini aja. Kalo kata orang jawa, namanya, buang sial… 🙂