My Emotion Journey: Romantic Relationship

Image
My Emotion Journey: Romantic Relationship

My Emotion Journey: Romantic Relationship

Perjuangan saya untuk terus bisa memahami diri sendiri, dan beragam jenis perasaan yang seharusnya saya rasakan, sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Masih terus on-going, dan masih terus terapi. Maka masih terus menemukan sesuatu untuk diproses, sesuatu yang selama ini enggak pernah saya lakukan, karena saya memilih untuk menghindari segala sesuatu.

Belakangan ini saya baru sadar lagi, bahwa saya enggak bisa memahami ROMANTIC RELATIONSHIP. Saya baru sadar, karena anak saya sudah pre-teen dan mulai merasakan jatuh cinta lalu patah hati. Ketika beragam emosi muncul, dan ternyata bermuara dari romantic relationship. Iya, sehat kok karena dia masih cerita dan dia enggak takut untuk menyatakan emosinya.

Yang enggak sehat ibuknya. Karena ketika dia cerita dengan penuh emosi meluap2, ibuknya diem freeze bengong. Oh My God, WHAT SHOULD I DO? Aku gak ngerti sedikitpun semua hal yang dia ceritakan ini. Gimana bisa bantuinnya?

Tentu dalam teknisnya, saya langsung meminta bantuan 911 alias bapaknya, yang langsung terbirit-birit ngebut pulang seakan ada kecelakaan besar. Hahahaha ya semata-mata karena bapaknya tau, untuk hal ini dia tidak bisa mengandalkan saya.

Padahal nih, kalau saya cerita bahwa anaknya jatuh, berdarah, bahkan harus ke UGD, dia santai aja dan membiarkan saya yang handle. Karena iya, saya bisa. Dan mungkin saya lebih mampu ketimbang dia, karena saya santai kalo ngadepin luka fisik. Kan berpengalaman. Nah luka hati karena urusan romantic ini yang sulit dipahami.

**

Tapi iya, saya beneran baru sadar kalau saya enggak paham sama sekali karena harus handle Abib. Emang selalu gitu ya? semua munculnya dari dia, gila, kalo gak karena dia yang emosinya sehat itu, tentu saya enggak akan pernah sampe kesini.

Saya jadi mikir-mikir, selama ini kan saya teman curhat dan pendengar yang cukup baik, semua orang curhat ke saya dan selalu saya tanggapi dengan tepat. Anak-anak muda di kantor itu juga curhat dan saya bantuin mereka memproses luka. Nah, saya jadi baru sadar bahwa enggak pernah ada orang yang curhat soal romantic relationship ke saya.

Wow, apakah teman-teman saya sudah sadar sejak dahulu kala, bahwa percuma curhat soal romantic relationship kepada Yasmina?

Nah ketika saya ceritakan hal ini ke psikolog saya yang bijaksana dan hebat itu, dia hanya bilang “Kamu tidak memahami romantic relationship, ketika berurusan dengan rasa. Basically, semua hal yang berkaitan dengan RASA itu, kamu gak ngerti…”

Ish, tapi saya kan pinter nulis, pinter bikin puisi, pinter ngegombal, bisa menyayangi anak-anak, bisa menyayangi mama, bisa menyayangi hewan…

“Oh iya, kamu emang pinter aja dari sananya. Kamu bisa memetakan pattern aksi-reaksi. Ya sekarang setelah melewati berbagai pemrosesan, kamu emang sudah mulai bisa memahami emosi. Tapi belum sampe ke RASA.

Oh dan kalau bicara soal mama, dan anak-anak, mereka itu significant others. Blood relatives. Kamu dan mereka itu pernah berbagi segalanya. Sudah tentu mereka terkoneksi rasa dengan kamu. Sementara hewan, bisa melihat sampe ke titik terkecil dan mereka tahu kamu punya rasa, hati yang sensitive, maka mereka bisa nempel sama kamu. Coba renungkan sebentar I FEEL YOU FEELING ME! Gimana rasanya mendengar kalimat itu?”

Sesungguhnya ketika ditanya “Gimana rasanya” saya biasanya bengong dan nyengir. Saya akan lebih sering bilang “Iya, gue tau!” TAU, bukan RASA. Karena saya bisa kok tau apa yang orang alami. Saya tau yang terjadi sama hidup seseorang. Saya tau apa yang sedang dia rasakan. Saya tau apa yang harus saya lakukan menghadapi orang itu.

Tapi saya tau, bukan saya rasa.

Sedih deh abis dibilang gitu sama psikolog. Iya, kok otak saya segininya ya jagain saya?

Saya paham kok, ini semua terjadi sebagai bentuk penjagaan seluruh organ fisik saya, yang diperintah oleh Yang Maha Kuasa, agar saya selamat. Agar saya bisa melakukan hal-hal yang saya lakukan sekarang. Buat orang banyak.

Karena saya cukup gila untuk jadi orang yang kepengen banget jagain society buat masa depan anak-anak. Karena ternyata saya cukup aneh untuk membaca ratusan jurnal, mengikuti ratusan kelas dan rapat Bersama para pemimpin dunia, bergabung dalam komunitas dan menyuarakan mereka yang tidak bisa bersuara. Saya cukup nekad untuk memulai bisnis dan melakukan ekspansi dengan modal kolaborasi hasil maksain semua orang untuk ikut bergerak.

Keras kepala ga ada obat.

Saya selalu berpikir, karena saya cukup gila, pemberani dan kuat maka saya enggak takut sama apapun. Saya gak tau, ternyata, saya takut sama “PAIN”.

Makanya akhirnya badan saya memaksakan diri untuk terus menaikkan ambang batas rasa saya sampe ke titik, apapun enggak kerasa. Makanya saya seringkali eksesif dalam banyak hal. Makan pedes bisa sampe level 10, luka baret darah netes2 enggak kerasa, disikat silet buat ngambil bisa kesakitan tapi bisa bertahan.

Gak tidur 3 hari dan survive. Detak jantung berhenti, idup lagi. Semua itu bukan karena saya kuat, tapi justru karena saya payah. Saya enggak berani melakukan yang orang-orang lain berani lakukan: merasakan sakit. Menangis. Being vulnerable. Minta bantuan. Menceritakan duka. Menghadapi kenyataan bahwa hidup itu memang painful.

Semua itu bikin saya enggak bisa merasakan banyak hal. Tadinya, sebelum terapi, saya bahkan hanya bisa memahami dua emosi: seneng dan marah. Sekarang udah jauh membaik, saya udah bisa delegasi, sudah bisa minta bantuan, sudah bisa nangis. Tapi masih harus terus ditelusuri. Masih harus terus diobati dan dipahami.

Bukan penyebabnya, itu mah saya tau kok karena sudah diproses di awal banget terapi. Sekarang digali rasanya, karena dia ada disitu, tapi saya yang enggak berani aja ngambilnya. Saya aja yang gak berani nyolek2nya karena takut gak berfungsi, karena udah kebayang pedihnya. Soalnya bertahun2 ini aja memproses emosi sampe bisa ke titik ini, pedihnya gak keruan.

Saya bisa tiba-tiba lemes, gak bisa gerak dan nangis gak berhenti. Demam tinggi, kepala sakit, perut mual dan enggak bisa turun dari tempat tidur karena semuanya abu-abu. KATA SIAPA HEALING ITU ENAK DAN MENYENANGKAN? Yang enak mah travelling, proses sampe ke healing itu sakit!!!!

Jadi, ternyata bukan sekadar enggak bisa memahami romantic relationship kok saya ini. Basically saya enggak bisa memahami rasa. Eh salah, belum! bukan enggak! Saya yakin pasti bisa!

Pelan-pelan deh diproses lagi. Oiya menurut psikolog saya, caranya adalah dengan menuliskan the story of my life dari sudut pandang orang ketiga. Disclaimer ya, saya akan melakukan ini dengan bimbingan ahli. Jadi jangan coba2 melakukannya sendiri tanpa bimbingan.

Karena:

  1. Treatment setiap orang beda
  2. Daya tahan setiap orang beda
  3. Kasus setiap orang beda

Jadi, kalau ada yang mengalami hal-hal yang mirip dengan yang saya alami, yuk cari psikolog. Kalau mau minta rekomendasi, message me ya. saya bisa ngasih rekomendasi selama masih di Jakarta.

Saya percaya, saya pasti bisa break the cycle! Saya pasti bisa mencintai anak-anak dengan lebih baik. Karena saya pernah jadi anak, dan saya tau betapa butuhnya sama sama orang tua saya. Betapa cintanya saya ke mereka. Betapa kepengennya saya ditemani dan dibersamai, disayang, dijaga.

Selalu, enggak pernah enggak.

Jadi kalau anak ABG saya itu bertingkah, dan berprilaku layaknya ABG yang otaknya lagi direnovasi, bukan karena dia udah gak butuh saya. Justru di saat-saat terberat peralihan otak anak-anak ke remaja ini, dia lagi butuh2nya sama saya. Dia lagi pengen2nya ditemani. Saya tau, kan saya juga pernah melewati usia itu.

Kalau saya gak bisa menemani diri saya, enggak bisa memberikan kebutuhan diri sendiri, dan enggak bisa memberikan waktu untuk diri saya dicintai, gimana saya mau memberikan semua itu ke anak-anak saya?

Leave a comment