Saya, bukan penggemar coklat. Bolehlah dibilang penikmat, tapi penikmat amatir. Saya Cuma tau kalo coklat itu punya rasa manis yang tidak ‘giung’-bahasa sunda, artinya kemanisan- jadi rasanya selalu ada semeriwing pahit. Apalagi olahan coklat yang menggunakan dark chocolate. Karena itu, ketimbang makan produk coklat batangan, atau coklat aneka bentuk, saya lebih suka olahannya dalam bentuk kue. Baik kue kering maupun kue basah.
Termasuk brownies.
Dari dulu, saya suka brownies. Bahkan sebelum nama amanda merajalela. Sebab, sebenarnya saya lebih suka brownies yang ‘benar-benar’ brownies, dan bukan olahan bolu kukus yang dibuat seolah-olah brownies. Meskipun, to be honest, saya juga pernah turut dalam barisan yang mengantre untuk mendapatkan makanan ‘fenomenal’ itu.
Saat itu, saya Cuma denger dari mulut ke mulut, bahwa ada brownies jenis baru bermerek amanda. Letak tokonya nyempil di daerah soekarno hatta (persisnya sudah lupa). Tapi rumah itu memang jelek dan nyempil. Untunglah, saya waktu itu berdomisili di komplek margahayu,jadi gak terlalu jauh. Awalnya saya enggak percaya waktu tetangga saya bilang, “Mau beli brownies, antre dari jam 6 pagi, ambil nomor trus balik lagi jam 9an.” He? Ngantre brownies apa sembako gratis?
Ternyata emang begitu. Udah gila memang, liat orang rela antre sampe demikian. Karena penasaran, ya saya ikutin lah prosedur nya. Saat siang dirumah, saya buka box dengan kemasan dan desain sederhana itu, perlahan-lahan. Ekspektasi saya sudah demikian tinggi, apalagi mengingat antrean tadi. Namun begitu gigitan pertama masuk, kotak langsung saya tutup dan brownies kukus fenomenal yang bikin saya bangun pagi itu, saya cemplungin di kulkas. Saya masuk kamar dan mengganti jam tidur yang tadi keganggu. Ah,,,mengecewakan.
Kekecewaan itu bertambah besar, waktu si pencetus idea of heaven, brownies kukus spektakuler diundang ke kampus dan ngasih ceramah untuk menjadi seorang pengusaha — soal marketing plus branding. Dengan muka ceria, jujur dan bahagia, dia bilang bahwa dia hanya mengganti nama ‘BOLU’ jadi ‘BROWNIES’, sebagai strategi pemasaran. Eurgh.
Soal sejarah si amanda, bisa dilihat disini:
http://www.amandacogroup.com/amanda/index.php/tentang-kami
tapi yah, whatever it was, amanda memang mereguk sukses BESAR. Bagaimanapun, harus diakui, dia berani. Sampai sekarang, dia punya berbagai produk yang bisa diintip disini:
http://www.amandacogroup.com/amanda/index.php/produk
lagipula, rasanya saya malu juga kalo mencela. Karena saya enggak bisa masak. Hahahaha…pada waktu itu, jaman kuliah, boro2 masak kue, masak air aja gosong. *eh
Pernah sih-memaksa seorang temen kosan yang jago masak- nyobain bikin dengan bahan-bahan:
120 g tepung terigu, 200 g margarin,3 butir telur, kocok hingga mengembang, 200 g dark cooking chocolate, potong-potong. Kemudian 150 g gula pasir, 60 g potongan kacang almond/kenari plus ½ sdt garam halus
Cara Membuat:
Panaskan margarin hingga meleleh. Masukkan potongan cokelat, gula pasir dan garam, aduk hingga cokelat meleleh dan gula larut. Angkat.
Tuang tepung terigu sedikit demi sedikit dan kocokan telur. Tambahkan potongan kacang almond/kenari. Aduk rata.
Tuang adonan ke dalam loyang yang sudah dialas dengan kertas roti dan diolesi margarin, ratakan. Taburi atasnya dengan irisan kacang almond.
Panggang di dalam oven bertemperatur 170 derajat celcius selama 45 menit atau hingga kue matang. Angkat. Potong-potong, sajikan.
hasilnya? KERAS! Hahahahhaa,,,,
Saya penah baca, katanya, pertama kali resep brownies dipublikasikan pada 1897 di Katalog Sears Roebuck, salah satu toko serba ada legendaris dari Amerika Serikat. Brownies dikategorikan kedalam kue batangan (bar cookies) sebagai cemilan dan nama brownies di dapat dari warna kue itu. Cerita-ceritanya brownies itu di temukan waktu mau membuat kue tapi kelupaan untuk memberikan baking powder di adonan resep kue coklat.
Hmmm,, emang, dari berbagai cerita yang banyak beredar tentang asal usul brownies, konon awalnya ada seorang koki yang lupa memasukkan baking powder ke dalam adonan resep kue coklat. Sehingga setelah dipanggang, hasilnya kue coklat tidak mengembang (bantat). Tekstur kue coklat yang seharusnya tebal, lembut, dan berpori2, menjadi agak padat dan basah. Inilah cikal bakal kue brownies yang kita temukan sekarang.
Nama ”brownies” diambil dari “the deep brown color of cookie”. Brownies punya ciri khas warna cokelat tua kehitaman.
Cerita lain yang beredar tentang asal muasal kue coklat nan lezat ini, ada seorang pemuda pembuat kue yang sedang mengalami krisis keuangan. Dia mempunyai seorang teman yang setiap pagi akan menjualkan kue2 buatannya. Pada hari itu, pemuda berencana membuat kue coklat, dan dibelinyalah bahan2 untuk kue coklat. Semalaman ia berkutat untuk membuat kue coklat nan lezat seperti tertera dalam resep kue coklat itu. Dan baru selesai jam 4 pagi. Tapi pemuda tersebut sangat kecewa dengan hasil akhir kue coklatnya yang berbeda hasilnya dengan yang disebutkan di dalam resep. Uangnya pun sudah habis untuk modal membuat kue lainnya. Teman si pemuda datang pagi-pagi seperti biasanya, dan dia mengira kue coklat bantat yang telah jadi, adalah kue untuk dijualnya hari itu. Tanpa sepengetahuan pemuda, temannya tetap pergi menjual kue-kue tadi. Para pelanggan sangat surprise dengan kue coklat hari itu, mereka mengira kue tersebut adalah resep baru. Banyak yang memesan untuk keesokan harinya. Dan selamatlah pemuda tersebut dari kebangkrutan karena banyak yang memesan kuenya.
Jadi brownies, si kueh gagal. Dan saya, ratu gagal. Bikin kue gagal aja, GAGAL. Hahahaha…*ketawaironis
Nah, sampai suatu hari, di kelas pas lagi kuliah, saya lagi asiknya terngantuk-ngantuk kena angin Jatinangor yang semeriwing. Tiba-tiba seorang sahabat nyodorin kotak bekelnya. “Mau brownies kukus gak?” saya mengerenyit dan menggeleng. Etapi dia malah ngelanjutin,”Ini beda. Bukan amanda, coklatnya asli. Enak bgt,” katanya. Saya menghela nafas, dan menatapnya gak percaya, tapi behubung kesian liat mukanya, jadi saya ambil sepotong. Dengan mata ngantuk, saya mulai menggigit kue yang warnanya hitam kecoklatan itu. Waktu gigitan pertama dimulai, ada sensasi pahit coklat di ujung lidah saya. Enggak lama, ada lumeran coklat membasahi lidah, dan mulai terasa manis. Empuknya kue, berpadu dengan coklat batangan tebal di tengah kue, membuat mata saya melek dan berbinar. “Ini lo bikin sendiri?” tanya saya sambil mengambil paksa potongan kedua. “Bukan, gue beli deket rumah nini, di jalan sunda,” katanya.
Tuhan, kue barusan yang meleleh di mulut saya itu, mahakarya!
Waktu itu, masih 2006. Itulah tahun pertama saya akhirnya berkunjung sendiri ke rumah reyot, hampir rubuh di jalan sunda, Bandung. Rumah yang telah menciptakan mahakarya itu, rumah tante siti marjam. Namanya klasik ya? Sama klasiknya dengan nama yang ia ciptakan untuk brownies ter-enak yang pernah saya coba itu. DELICIOUS. Duh, enggak menjual banget deh. Hehehe,,,
Saya pernah nongkrong dirumah jelek itu setengah hari, demi mendengar cerita-cerita yang keluar dari mulut ibu-ibu setengah gemuk dan memiliki bentuk jari-jari seperti jarinya sisca soewitomo. Namanya, Siti Marjam. Tadinya, dia dan suaminya adalah dosen di salah satu universitas swasta di Bandung. Tadinya, bikin kue sekadar hobby ala ibu-ibu, yang dilakukan saat akhir pekan. Sayangnya nasib berkata lain. Suaminya terimbas isu dari kegiatan yang dilakukannya di kampus. Hal itu menyebabkan keduanya dberhentikan. Akhirnya, ia terpaksa harus menjadikan si hobby tadi sebagai pemasukan utama.
Entah karena resep asli dari Amerika yang ia gunakan, atau karena si tante emang punya ‘tangan dingin’, tapi, brownies yang dia buat, dengan suksesnya udah menumpas semua brownies yang ada di Indonesia. Tante marjam, enggak Cuma bikin brownies kukus, tapi juga brownies panggang. Ini, brownies panggang ini, 100 kali lebih istimewa dari brownies kukusnya. Bayangin, niat banget dia bikin TIGA lapis coklat dalam sebuah kue. Ada butiran chocolate chip sebagai isi, yang –tentu saja- letaknya ada di lapisan terdalam, kemudian dia juga bikin lapisan kedua yang dipenuhi dengan coklat batangan, kacang almond dan kenari sebagai lapisan dari kue yang dibuat dengan rombutter asli tanpa campuran. Spesial, karena penggunaan rombutter (yang harganya jauh lebih mahal ketimbang margarin biasa), bikin rasa kue lebih legit dan gurih. Diatas lapisan kuenya, dia bikin ada coklat lumer sebagai ‘cover’:
Waktu itu, 2006, dia jual brownies panggangnya dengan harga Rp 30 ribu per kotak, dan Rp 18 ribu untuk brownies kukus. Besar kotak, kurang lebih sama lah dengan kotak si amanda.
Kue-kue si tante ini juga yang saya jadikan ‘koncian’ buat mengalihkan perhatian dosen-terutama dosen emak2 yang killer- pas lagi sidang skripsi saya. SUKSES! Mereka sibuk nanya dimana saya beli kue itu, dan lupa sama skripsi. Hahaha…
Sampe sekarang, saya masih jadi pelanggan tetap kueh-kueh tante marjam. Bukan Cuma brownies, tapi juga kue-kue keringnya. Lebaran tahun ini, semua kue toples bening a la lebaran sukses kelibas sama kue-kue si tante. Yang paling spesial adalah kue fruit square:
Saya, belum pernah ngerasain kue kering seenak ini. Rasa buah-buahan dan kacang kenari plus metenya, terbaur sempurna dengan adonan tepung. Ada manis, asem, gurih di kueh ini. Selain si kue bertabur buah ini, tante Marjam juga bikin kue-kue lebaran standar macam lidah kucing, kaastangeel, putri salju dll. Saya sudah coba semua, dan semuanya bikin saya enggak mau lagi makan kue kering bikinan orang lain. Begitu juga si poento, mama dan nenek saya. Hehehe…di kantor poento, waktu dia bawa satu stoples fruit triangle, gak sampe 1 jam, sudah ludes. Padahal Cuma 4 orang yg makan.
Kue-kue bikinan dia emang enak, legit dan paripurna. Rasanya puas, apalagi kalo dimakan barengan sama kopi panas dan dengerin gemericik hujan yang bawa angin sepoi-sepoi. Sayang, enggak ada yang sempurna. Seperti layaknya UKM, si tante punya berbagai keterbatasan klasik. Ya modal, ya karyawan, ya tempat. Jadi enggak ada tuh kita bisa dateng, pilih kue dan pulang. Harus pesen dulu, itu juga datengnya sering telat. Apalagi kalo pesen banyak. Mungkin karena itu, dia juga enggak terkenal-terkenal. Saya browsing, dan Cuma nemu satu tulisan tentang dia di dunia maya : http://archive.kaskus.us/thread/4922632
Iya, dan bener, rumahnya sudah hampir rubuh. Dengan jendela yang bolong-bolong dan dinding ga terawat, susah percaya bahwa masih ada manusia yang menempati rumah itu.
Maklum, dia bekerja solo. Dibantu suami dan anak-anaknya, sesekali. Wajar kalau akhirnya dia sering sakit-sakitan. Berkali-kali, dia dapet tawaran untuk kerjasama, yang ditolak dengan halus. Kayanya, si tante menganggap kue-kuenya sebagai karya seni. Dia takut jadi industri, dia takut nantinya harus mengurangi keaslian bahan, seperti toko kue lainnya. Idealis. Akhirnya, dia bertahan dengan pola hidup “pinjam buat modal”.
Tetapi itu semua bikin saya tambah jatuh cinta. Prinsipnya dalam mempertahankan kecintaan, emang bikin bisnisnya enggak pernah maju signifikan. Tapi, saya, si penikmat amatir ini, jadi tau, kemana harus mencari kue-kue nikmat yang bahan-bahannya terjamin. Emang, dia juga brownies panggangnya sekarang jadi Rp 55 ribu dan brownies kukusnya Rp 33 ribu. Lebih mahal dari Amanda yang harganya masih dibanderol dibawah Rp 30 ribu. Tapi jaminan mutu itu, kan enggak ada dimana-mana.
Tante Marjam, si tukang kueh yang memasak dengan hati. Saya, juga menikmati setiap gigitan kue nya dengan sepenuh hati. Anda, kalangan pebisnis yang membaca dan kemudian mencoba si kue2, mungkin akan berkali mengucap “Sayang banget” . Ya, emang sayang banget. Tapi, karya seni kadang-kadang harus dibiarkan tetap menjadi karya seni…