Konflik Keluarga? Hit the restart button!

Gallery

So recently, our ship’s start to hit the rocks.

Banyak sekali konflik terjadi di rumah belakangan ini. Mulai dari abib bertingkah, gue yg gas lighting terus tiap hari dan deded yg kepancing lalu bereaksi lbh keras.

On and off beberapa bulan ini sampe akhirnya gue, si unsecured ini sadar bahwa we all in needs of repairing. Iyak, repair our connections.

Bear with me ya, it’s going to be a very long story… (dan polisi bahasa, sila resign, gue mau jadi anak jaksel buat cerita yang ini..)

The story

Pandemic and economic situations, hits us. Yess, it hits mostly everyone, including us. Situasi memang berat sekali terasa, maka gue dan deded harus bekerja extra hours, menghabiskan energi ekstra, membuat waktu ketemu yang berkualitas semakin menipis.

Sekolah online dan craving sensory di Abib, melengkapi suasana panas, tentunya. Ya sudah bisa ditebak, kan? Setiap ketemu tentu yang terjadi adalah: GAAASSSS!!!

Akar masalahnya sih ya tau lah; koneksi terganggu. Ibarat internet kalo lagi betingkah, meeting zoom bisa kelempar keluar terus, googling keputus2, lagu ilang timbul. Ya gitu deh, koneksi dan koneksi.

**

Situasi seperti ini, kalau ngikutin Hasrat, akan gue selesaikan dengan

  • Ngamuk setiap saat dan minta dimengerti
  • Ngomel dan menyalahkan setiap manusia
  • Ignore. Kabur ke kantor. Kerja kaya gak butuh keluarga.

Tapi kalau hal ini yang gue lakukan, kira2 apa yang akan terjadi? Ya tentunya tambah runyam.

Ya masa gue lagi gue lagi sih yang harus ngalah? Ya masa gue lagi gue lagi sih yang harus mulai? Emang gak ada lagi yang mau mulai duluan? Gak ada yang mau sadar duluan?

Ketika kalian semua capek, kan gue juga yang ngurusin kalian! Apa kalian gak sadar bahwa gue juga manusia, dan gue bisa sangat capek? Gak ada lho satupun dari kalian yang nanyain kabar gue! Gak ada satupun yang nemenin kesendirian gue! Kan gue kerja juga, ngurus kalian juga! Semua harus mulai dari guuuueee!!! Gue boleh marah juga lho. Gue boleh sedih juga lho. Beneran deh.

Dan hal ini yang terjadi pekan lalu, Ketika gue kepancing. Gue murka.

Ada satu kejadian yang membuat Poe mulai marah, gue kepancing dan murka, abib diem dan terluka. (Gak usah nanyain adek Ara, dia molor..)

Akhirnya keluar deh emosi yang terpendam itu. Keluar deh kemarahan yang gue tahan. Keluar deh hasil dari burn out gue.

Habis itu gue mengunci diri di kamar dan menangis. Panjaaaaang banget nangisnya. Kayanya sih nangisnya bukan karena kejadian itu doang, tapi tumpukan kejadian. Sampe akhirnya stok air mata menipis, trus gue sadar;

Yah ini mah gue yang gak sehat mentalnya.

Poe minta maaf dan bilang bahwa dia seharusnya gak mulai marah, karena gue gak salah. Abib memeluk gue dan bilang “Nyanyak jangan sedih sendirian. Sini Abib temenin…”Gue semakin sadar; ah gak ada yang salah dengan hubungan kami. Ini Cuma burn out jamaah.

Merunut kejadian

Maka gue mulai berpikir teknis. Hahahaha…ya tentu lah, gue ya tetap gue. Manusia tabel dan mind map. Gak usah berubah juga, karena yang harus dilakukan hanyalah; sadar.

Okeh, first thing first. Kesalahan terjadi karena gue terlalu konsentrasi mikirin kerjaan. Gimana Roots bisa terus idup. Apa yang harus gue lakukan buat roots? Apa strateginya? Lalu mikirin anak-anak. Abib dan cravingnya. Ara dan kelakuan toddlernya. Gue lupa bahwa ada poe yang juga punya beban emosi.

Gue lupa bahwa puzzle nya belom lengkap, kalo kebutuhan terkoneksi dengan yang itu gak boleh disepelekan. Karena peranannya sangat besar untuk jalan Bersama-sama menghadapi ujian demi ujian ini. Iya, dia orang dewasa kaya gue. Tapi dia juga kaya gue, butuh dibersamai. Butuh terkoneksi.

Ya gue mulai lagi dengan membangun koneksi lagi sama poe. Gue meninggalkan pesan-pesan manis lengkap dengan kue manis. Gue mulai nanya dan membersamai lagi. Gue mencontohkan itu, kemudian Abib otomatis aja ngikutin.

Oh iya, gue tentunya sudah berdiskusi dengan abib. Gue bahas juga mengenai situasi dan betapa beratnya yang kami rasakan. Gue ajak juga dia untuk sama-sama mengerti. Tentu gue juga tetap berusaha membersamai dia. Gak susah sih sebeenrnya buat Abib memahami, karena basicnya kami saling sayang, kan..

Repair

Mulainya dari mana? Dari NAME IT TO TAME IT.

Maap cerita soal otak dikit. Jadi, the idea of taking more implicit body-based, image-based, feeling-based memories yang ada di hemisphere kanan ehm bagian otak kanan, alias hippocampus kanan kita adalah linear understanding, the why dan cause juga effect yang bisa diceritakan oleh hippocampus kiri kita.

How to brings and bringing them together? STORIES.

When we help them talk about what happened, how they felt about it, then we’re all okay.

Ini biasanya disebut dengan making sense process. Eh ini gak main2, karena ini adalah 50 years of cross-cultural research on something called attachment.

Jadi situasinya kalau kita sedang dalam kondisi terancam atau distress, we will ask for our attachment figure who will help us feel connected and protected. Ini akan mengaktifkan sistem attachment kita.

Konflik

Kita manusia, kita PASTI berkonflik dengan siapapun. Kata siapa gak boleh? Ya wajar lah. Tapi kita harus selalu berorientasi solusi. Gak harus keburu2 kok, embrace dulu semua yang dirasain sampe lega. Habis itu pasti bisa berpikir lebih logis.

Habis menamai perasaan, makin sense process, lalu ya minta maap lah.

“Aku marah sekali, dan enggak menanganinya dengan baik. Maaf ya..” atau kalau sama anak yang lebih kecil “Aku marah sekali, wajahku berubah jadi menyeramkan dan suaraku tinggi. Maaf ya. Harusnya aku lebih gentle..”

Iya, REPAIR. Tau gak? Repair itu akan membangun resiliensi. Why? Well, they have this experience where relationships are messy and uncomfortable and sometimes things don’t feel good in relationships but then they get ride again.

This will widen our child’s window of tolerance for conflict in relationships. And they will know how to do that for other people.

REPAIR is really about vulnerability and teaching; it’s okay to be vulnerable. It’s okay for things to be messy, and it will still turn out all right. Conflict and repair will give impact to so many conversations and just how kids operate in life in the future.  

4S: SAFE, SEEN, SOOTHED = SECURE

Ini rumusan termudah untuk menjelaskan bagaimana kita bisa membangun secure attachment untuk seluruh anggota keluarga. Karena yang dewasa juga gak semuanya membawa puzzle yang lengkap. Mari kita berusaha menyusunnya satu persatu, Bersama-sama.

Safe: bukan hanya mengenai menjaga makanan dan keselamatan jiwa anggota keluarga. Namun juga memastikan bahwa bukan kita sumber ketakutan/ancaman/chaos untuk mereka. Kebayang kan? If we are the source of fear, not just they feel alone, they have nowhere else to go. Sedih gak?

In moment when our child, or even us, having a hard time—let’s bring our presence. I mean, really present with the attention and whole mind.

Seen: not just looking at the behavior but looking at the mind behind the behavior. Ini lho yang gue maksud tadi. Semua marah, semua teriak, ini behavior. But why?

Tune in, babe, tune in. tuning into our child/spouse experiences gak berarti we have to fix things kok. Validate dan embrace aja. Biarin semua cerita mengalir dengan tenang. Allow them to feel SEEN.

Soothed: Iya kok gue daritadi ngomongin poe dan anak2 terus. Gini, teorinya kan kita kaya masuk ke dalam satu ruangan yang isinya cermin. Kalo gue masuk dengan muka murka, ya semua bayangan yang tampil tentu murka, benar?

Maka ya kalo gue udah sadar dan berhasil memetakan masalah, maka ya gue selalu mulai dari diri gue sendiri kok. Calm ourselves first, baby!

Soalnya untuk bilang “I’m right here WITH you” will prompts and activates neural networks in our brain to remind us that our job is to walk with them. Sebab, when they’re raging, means their nervous system is turn up. Let’s turn the dial down dengan empathetic face, calmer tone, bahkan below their eye level.

Dan ini tentu membutuhkan kewarasan kita dulu. Chill dulu ya, stop drop and breathe.

Inget aja; when they are at their worst, they need us the most. THAT IS HARD. BUT IT’S REALLY POWERFUL.

Dan goalsnya tentu …Secure: ini terutama untuk anak2 ya. Their brain actually wires to securely know that if they have a need, someone will show up for them. They create what’s called a mental model and their brain gets wired to know that if I’m in distress, someone will come for me.

Their brain wires; so that they can learn to show up for themselves. THEY CAN HELP THEMSELVES SAFE. They can see and understand themselves so that they get that awareness and soothe themselves, then they can go out to have secure attachment relationships with everyone else in their lives.

Koneksi=manjain?

“Duh manjain amat dah!” trust me; this is not spoiling. It doesn’t make them fragile.

Sering sih gue dibilang gini “But that’s not the way the world works. If I do that when my kids falling apart, the world’s not gonna do that! That’s just gonna make them dependent on me!”

Science actually show us the opposite, baby. Siapa yang suka ke gym angkat beban? Atau angkat gallon aqua deh…when u lift a weight, over and over, that muscle of yours will gets stronger, right?

Gitu juga dengan otak kita. Everytime we help our child move from a dysregulated falling apart stage, back into a predictable regulated state, we’re giving that prefrontal cortex reps. So that it gets stronger! Then they are able to do it themselves!

**

It’s never too late to start repairing things. That because, the way the brain gets wired and these mental models get built is based on relational experiences.

The minute we start changing what those experiences are, like we’re recharging our brain. Yes, it takes practices. But trust me, our brain will get those reps for how to do it. 

SO, what are u waiting for? LET’S GO ON HIT THE RESTART BUTTON!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s