Temple Grandin; different but not less

Gallery

Ini semua bermula dari tahun 2007. Saat sahabat hati saya belum jadi ‘artis’ yg wajahnya hilir mudik di berita hukum…*cengir.

Saat itu saya beru lulus kuliah, dan dia baru cabut meninggalkan kampusnya di Enggres, kemudian mencoba peruntungan di kampus dengan nama inggris, di Jakarta.

Kami sama-sama nganggur, dan kerjanya nongkrong bareng TIAP HARI. Catat, tiap hari. Akhirnya, tante saya yang jadi kepala sekolah di sebuah Sekolah Dasar inklusi (menggabungkan siswa berkebutuhan khusus dengan siswa biasa) meminta saya dan sahabat saya ini membuat script filem soal anak-anak autisme.

Awalnya saya dan dia bingung, banget. Apa sih autisme itu? kenapa disebut berkebutuhan khusus? Kenapa penting banget pengen d filem-in segala? Dan lain sebagainya. Setelah hunting buku-filem-searching di internet, kami akhirnya paham dan niat banget hampir tiap pagi main ke serpong buat datengin tu sekolahan si tante.

Saya kebagian jadi researcher (seperti biasa) dan dia kebagian bikin detail tulisan. Maka, saya BANYAK melahap buku-buku soal autisme, ikut seminar- yang isinya kebanyakan ibu-ibu dan mereka kerap mengerenyitkan dahi melihat ada ABG yang ikut-ikutan masuk- soal autisme dan kebutuhan khusus lainnya, sampai wawancara dengan beberapa emak-emak yang tergabung dalam mpati (masyarakat peduli autis Indonesia) plus berkunjung ke sekolah madania yang sistemnya juga inklusi. Sementara si sahabat saya ini, yang saya MALES BANGET nyebutin namanya haha, rajin ikut workshop soal penulisan script-ini saya juga ikutan sih beberapa kali.

Sejak saat itu, saya PEDULI BANGET sama anak-anak berkebutuhan khusus. Setiap kali menatap anak-anak gak berdosa itu, saya selalu keingetan muka emaknya yang dua kali berkeringat, berdarah, dan menangis ketimbang emak-emak biasa dalam membesarkan anak. *mewek

Sayangnya hingga kini script yang udah setengah jadi itu gak juga selesai, karena di pertengahan tahun tersebut saya keterima kerja, dan sahabat saya…yeah well, gitu deh, sibuk. Jadi, terhenti. Suatu hari nanti pasti akan saya selesaikan. Janji, in syaa Allah.

Tapi sebenarnya, saya gak mau cerita soal script. Yang mau saya ceritain adalah soal filem TEMPLE GRANDIN. Biarin aja intro kepanjangan hahaha..*arogan

grandin1

**

Nah, sejak menikah dengan bapake Abib, saya menularkan virus peduli anak berkebutuhan khusus pada adik ipar saya, Citra. Sebab, dia punya hobby dan perilaku yang, yeaaahh,,,hampir mirip lah dengan saya. Sampai dia benar-benar ketularan, dan kemarin saat tugas akhir D3 nya dia ambil tema autisme. Eeeeh…sekarang di skripsi s1 nya juga soal autisme.

Judulnya: Representasi aktualisasi diri penyandang autisme dalam film. (studi semiotika dalam film Temple Grandin). Apal yes? Ya kan saya disuruh bantuin. Hehehe..

Saya dan Citra jatuh cinta sama Temple Grandin, sejak nonton filemnya dulu waktu masih tinggal di Otista. Filem ini, adalah film televisi yang tayangnya di HBO taun 2010. Tapi coba dicari di, ehem, ITC Kuningan, ada kok. Hehehe..

Enggak banyak yang tau, enggak banyak yang nonton, karena enggak banyak juga yang peduli plus kenal apa itu dunia autisme. Padahal di film ini, Claire Danes, subhanallah, luar biasa, aktingnya ciamik banget. Nonton temple grandin aslinya saat pidato, dengan si claire danes di filem ini, sama persis. Cakep. Sepanjang nonton, saya enggak pernah ngeh bahwa ini adalah juliet nya leonardo di caprio. Dia, temple grandin. Dan dia menang golden globe 😀

grandin4

(ambil dari sini)

grandin3

(ambil dari sini)

grandin2

(Ambil dari sini)

Karena skripsian si citra, saya jadi nonton lagi temple grandin, kemarin. Dan masih aja mewek.

Ceritanya, adalah soal Grandin yang menyandang autisme di tahun 1950-an. Dia enggak bicara sampai usianya 4 tahun. Ibunya bolak balik ke dokter, dan kebayang gak, di tahun itu kasus autisme msh sangat sedikit. Kalau tak mau dibilang enggak ada. Dokternya aja kebanyakan enggak ngerti.

Tapi si ibu ini enggak pernah menyerah, dia tiap hari ada disamping Grandin- anak yang gak kenal konsep ibu dan bahkan gak mau dipegang- ngajarin ngomong, bercerita, ngajarin baca, berhitung dan sebagainya. Dia gak mau anaknya dibedakan dari anak lain, jadi dia paksa dirinya untuk tegar agar anaknya bisa mandiri dan bersekolah seperti orang lain.

Hasilnya? Sekarang Temple Grandin dikenal sebagai seorang doctor of animal science, profesor di Colorado State University, penulis buku-buku best seller, konsultan industri ternak dalam bidang perilaku hewan dan aktivis autisme. Iya, autisme itu bukan penyakit, jadi GAK bakalan sembuh. sindrom ini Cuma bisa diatasi. Ini true story loh.

Kenapa saya suka banget juga sama film ini, selain karena memberikan harapan bagi semua orang bahwa autisme itu bisa diatasi, plus menjelaskan dengan baik bahwa autisme itu bukan sesuatu yang menular dan penyandangnya harus dihindari, film ini juga bercerita tentang hewan.

Gimana seorang Grandin, yang karena autismenya, dia bisa ‘mendengar’ suara jeritan kesakitan sapi.  Bahwa, hewan yang bahagia dan tenang, akan menghasilkan daging yang lebih enak. Dia memberikan solusi bagi dunia peternakan dengan memerhatikan kebutuhan psikologis sapi potong, sebelum dia benar-benar disembelih.

Di sela kegalauannya demi melihat kesadisan para cowboys memperlakukan ternak, dia bilang; “Of course they’re gonna get slaughtered. You think we’d have cattle if people didn’t eat ’em everyday? They’d just be funny-lookin’ animals in zoos. But we raise them for us. That means we owe them some respect. Nature is cruel, but we don’t have to be. I would’nt want to have my guts ripped out by a lion, I’d much rather die in a slaughterhouse if it was done right.”

…..

Saya gak kebayang, gimana kalo bu Temple ngeliat gimana kita memperlakukan ayam di rumah potong. Cara pendistribusian dengan mengikat kaki ayam dan dibawa naik motor, pakan yang diberikan, belum lagi kondisi peternakannya. Bah.

Belum lagi yang paling hangat jadi perbincangan hari ini; isu-yang akhirnya dibantau- sebuah lembaga pengelola zakat untuk mewarnai domba kurban. Ada yang merah, kuning, ungu dlsb. ah…emang enggak cukup ya umang, anak ayam, burung yang dijual di pasar dicat dengan warna-warna terang, agar anak kecil tertarik beli.

….

Menurut saya, kisah hidup Temple Grandin ini sangat dahsyat. Karena bukan hanya cerita nyata Temple Grandin yang memang sudah dahsyat dari sananya, tapi juga plot film yang rapi. Bagaimana semua ini dimulai, bagaimana temple dan ibunya deal with autism, apa yang ada di pikirannya saat berhadapan dengan kematian, dimana dia tumbuh dan bagaimana lingkungannya itu menjadikan dia Temple Grandin yang sekarang. semua itu kemudian ditutup dengan ending yang amat mengharukan.

Kurangnya, menurut saya, Cuma porsi cerita soal peran ibunya dalam kehidupan Temple di film ini.  Saya yakin, jika bukan karena ibunya, miss Grandin gak akan pernah bisa jadi seperti sekarang. tapi, itu enggak menjadikan film ini cacat. Tetap cakep kok.

**

Kalau mau diurut, di US sanah, filem yang mengangkat tema autisme udah dibikin sejak tahun 1969; judulnya change of habit, run wild run free. Sejak itu, makin banyak film bertema autisme yang bagus-bagus. Misalnya, Rain man, forrest gump (ini sih asumsi ya, tapi kayanya banyak spektrum autisme di forrest), i am sam, mozart and the whale, adam, extremely loud and incredibly close. Kalo dari cina ada filemnya jet li; ocean heaven. Dari korea ada marathon. Dan sekarang di Indonesia, Lukman Sardi, aktingnya udah lumayan, main jadi penyandang autisme di rectoverso.

Dari semua film yang udah saya tonton itu, Temple Grandin, masuk ke urutan pertama film bertema autis favorit saya. Karena di film inilah dijelaskan secara lengkap dan rinci soal autisme, dan menurut saya, seharusnya ini jadi film wajib semua ibu-ibu di dunia. Kenapa? Sebab, saya dan ibu-ibu sekalian punya kewajiban mengajarkan anak-anak kita berempati.

Film ini latar tahunnya 1950-an loh, sekarang sudah 2013. Dan penyandang status anak berkebutuhan khusus jumlahnya naik terus. Coba sekali-sekali ikutan jalan santai tiap 2 April. Hari itu adalah world autism awareness day. Dan di Jakarta biasanya acaranya jalan santai dari monas keliling Thamrin, balik lagi ke monas.

Itu Cuma yang di Jakarta, dan yang bisa ketauan. A.k.a anak yang lahir dari orangtua yang mampu membayar sekolah, shadow teacher, terapi dan lain sebagainya. Bayangkan ada berapa lagi anak yang kurang mampu dan berkebutuhan khusus…

Kalo kita, yang normal, gak peduli, maka siapa yang mau bantu?

miss Grandin bilang, (they’re) different; but not less.

One response »

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s