Menjadi Ibu yang belajar dan belajar menjadi ibu..

Gallery

Akhir tahun lalu, ada begitu banyak komunitas yang bikin nonton bareng film The Beginning Of Life. Filem documenter yang bagus dan nyessss banget di hati emak2, beneran deh. Rasanya tu abis nonton kaya digamparin tapi lalu dipeluk dan dibilang “There’s nothing wrong with u..”

The-Beginning-of-Life-700x495Nah, sekarang di Netflix malahan ada series nya. Saya juga udah nonton, intinya sama dengan movie-nya, tapi dalam versi yang jauh lebih lengkap. Kalau sudah pernah nonton, di Episode 1, bagian akhir-akhir udah jelang tamat, ada satu sesi yang dibahas dan bikin hati saya haru; AFEKSI.

 

Menurut salah satu narasumbernya, afeksi, kasih sayang, kelembutan dari orang tua adalah lem untuk menguatkan koneksi antar neuron, di otak.

 

Afeksi

 

Kemudian pikiran saya jadi melayang ke masa-masa Abib masih dalam perut.

 

Afeksi, adalah hal pertama yg paling saya khawatirkan. Kasih sayang, kelembutan, insting menjadi ibu, tidak muncul begitu saja buat saya. Itu semua saya dapatkan dr film, dan berbagai buku bacaan. Untungnyaaa… saat itu saya ketemu the baby book-nya dr sears yg amat mementingkan attachment.

20170201_101412

Saya belajar banyak sekali mengenai cara menyayangi bayi dari situ. Cara MENYAYANGI BAYI? Iya, saya ulang lagi nih ya,, cara menyayangi bayi. Bukan teknis mengganti popok, teori psikologi mengenai pengasuhan, atau masalah kesehatan bayi. Bukan. Sebab, hal paling mendasar seperti memahami cara mencintai dan memiliki perasaan sayang pun, sejujurnya, enggak saya dapatkan secara naluriah. Hehe..saya bener2 dapetin dari buku dan film.

 

Dan saya tau kenapa.

 

Sebab, saya memang tumbuh di lingkungan yang terlalu- memaksa diri untuk- mandiri. Situasi yang saya paham bgt, kalo enggak kami lakukan maka kami tidak akan survive menjalani kehidupan. Sayangnya ini bikin saya jadi terlalu heartless. *sigh

 

Saya bisa ngurus binatang, tau cara mencintai mereka dan punya insting jika ada perubahan2 atau tanda2 khusus dari mereka, ya awalnya juga karena saya memang terbiasa ngurus hewan sejak kecil, dan bermodal film juga bahan bacaan. Ada yg ngajarin? Ya enggak.

 

Sama kaya ngurus anak. Ya saya belajar sendiri, memadukan antara buku, film, dan pesan2 mama. Hehehe..

20170310_174146

Theraplay

 

Saya mengalami begitu banyak hal dalam parenting. Dan ini bikin saya paham, kenapa belum dikasih anak lagi. Mungkin saya emang belom dipercaya punya anak lebih dr satu. Karena saya yang harus BANYAK belajar.

 

Dulu saya juga pernah nulis soal Toddler blues, dan akhirnya saya paham bahwa hal itu terjadi karena saya enggak peka, terlalu teknis, dan susah fleksibel. Saya paham, tapi gatau caranya. Sementara waktu bayi kan gak banyak yang harus dilakukan. Mengasah insting dalam mengasuh bayi sebetulnya jauh lebih mudah, karena ada ASI. Hahaha…

 

Nangis dikit, nenen. Rungsing dikit, nenen. Saya emang jadinya jarang ngajak Abib ngobrol dan bikin dia rada telat ngomong. Karena fokus saya, waktu dia bayi, memang ada di kesehatan dan kekuatan fisik, motorik, kognitif, dll. Saya menyingkirkan emosi dari list, bukan karena enggak mau, tapi karena enggak ngerti.

 

Inilah sebabnya saya ikutan sesi theraplay dengan psikolog Mbak Rayi dari Theraplay Indonesia, selama berbulan-bulan. Setelah dapat rujukan dari Psikolog bu Devi dari klinik rainbow castle. Dan theraplay ini, bukan melakukan terapi pada anak. melainkan pada orang tua. Hahaha…beneran deh.

 

Karena hasilnya memang luar biasa. Saya belajar banyak sekali.

 

Mengenal diri sendiri, dan mengenal anak

 

Anak saya itu emang jauh lebih sensitif dr saya, makanya dia punya kemampuan sosial yang jauh lebih baik dari saya. Abib jauh lebih pinter dari saya. Dia jauh lebih bisa memahami situasi, dan peka akan berbagai perubahan. Dia bahkan lebih bisa berempati, dan punya insting kuat untuk mencintai. Kalo hewan, dia anjing atau parrot, sementara saya kucing. Hahaha..soliter, semaunya, dan gak butuh orang lain. Thank God I married Poento yang terlahir dari keluarga super baper, dan jadi membuatnya emang jauh lebih sensitif dari saya.

20170107_144320

(Waktu itu ngopi di jogja, lalu ada orang bawa kucing. Dia sih langsung aja nyamperin ajak ngobrol, santai banget)

Saya bisa nulis begitu, ya karena theraplay yang bikin saya mengenal diri sendiri, mengenal orang lain, mengenal anak saya. Theraplay itu benar-benar membangun koneksi yang selama ini putus nyambung gak keruan antara saya dan Abib. Mengajarkan bahwa segala hal bisa selesai dengan kepala dingin dan kelembutan. Mengajarkan saya untuk berkomunikasi dua arah dengan Abib. Mengajak saya untuk menjadi ibu yang jauh lebih sensitif, dan mengasah insting.

 

Bahkan, theraplay sampai menempatkan diri saya di posisi balance; Ada saatnya saya membantu abib, dan ada saatnya saya memberikan tantangan buat dia, dan itu harus dilakukan secara bertahap.

 

Tantangan

 

Peer paling besar saya dalam setiap sesi theraplay adalah; memberikan tantangan bagi Abib. Saya terlalu sering memberikan tantangan yang terlalu berat, dan nge-push Abib untuk melampaui limitnya. Saya mendidik Abib seperti Tuhan mendidik saya. Padahal situasinya kan beda, dan harusnya saya gak melakukan itu. Saya gak menghargai bahwa Abib adalah Abib. Dia bukan kertas kosong. Dia punya personality nya sendiri, yang harus juga ditangani dengan cara yang cocok.

(Kakak paling besar di taman main yang selalu rela diresein adik2nya, dan selalu mau ngajarin ini itu. Ajaib)

Saya, emang tumbuh besar dengan tantangan yang-dimata orang- lbh besar dari kemampuan. Meski saya tau, Allah gak akan memberi cobaan diluar kemampuan kita. Maka pasti saat itu sebetulnya saya emang mampu.

 

Ini lah makanya, saya sering berusaha agar anak saya bisa kuat di medan dan situasi apapun. Dan menurut psikolog, hal ini sebetulnya gak masalah, namun saya harus inget bahwa yang dibutuhkan Abib bukan hanya tantangan dan benturan pada realita. Dia juga harus tau bahwa selama saya masih hidup, dia akan selalu punya ibunya untuk menangis dan minta dipeluk.

 

Itu…bukan hal yang mudah buat saya yang cuek dan heartless. Pernah gak dikasitau anak kecil gini..”Nyak, kalau jemput Abib pulang sekolah itu liat muka Abib. Jangan langsung cari ibu guru dan tanya Ini itu. Peluk dulu Abib nya..” heu. Kasian ya dia.

20170308_114611

Intuisi

 

Percayalah, dalam kasus saya, Intuisi menjadi ibu itu enggak muncul dengan sendirinya. Jadi, kalau kata Dr Sears atau Dr Markham, bahwa menjadi ibu itu penting untuk mengikuti insting dan intuisi, bukan kata orang lain, saya mau nyungsepin muka ke dalam tanah aja. Untung tu dokter2 baik banget menjelaskan bahwa yang namanya insting itu contohnya denger suara bayi nangis, pasti hati ngenes dan pengen gendong. And I was like..OOOOOHHHH!!! karena saya gak ngerasain apa2 kalo denger suara bayi nangis. HAHAHAHAHA…

 

Intuisi itu keluar setelah saya belajar. Tapi memang takdir ya, ini kan memang strengthness saya; saya suka belajar. Yes.

20170307_104949

(tantangan besar buta saya waktu harus jadi guest star ngajar anak2 TK Alam yang 15 anak kelakuannya dan pinter2nya kaya Abib semua. Hahaha..)

So memang, dalam kehidupan saya sebagai orangtua, bukan perkara saya ngajarin Abib tentang hidup. Tapi saya yang sedang belajar mengenal hidup. Life really begin at 30.

 

Belajar, bahwa saya ini manusia, bukan robot dan saya hidup bersama orang lain. Maka saya gak bisa kaku dan berpikir dengan tabel dan kurva. Saya harus bisa fleksibel, saya HARUS bisa kreatif, saya harus bisa nge-push otak kanan buat kerja. Karena anak saya berhak mendapatkan segala yang terbaik dari ibunya.

 

Kalo dulu saya dibesarkan dengan paksaan harus bisa menantang maut, dan memaksa diri melampaui batas, maka, kenapa sekarang saya gak bisa memaksa diri untuk menjadi lebih baik? Kenapa saya gak mau berubah, untuk menjadi ibu yang memiliki afeksi? Kenapa saya gak bisa mengasah insting dan kelembutan? Harusnya bisa, kan?

 

Lagipula sejak memelajari intuisi dan insting, saya juga jadi paham bahwa saya bukannya gak punya insting, tapi gak muncul karena gak diasah. Gak Cuma berlaku buat saya yang tumbuh besar dalam keterpaksaan untuk jadi kaku, tapi semua orang pun bisa ngalamin.

 

Analoginya, hewan peliharaan deh. Kucing yang hidup dijalanan sejak lahir sudah tahu bahwa ia harus bertahan hidup, dengan berburu, mencari makan, melindungi tempat tinggal. Sementara coba kucing2 saya yang makannya tinggal mangap. Mana mereka tau caranya bertahan hidup tanpa manusia? Kalo saya lepas liar di pasar, mereka pasti tamat.

 

Nah gitu juga menjadi ibu. Kalau bayi kecilnya nangis dan diabaikan terus dengan alasan: biar mandiri, biar gak bau tangan, biar jantungnya kuat dan sebagainya, maka bukan hanya attachment yang tak terbentuk antara ibu dan anak, namun juga anak kehilangan rasa percaya dan ibu pun mematikan instingnya. Maka besok-besok, seiring anaknya tumbuh, maka miskomunikasi akan terus terjadi. Akar masalahnya sederhana: disconnected.

 

Mengenai Tanggung Jawab

 

Enggak akan ada manusia sempurna. Gak akan ada ibu sempurna. Tapi ibu yang terus belajar, ibu yang terus membentuk koneksi, ibu yang gak pernah menyerah, ibu yang rela berkorban dan ibu yang selalu siap menjalankan segala kewajibannya adalah WAJIB. Dan saya harus bisa. Karena menjadi ibu, itu pilihan saya. Bukan paksaan siapa2, dan bukan kejutan dari Allah. Saya memilih untuk punya anak, dan rezeki itu dititipkan ke saya.

 

Kalo kata mama “Kamu ambil sendiri makananmu, secukup kapasitasmu, dan habiskan. Kamu yang ambil, kamu yang harus bertanggung jawab.”

20170119_134244

Jadi, gak akan ada alasan di dunia ini yang membenarkan ibu yang gak bisa terus update dan memelajari soal pengasuhan, memelajari soal anaknya, membangun hubungan penuh afeksi dengan anaknya, reconnect dengan waktu yang berkualitas. Perkara me time, gak usah ribet. Cari aja waktu di malam hari saat anak udah tidur. Atau bangun lebih pagi.

 

Kalau anaknya sudah berhasil membangun koneksi dan jadi mandiri karena siap sendiri, sesungguhnya me time itu adalah sesuatu yang gampang sekali didapatkan. Beneran deh.

 

Jadi ibu memang bukan perkara mudah. Karena hadiahnya surga di telapak kaki. Lagipula, kalau terlalu mudah juga hidup gak seru, ya kan?

2 responses »

  1. Mineee.. duuh gw nih lg ngrasa kyk gtu.. trlalu keras ke anak2.. trlalu kaku.. pushing them to the max spy jd anak yg mandiri. Pdhl mgkn apalagi seusia Aina ini lg butuh2nya dingertiin emosi2nya.. thanks for the reminder yah 👌🏻🙏🏻

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s