Sebenernya udah lama saya mau nulis soal ini, tapi, belakangan ada begitu banyak kesibukan menodong kehidupan saya. Hehe..
Sayangnya, tulisan yang sudah kepikiran dan ditangkarkan dengan baik, jadi utang, kalo belum dituliskan. Ya gaaak???
**
(Gambarnya Nyomot disini)
Ada begitu banyak cerita di kepala saya, bertumpuk, dan saling bertaut. Cerita yang muncul acapkali mendengar nama Adam Lanza, mendengar kepemilikan senjata api, dan penembakan.
Desember 2011, Adam Lanza, seorang BOCAH 20 taun menembak 26 orang di SD Sandy Hook connecticut, AS. Gak Cuma itu, dia juga menyarangkan 4 buah peluru di tubuh ibu kandungnya sendiri.
Ini bukan kejadian baru. Semua orang pasti inget kejadian penembakan massal di SMA Columbine taun 1999. 12 orang meninggal, dan pelakunya lebih ABG lagi dari si Adam Lanza.
Penembakan massal, dan senjata api, kayanya memang momok di AS. Negara yang angka pembunuhan dengan senpi nya sangat tinggi; sampe 11 ribu kali/tahun. Crazy.
Daaan, kalo ada kejadian macam begini, sudah pasti media, pengamat, pemerintah, NGO, pengguna twitter, penonton tivi, pembaca koran, mahasiswa, dan seluruh lapisan masyarakat akan berkomentar; analisa penyebab kejadian.
Oke, dari beberapa artikel yang saya baca, banyak pihak menyalahkan video game. Begitu banyak contoh kekerasan dari video game yang dimainkan anak muda. Menurut saya, ya mungkin aja sih. Tapi, pendapat ini kemudian ditolak oleh Moore di filem Bowling for columbine (2002). Dia bilang, Jepang adalah produsen utama video game dan nyatanya angka pembunuhan dengan senpi nya Cuma 35 kali/tahun. Begitu juga dengan filem action yang banyak adegan tembak2an, kalo kata si Moore, di negara lain juga ditayangin, tapi angka penembakan gak setinggi di AS.
Ada lagi pihak2 yang nyalahin musik metal.
Kalo ini, SAYA yang nentang!! Hehehe..saya dengerin musik metal dari jaman sepultura konser di Jakarta dan bapak saya yang nonton. Boro2 ngebunuh orang, beli ikan idup aja, abis bilang sama mas nya, saya kabur. Biar gak perlu liat tu ikan digetok. Ahahaha..
Tapi soal musik metal ini juga ditentang Moore, dengan opini Marylin Manson. Doi (Manson) juga sempet bikin artikel yang cakep banget ini, buat menanggapi tuduhan musik metal sebagai penyebab pembunuhan.
Ini line tercakep nya:
“Responsible journalists have reported with less publicity that Harris and Klebold were not Marilyn Manson fans — that they even disliked my music. Even if they were fans, that gives them no excuse, nor does it mean that music is to blame. Did we look for James Huberty’s inspiration when he gunned down people at McDonald’s? What did Timothy McVeigh like to watch? What about David Koresh, Jim Jones? Do you think entertainment inspired Kip Kinkel, or should we blame the fact that his father bought him the guns he used in the Springfield, Oregon, murders? What inspires Bill Clinton to blow people up in Kosovo? Was it something that Monica Lewinsky said to him?
Isn’t killing just killing, regardless if it’s in Vietnam or Jonesboro, Arkansas?
Why do we justify one, just because it seems to be for the right reasons? Should there ever be a right reason? If a kid is old enough to drive a car or buy a gun, isn’t he old enough to be held personally responsible for what he does with his car or gun? Or if he’s a teenager, should someone else be blamed because he isn’t as enlightened as an eighteen-year-old?”
Haha!
Ya karena memang, di Kanada juga ada 7 juta senpi yang tersimpan di 10 juta rumah. Tapi angka penembakan ‘ngasal’ gak setinggi di AS. Meskipun, well, kebijakan kepemilikan senpi yang free ini juga menurut saya punya peran besar. Heu.
Jadi apa dong?
Kalo menurut Moore, 13 TAHUN yang lalu, masyarakat Amerika dikondisikan oleh para politisi dan media komunikasi untuk hidup dalam rasa takut. “Ketika menonton tv, orang dijejali berita buruk hingga jadi takut: ada bencana banjir, virus AIDS, pembunuhan di mana-mana…lalu tiba-tiba iklan datang, memotong berita dan menawarkan beragam produk untuk dikonsumsi. Dan inilah cara kerjanya: buat masyarakat takut, maka mereka akan jadi penurut dan membeli apa pun yang ditawarkan.”
Jadi, masyarakat Amerika, dikondisikan untuk hidup dalam ketakutan; isu tentang berbagai bahaya yang mengancam seperti lebah pembunuh dari Afrika yang akan menyerang Florida, bahaya Jaws di perairan lepas, ledakan bom dari musuh negara dan padatnya komunitas kulit hitam yang dianggap sebagai biang kriminal dan kejahatan. Hal ini menjelaskan, mengapa tingkat kepanikan penduduk Amerika terus meroket padahal angka kejahatan terus menurun.
Jadi, macam di Indonesia sekarang, penduduk AS sudah lebih dulu dikondisikan untuk mudah jadi parno, dengan mempercayai ancaman yang sebenarnya tidak ada. Nah, nah, didorong ketakutan imajiner ini, angka pembelian dan kepemilikan senjata api begitu tinggi (200 juta senjata api beredar di antara 300 juta penduduk Amerika). Karena alasan yang sama, satu sama lain saling curiga dan orang merasa wajib membentengi rumah mereka dengan terali besi dan berlapis-lapis pintu (rumah jadi penjara, menurut tafsiran orang Kanada yang tidak pernah mengunci pintu rumah mereka).
Sudah pernah nonton God Bless America? Filemnya Bobcat Goldthwait. Tu filem juga sinting, dan ngegambarin banget soal ke parno-an masyarakat AS. Bahwa solusi dari semua masalah ekonomi, kriminal, sosial, politik, adalah: MARI KITA MATI BARENG-BARENG, dimulai dari ELO, ELO, ELO dan ELO, BARU GUE. Hehehehe…tonton deh.
Persis kaya analisis Moore dari kejadian Columbine; Dua pelajar yang membantai sesama pelajar lainnya ditenggarai terjangkit paranoia: mereka takut menghadapi masa depan sendiri karena guru-guru mereka mengajarkan kalau mereka gagal memperoleh nilai bagus di sekolah maka hanya kehancuran yang mereka dapati di dalam kehidupa. Kedua pelajar ini merasa gagal di sekolah. Kalau sudah hancur, apa lagi yang dapat diperjuangkan? Mengapa tidak menghancurkan sumber ketakutan dan kegagalan mereka, yaitu sekolah berikut penghuninya dan ikut hancur bersama-sama?
Iya sih, saya sepakat dengan kesimpulan Moore itu. FRUSTASI yang dibentuk oleh sistem di sebuah negara. Dan Indonesia, sudah sejengkal lagi mencapai itu. Cuma mungkin, golok disini, harganya masih lebih murah ya?! Heu..
Maka, sebagai seorang emak-emak, angle saya tentunya adalah: MENCEGAH DARI RUMAH. Karena bagaimanapun, rumah dan seisinya itu, adalah basic yang jadi pencegah atau bahkan pemicu sebuah kejadian yang dilakukan oleh seseorang.
Ini, saya baca artikel ini. Nancy Lanza, punya koleksi senjata yang tidak sedikit, mulai dari pistol, senapan berburu hingga senapan serbu. Dia juga tidak pernah meninggalkan rumah tanpa pistol. Dia sering memamerkan koleksinya pada tetangga dan kawan-kawannya. Agar anaknya bisa mandiri, Nancy sering mengajarkan Adam dan Ryan -anak sulungnya- menggunakan senjata. Keduanya sering diajak untuk berlatih tembak di alam liar. Hal ini disampaikan oleh bekas tukang kebunnya, Dan Holmes.
*kemudianHening*
**
Mungkin ini yang jadi alasan gelengan kepala saya tiap kali orang mulai rese menggoda “Nah Abib nya udah gede tuh, ayo buruan punya adek lagi…”. Saya takut. Hahaha. Menurut saya, membesarkan manusia, memberikan pendidikan pertama buat seorang manusia, itu adalah MAHA profesi. Yess, profesi terberat dari segala profesi yang ada di dunia.
Apakah saya, seorang ibu, membesarkan calon koruptor dengan membiarkannya serakah, dan terbiasa mengambil uang kembalian belanja yang seharusnya diberikan kepada saya? Atau saya membesarkan seorang pembunuh, dengan mengajarinya menjadi paranoid? Mampukah saya jadi seorang ibu yang membesarkan seorang manusia berguna bagi sesama, dan tidak melulu mementingkan dirinya sendiri?
Ah. Gak akan ada ibu yang sempurna. Tapi saya mau berusaha untuk maksimal memberikan yang terbaik buat anak saya. Maka, menurut saya, agak susah untuk melakukan itu dengan jumlah anak yang banyak, dan usia yang berdekatan. Karenanya, saya tundukkan kepala dan berikan 1.000 acungan jempol untuk kalian, semua ibu yang bisa mendidik banyak anak yang usianya berdekatan, dengan baik.
Saya, hihi, saya bukan pemberani. Meskipun, punya anak sedikit atau banyak ya hak prerogatif Tuhan. Saya Cuma bisa USAHA. Hahaha..
Enggak, saya GAK bilang, kalo punya anak banyak, kemungkinan gagalnya jadi tinggi. Enggak. Saya Cuma cerita tentang diri saya, bahwa saya enggak berani punya anak banyak. Karena jadi ibu itu adalah proses penggemblengan setiap detik. Dimulai dari detik pertama kelahiran putra putrinya di dunia, sampai entah kapan….
Sebagai ibu baru, saya merasa diospek oleh Tuhan. diospek untuk masuk ke kehidupan yang sama sekali asing dan baru buat saya. Setiap malam, saya sudah memikirkan kegiatan apa yang akan saya lakukan bersama Abib di keesokan harinya. Dan setiap pagi, saya sudah sibuk menyiapkan segala kebutuhan Abib. Kalau waktunya Abib tidur, saya sibuk merancang aktivitas, pendidikan, cerita, lagu, bacaan Al Qur’an, makanan, minuman, cemilan.
Saya juga selalu menyempatkan diri membaca. Setidaknya harus ada pengetahuan baru tentang dunia parenting, pengetahuan agama, makanan, permainan atau apalah yang berkaitan dengan hidup abib di usianya ini. Jadi, saat bermain saya dengan Abib, bisa benar-benar dinikmati. Tanpa kekhawatiran berlebih atas berbagai mitos, dan kepala saya juga gak kosong. Sebab ini benar-benar pengalaman pertama buat saya, dan saya mencoba maksimal. Hehehe..
Sosok Adam Lanza dan semua pelaku penembakan massal itu adalah momen bergidik buat emak2 macam saya. *elusDada* tapi rasanya, kalo seorang ibu membekali dirinya dengan pengetahuan, hati yang siap, schedule yang baik; akan membuat perasaannya lebih tenang. Perasaan yang tenang ini akan memberikan energi yang santai dan pikiran yang tegas.
Energi macam ini sudah pasti akan menular ke si anak. Kemudian mencegah anak dari cranky-anxiety-dan kemungkinan perilaku agresif. Ya kan?
Energi semacam ini juga akan menular kepada ayah si anak yang capek habis pulang kantor. Maka, Ayah tidak cranky dan meminimalisir kemungkinan terjadinya KDRT atau cekcok yang berujung perceraian. Dengan hati tenang, Ayah juga akan sigap membantu setiap pekerjaan ibu dalam mengurus anak dan rumah. Maka terciptalah sebuah kestabilan.
Simple, tapi saya yakin bahwa solusinya memang se-simple itu.
**
Saya jadi inget, Tom Goodwyn juga pernah nulis soal kaitan musik metal dan pembunuhan, di NME ini. Yess, sepakat sama closing tulisannya; “To adapt a phrase beloved of the NRA (who really should take some of the blame) …
.. songs don’t kill people. People kill people.”