Sexy Killers sebagai Pengingat; kenapa Roots Learning Center berdiri

Gallery

Pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, bahkan sampe ke pemilihan ketua kelas juga enggak pernah jadi biggest concern in my life. Kenapa? Ya enggak tertarik aja.

Sejauh ini, tidak pernah tertarik jadi pemimpin dan tidak percaya pada –so called– demokrasi yang dijalankan di Indo. Plus; politics make me sick.

Karena itu issue 2019 ganti atau gak ganti presiden ya tidak terlalu menarik buat saya.

 

 

Da_zZawVwAAbGZj

(Selipin receh dikit biar ga tegang…)

Nyoblos kok, nyoblos. Tenang aja. Tapi ya gitu aja, sekadar memenuhi kewajiban sebagai warga Budiman.

Sexy killers; killing me.

Nah, tapi yang menarik adalah keluarnya documenter sexy killers beberapa hari sebelum tanggal 17 April. Saya nonton karena saya tau, itu tidak akan mempengaruhi pilihan saya. Saya nonton, karena saya emang suka banget nonton documenter. Saya nonton, karena kadang saya kangen jadi jurnalis dan liputan sana sini.

Hasilnya? Iya, seperti yang telah diduga; sedih.

Issue yang diangkat bukan barang baru, dan kayanya kebanyakan dari kita tau ya?! Soalnya tidak ada pemain baru-lah itungannya. Namun demikian, ujaran dari warga Batang mengenai PLTU itu kena tepat sekali di hati saya.

“Gara-gara orang yang pandai”, katanya.

Mau mati saya dengernya.  Lalu saya benar-benar merasa bersalah.

Seketika, saya lalu merasa kecil dan kemudian merasa jadi bagian dari masalah. Saya tidak pernah merasakan hidup di tempat-tempat terpencil atau pedesaan di Indonesia. Saya warga kota besar, yang manja karena enggak bisa tidur kalau enggak adem.

Saya warga kota besar, yang bingung mau ngapain kalau listrik padam.

Saya warga kota besar, yang tidak bisa 100 persen melepaskan diri dari sawit—-meski telah mengganti semua pembersih dan bahan makanan di rumah, dengan yang tidak menggunakan sawit. —((disclaimer. Biar gak dibilang salah2 banget. Maklum, Namanya juga manusia.))

Saya warga kota besar yang bahkan menonton sexy killers juga dengan wifi, dan tentu saja gawai dengan listrik.

Saya ketergantungan pada listrik.

Saya bagian dari rakyat yang menyusahkan rakyat lain, karena saya membuat PLTU dibangun dimana-mana. Saya turut menyumbang dalam bisnis besar batu bara, dan saya takut.

Saya takut sekali, kalau dosa yang saya perbuat tanpa saya sadari seperti itu, enggak Cuma satu itu aja. Tapi banyak.

Saya takut sekali, kalau kehidupan bahagia yang saya jalani setiap hari, ternyata telah membuat saudara saya di suatu tempat sana tersakiti.

Saya takut sekali, kalau nanti saya mati, Tuhan akan bertanya “Pernahkah kamu sekali saja sadar, bahwa gembiramu itu mahal harganya?”

Saya takut.

Dan ini terasa Bersama dengan tetesan air mata.

 

Resah

Dulu, ketika lulus kuliah, saya sering merasakan hal-hal seperti ini. Keresahan demi keresahan pada jalannya kehidupan.

Ini alasan awal kenapa saya memilih pekerjaan pertama (dan ternyata menjadi satu2nya) menjadi seorang jurnalis. Saya ingin berbuat sesuatu. Saya tidak ingin abai. Saya tidak ingin melupakan. Saya tidak ingin terus-terusan merasa berdosa juga, di waktu yang sama.

Ternyata, setelah beberapa tahun menjadi seorang jurnalis, yang saya dapatkan tidak seperti yang saya inginkan. Saya merasa tidak pernah melakukan apapun. Saya merasa hanya “tahu lebih banyak” aja. Tetapi enggak bisa berdampak signifikan.

Akhirnya, keresahan ini perlahan mulai terlupakan sejak punya anak. Karena kehidupan saya berputar di dunia baru yang memusingkan; mengurus anak manusia. Seorang ibu mesin harus mengurus anak manusia, bukan perkara mudah.

Namun ternyata, satu tahun berjalan, saya kembali resah.

Saya kembali diusik karena justru ketika mengurus anak, saya takut; APA YANG AKAN SAYA TINGGALKAN UNTUK MASA DEPANNYA KELAK?? Apakah saya akan mewariskan keresahan yang sama? Apakah saya akan mengajarkan anak saya menjadi orang yang abai?

Hingga akhirnya saya sadar bahwa semua justru dimulai sejak dini. Sejak seorang manusia belajar mengenal ibunya. Sejak seorang calon pemimpin itu belajar tepuk tangan!

 

Mencari solusi

Wajah gemas Langit Habiby menyadarkan saya bahwa saya harus kembali lagi berusaha. Mungkin tidak sebesar “Mengubah dunia” tapi setidaknya berusaha “Melakukan sesuatu”. Setidaknya tidak menjadi bagian dari masalah. Setidaknya sadar bahwa saya juga punya andil dalam penderitaan orang lain, maka saya harus berusaha jadi lebih baik.

Disitulah taman main berdiri.

Sekarang, si sulung sudah jelang 8 tahun dan si bungsu sudah jelang 1 tahun. Kami ekspansi. Kami re-branding. Taman main daycare berganti Roots Learning Center.

cb003a86-c4cf-4bb5-aae6-7d3a3b42454d

Yang tadinya hanya daycare kini ada preschool dan TK.

Yang tadinya di Wijaya kini di Brawijaya.

Mungkin masih terlihat seperti sekolah untuk orang kaya, tapi percayalah, anak-anak tetap anak-anak. Mereka mungkin nanti akan menjadi pemimpin bijak yang memahami manusia. Atau justru mereka yang akan menjadi penjahat dan membuat banyak orang menderita.

 

Cuma satu kata kunci dari kurikulum yang saya susun: KONEKSI.

Kenapa?

Karena ini kebutuhan utama setiap manusia. Ini yang hanya terbentuk di 6 tahun pertama  kehidupan manusia. Ini yang akan terus menjaga kita hingga dewasa nanti.

Ini core setiap kita.

Ini yang akan membuat kita mencintai.

Ini yang akan melembutkan hati.

Ini yang akan membuat setiap kita percaya, bahwa kita bisa melakukan kebaikan.

Ini yang akan menjaga kita dari perseteruan antar saudara ngeributin Jokowi vs Prabowo, dan mendingan menjaga lingkungan dari sampah plastik.

Ini yang membuat setiap anak terpenuhi kebutuhan jiwanya, dan tidak mencari-cari perhatian lewat ngancurin motor ketika ditilang.

Ini yang mencegah seorang anak manis berubah menjadi kriminil di usia dewasanya.

Ini yang akan menjaga para kucing di jalan, dari orang-orang yang hobi menyiksa.

Ini yang akan membuat umat manusia masih bisa bertahan di revolusi industri berikutnya, ketika semua diambil alih oleh artificial intelligent.

Koneksi.

 

Buat saya sendiri, ini cara saya menjawab keresahan jiwa yang sulit hilang.

Maka, terima kasih banyak untuk sexy killers. Sebab buat saya, isu politik tidak pernah seksi. Tapi konten documenter ini menjadi pengingat alasan besar saya mendirikan sekolah, adalah karena semua permasalahan yang terjadi di dunia ini berakar dari masa kecil setiap kita.

Semua kebaikan dan keburukan di muka bumi ini berawal dari Pendidikan dan pengasuhan, bahkan sejak seseorang membuka matanya usai 9 bulan berada di tempat paling nyaman di dunia.

Ini bukan hanya tanggung jawab ibu dan ayah, ini tanggung jawab kita semua. Sekolah, tetangga, sepupu, tante dan om, teman, rekan kantor, siapapun Anda, Pendidikan dan pengasuhan anak adalah tanggung jawab kita.

Kita semua memegang peran atas segala kerusakan, juga kebaikan yang terjadi di muka bumi ini.

Sekarang tinggal kita yang milih; mau jadi bagian dari kerusakan, atau berusaha berbuat lebih baik lagi setiap hari?

 

Semoga Allah sayangi kita dan ampuni kita semua ya..

Yuk pelan-pelan melangkah, kita perbaiki Bersama kerusakan-kerusakan ini.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s