Gaga dan Lita

Gallery

Tadi lagi ngumpul2in tulisan dari jaman dulu. Gak taunya nemu cerpen2 yang pernah dibikin dari jaman kuliah sampe sebelom nikah. Hehe..iya, ternyata, terakhir kali saya bikin cerpen itu adalah sebelom nikah. Dan itu berarti udah dua tahun lebih saya gak bikin cerpen. Jadi kangen…

eniwei, ini dia cerpen terakhir yang saya bikin. Kalo cerpen kan harusnya cerita PENDEK ya, tapi yang ini, panjangnya amit-amit. hehehe… Backgroundnya sih emang mirip cerita idup saya, tapi honestly, ini cuma cerpen kok. Kemiripan tokoh dan cerita, cuma kebetulan. Hehehehe…

Here you go…

 

Lita dan Gaga

…. Suara tawa membahana dari seluruh sudut ruangan besar café. Seorang perempuan jadi sentral pembicaraan malam itu. Perempuan dengan rambut pendek yang selalu diikat, dan sisa-sisa rambut yang tak terikatnya diselipkan di balik kedua daun telinga. Perempuan usia 25, yang selalu mengenakan celana jeans dan sepatu teplek. Namanya Syahlita, dan dua hari lagi, dia akan menikah….

Sekitar 50-an orang berkumpul di dalam ruangan yang kini mulai sumpek dengan asap rokok. Semuanya teman-teman kerja Syahlita, wartawan di desk ekonomi dari berbagai media. Acaranya bukan bachelorette party, tapi perpisahan karena tak lama lagi Lita, panggilan akrab Syahlita, akan digeser ke desk istana wakil presiden. Sekaligus merayakan keputusannya untuk mengakhiri masa lajang juga. Maka buat Lita, tak salah juga menghabiskan sisa uangnya untuk mentraktir teman-temannya..

Tawa riang, canda dan senda gurau itu berakhir di jam setengah dua belas malam. Usai sun pipi kiri kanan, Lita beringsut menjauh dari ruangan dan mulai menikmati kesendiriannya sambil membiarkan rambutnya yang mulai kusut tersapu angin malam Jalan Thamrin yang sudah sepi. Sambil menyalakan sebatang rokok, Lita mulai melamun.

“Lo gak pulang?” suara berat itu mengagetkan Lita hingga terbatuk

“Uhuk..aduuuh lo ngagetin banget sih Ga! Uhukk uhukkk…” kata Lita sambil mengaduk-aduk tasnya mencari botol air mineral yang selalu dibawanya.

“Hehe sorry,,abis kok calon penganten malah duduk sendirian di emperan toko tengah malem gini..ga bawa motor?” Tanya Gaga, si pemilik suara berat itu.

Lita tersenyum dan menatap Gaga. Pria kurus tinggi dan berkulit putih itu masih nyengir sambil menatapnya. “Gak, gue niatnya emang mau pulang jalan kaki sampe rumah,” kata Lita.

“Gila!”

“Biarin..”

“Ntar hari H nya lo malah capek, trus sakit ta! Ga usah aneh-aneh kali, udah pulang sana, gua temenin nunggu taksi ya..” kata Gaga dengan sok gentleman

“Perhatian bener…hahaha..gak usahlah, udah sana lo pulang. Ga usah gangguin kesendirian gue. ”

……

Suasana hening lagi. Gaga membiarkan Lita menghabiskan rokok mentholnya.

“Lo kenapa sih ta?”…

“Hah? Ehh…ga knapa-knapa kok. Gue Cuma lagi butuh waktu buat sendiri, butuh waktu buat nenangin deg-degan yang udah gangguin gue terus dua minggu belakangan ini,” kata Lita sambil membuang puntung rokoknya.

“Gue temenin ya..gua janji deh, gua gak bakal ganggu kesendirian lo, gua bakal diem aja,” kata Gaga lagi.

“Gue ga butuh temen. Lagian gue kan mau jalan pulang, rumah gue di Kalibata, lo di Matraman kan? ga searah sama gue,” jawab Lita ngeyel.

“Lo jangan berasa ada di kampung ta. Ini Jakarta, terlalu bahaya buat lo jalan sendirian. Lagian, kalo isi kepala penuh itu lo jangan sendirian, kepala gua kosong melompong kok…dua kali isi kepala lo juga masih muat disini,” kata Gaga sambil menunjuk kepalanya.

“Wanna bet?” tantang Lita.

Gaga tak menjawab, malah menyodorkan tangan kanannya untuk dijabat dengan tangan kanan Lita. Mereka berdua tertawa. “Ok then bastard, accompany me!” seru Lita sambil mengangkat pantatnya dari emperan toko dan menepuk bahu Gaga, sebagai ajakan untuk segera berjalan.

…..

Obrolan seru terus berlanjut menemani perjalanan dua orang itu, suara tawa sesekali membahana dari keduanya.

“Ta, minumnya abis nih..mampir warung yuk, sekalian beli rokok,” tawaran yang disambut dengan anggukan Lita.

….

Lita memerhatikan Gaga dari jarak 5 meter, dari tempat nya duduk menunggu Gaga membeli air mineral dan rokok untuknya dan untuk Lita. Laki-laki itu, di mata Lita, cukup aneh. Tak pernah banyak omong, tapi entah kenapa, dia seperti sangat mengenal Lita. Sudah enam bulan terakhir ini Lita mengenal dia. Sebenarnya gak begitu dekat, karena pos liputan yang mereka pegang berbeda. Gaga dan pos ekonomi makro yang membuatnya  lebih banyak meliput di menko perekonomian dan departemen keuangan. Sementara Lita dan pos perbankannya yang membuat dia lebih sering berada di Bank Indonesia serta berbagai macam acara perbankan lainnya.

Hanya kadang-kadang acara liputan mereka bersinggungan. Kalau menkeu ketemu gubernur BI, atau kalau semuanya kumpul untuk melaporkan hasil kerja di DPR, atau kalau tiba-tiba redaktur memerintahkan Gaga untuk liputan doorstop jumatan di BI. Lita, sebenarnya menyukai Gaga dan diamnya, menyukai Gaga dan tulisan-tulisannya, menyukai Gaga dan tingkahnya yang cukup aneh. Bagaimanapun, di mata Lita, Gaga sangat berbeda dengan calon suami yang sudah dipacarinya sejak tiga tahun lalu. Ifan memang sangat berbeda dengan Gaga.

Gaga yang kurus kerempeng, Ifan yang gemuk. Gaga yang dingin, Ifan yang terlalu hangat. Gaga yang bisa membuat tulisan indah sampai Lita terkagum-kagum, Ifan yang tak pandai menulis tapi pandai bicara. Gaga yang sungguh tak mudah dikenali, dan Ifan yang sangat mudah untuk akrab dengan siapapun. Seumur hidupnya, Lita selalu tertarik dengan lelaki seperti Ifan. Badut kelas, pusat perhatian, dan mudah bergaul. Karena Lita tak sepintar itu berteman, maka seringkali ia membutuhkan lelaki banyak omong untuk bantu dia kenalan. Tapi entah kenapa kini Lita jatuh suka pada laki-laki itu. Selama ini, Lita Cuma menganggap itu sebagai godaan jelang nikah…

“Oi..ngelamun! nih minum dulu, ntar kulit lo pecah-pecah lagi dehidrasi..masa penganten kulitnya pecah-pecah,” kata Gaga sambil menepuk bahu Lita.

“Hahahaha…berlebihan lu ah!”

…..

Gaga menatap perempuan berkulit sawo matang itu menenggak separuh botol air mineral dinginnya. “Dasar tomboy,” kata Gaga dalam hati demi melihat cara minum Lita yang berantakan. Air minumnya menetes-netes ke baju dan dilap asal dengan kedua punggung tangan perempuan yang sudah jadi perhatiannya sejak enam bulan silam itu. Gaya seenaknya itulah yang dimata Gaga menarik. Meskipun Lita memang cukup manis. Tinggi badannya yang, Gaga yakin, 160 cm pun tak sampai, kemeja, cardigan atau terusan selalu menemani celana jeansnya yang biru atau hitam, kemudian jadi sangat sinkron dengan sepatu tepleknya dan tas selempangnya. Ditambah kalung-kalung atau gelang-gelang sesekali, tentu membuat Lita jadi cukup berbeda dengan perempuan lainnya.

Wangi Gucci envy me yang selalu menebar dari tubuh Lita, dan ikat rambut warna putihnya yang kini sudah berubah jadi kecoklatan itu, sampai helm orange yang selalu dikenakan saat menaiki motor matic nya yang juga berwarna orange, pun dihapalkan oleh Gaga. Entah bagaimana, Gaga jatuh suka pada perempuan yang usianya terpaut dua tahun dibawahnya itu. Awalnya, Gaga pikir usia Lita 5 tahun dibawah usia 27 nya. Karena gaya Lita yang masih terlihat seperti anak SMA.  Sikap diam Gaga, gaya dingin Gaga, selalu ditunjukkan pada Lita karena dia tak tahu harus bicara apa. Seringkali ia mendengar teman-teman di desk ekonomi membicarakan Lita. Tampaknya tak lewat satu pria pun menyukai perempuan bersuara ngebass itu.

Termasuk dia…

“Lo ngerokok dari kapan sih?” Tanya Gaga sambil menyulut rokok kreteknya

“Dari SMP, hehehe..elo?” sahut Lita sambil menghisap batang pertama rokok barunya

“Sama. Dari SMP juga…niatnya mau berhenti kalo pas mau merit tapi kayanya masih lama..hehe” jawab Gaga

“Kenapa masih lama? Bukannya lo udah punya cewek?” Tanya Lita lagi.

“Iya. Tapi gua sama cewek gua kayanya belom siap deh,” kata Gaga

“Ha? Kenapa? Masih asik kerja yah…”

“Nanya mulu lo kaya wartawan..hahaha”

“Hahahaa..” mereka berdua tertawa.

….

Gaga kemudian memecah kebisuan dan kenikmatan rokok mereka, dengan suara berat khasnya, Gaga mulai bercerita “ Lo bener. Cewek gua masih asik kerja. Dia masih kejar kariernya buat jadi corporate secretary bank tempat dia kerja. Dia juga masih belom pengen nikah katanya. Gua sih sebenernya udah cukup yakin sama dia, tapi dia kayanya belom yakin ama gue. Mungkin karena gue masih wartawan, gaji masih kecil tapi kerjaan kaya bangsat gini..hehehe, ” kata Gaga sambil mengeluarkan blackberry hitamnya dan mulai mengutak atiknya. Tak lama, Gaga menyodorkan blackberry itu ke hadapan Lita, foto seorang perempuan berambut panjang dengan gaya luar biasa modis dan bertolak belakang dengan Lita terlihat disitu.

“Ini cewek gua, ta,,” katanya.

“Cantik bener, kok mau sih sama lo? Hehehehe,” ledek Lita yang tiba-tiba mengalami desiran cemburu di dadanya.

Perempuan putih bersih dalam foto itu jelas cantik. “Hahaha..iya terlalu cantik mungkin buat gua yang biasa-biasa aja ini, jadi kadang-kadang suka bikin minder,” kata Gaga sambil kembali mengutak atik blackberrynya. Tak lama terdengar alunan vokalis weezer memecah keheningan malam yang rasanya Cuma milik mereka berdua.

“Emang pacarannya udah berapa lama Ga?”

“Udah dua tahun, elo pacaran udah berapa lama ta?”

“Tiga tahun. Hehe…lama juga ya? Elo sih udah pernah liat cowok gue kan?” Tanya Lita yang disambut anggukan Gaga.

…..

“Jalan lagi yuk,,” ajak Lita sambil menarik tangan Gaga. Gaga diam dan membuntuti Lita yang tampaknya belum kehabisan semangat.

Dalam diamnya, dan lagu weezer yang masih mengalun, Gaga kembali memerhatikan Lita. Perempuan bawel itu kini bercerita soal cita-citanya untuk S2 di Inggris.

“Bukan berarti gue gak cinta Indonesia siih…tapi apalagi alasan yang bisa bikin gue stay di luar negeri setaun dua taun kalo bukan sekolah? Gue Cuma pengen ngerasain tinggal di luar negeri, biar bisa nambah-nambah pengalaman buat jadi cerita aja. Gue pengen banget jadi penulis…”

Gaga tersenyum mendengar alasan sederhana Lita itu. Tak ada sedikitpun keluhan meluncur dari bibir perempuan itu, padahal keringat sudah di lapnya berkali-kali. Yang ada hanya cerita dan cerita tentang berbagai impian yang masih ingin dikejarnya. Impian-impian yang tak terlalu jauh berbda dengan impiannya. Jadi penulis.

Buat orang-orang seperti mereka itu, bekerja kantoran dan duduk di depan komputer dari jam 9 pagi sampai jam 6 sore merupakan momok tersendiri. Mereka wartawan, orang-orang lapangan. Akan sulit buat mereka terikat dengan jam kerja, tempat yang sama, orang yang sama, selama bertahun-tahun. Jiwa mereka terlalu bebas untuk diikat dengan absen jempol dan pakaian rapi, kemeja celana bahan dan sepatu kulit. Dunia yang hanya dimengerti oleh orang-orang seperti Gaga dan Lita, bukan oleh Disty, pacar Gaga.

Gaga kembali terkagum dan tergugu mendengar cita-cita Lita membuat setidaknya 25 buku, 3 film dan banyak tulisan lepas di berbagai media sebelum dia mati. Betapa dunia wartawan hanya dijadikan sebagai batu loncatan Lita agar bisa menjadi penulis handal dan mengerti banyak bidang untuk memperkaya tulisannya. Bukan mengejar karier hingga sampai ke jenjang pemimpin redaksi. Diam-diam, Gaga adalah pembaca setia blogs Lita yang isinya selalu menarik. Benar-benar perempuan yang pintar bercerita dan pintar menikmati kehidupan.

Saat kaki mereka sampai di depan patung jenderal sudirman, Gaga mulai bertanya, pertanyaan yang ternyata menghentikan cerita Lita.

“Kalo abis merit lo tiba-tiba langsung hamil gimana?”

…..

“Kok diem?” Tanya Gaga lagi.

“Sebenernya itu juga yang jadi pikiran, Ga. Sebenernya gue sangat kepengen punya anak, pengen ngebesarin anak, pengen tau rasanya jadi ibu. Tapi gue juga masih pengen kejar cita-cita. Gue takut ga bisa maksimal urus anak kalo gue fokus sama cita-cita, tapi gue juga takut ga bisa kejar cita-cita kalo sibuk urus anak. Makanya, sebenernya, tadinya gue gak pernah mencantumkan merit dalam rencana hidup gue. Tapi gue pengen banget punya anak…”

“Lah? Jadi alasan lo merit Cuma karena pengen punya anak?” kata Gaga keheranan, sambil membenarkan letak ranselnya agar pas di punggungnya yang sudah mulai terasa pegal.

“Hehehe…ya gak jugaaaa…ah gak tau deh Ga, gak sih..gue juga sih sebenernya gak nyangka kalo gue akan merit secepat ini. Tadinya gue ga pengen merit sama sekali, gue mikirnya, tadinya gue mau living single dan ngangkat anak aja. Tapi sounds too foolish feminism, huh? Hehehe…lagian kepengenan gue itu akhirnya terbantah begitu gue ketemu cowok gue sekarang. Ga banyak kan orang yang bisa ngertiin cewek gila kaya gue? ”

Gaga senyum.

….

“Gue suka banget lagu ini,” kata Lita saat mendengar lagu burnt jamb dari blackberry Gaga.

“ Hahaha…gua juga!” kata Gaga sambil memperbesar volume mp3 nya.

“Gue pernah desperately wanna be a musician, Ga,,sampe berantem sama bokap karena pengen ambil kuliah music di IKJ. Tapi kalah..hehehe” kata Lita, sambil menenggak lagi air mineralnya.

“Ohya?”

Lita mengangguk.

“Gua juga suka banget musik, tapi gak segitunya sampe pengen ambil kuliah musik sih..”

“Buat gue waktu itu, kuliah itu isinya cuma bullshit. Kuliah ekonomi, kuliah di komunikasi, apalagi kuliah di politik. Mahasiswa sok demo, padahal ntarnya pas kenyang sama duit ya ilanglah semua idealismenya. Isi kuliahnya juga cuma teori, kayak akhirnya dia bakalan ngelakuin sesuatu aja buat rakyat..hehehe”

Gaga mengangguk dalam diam. “Tapi Ta, kalo lo kuliah musik,ujungnya kan lo bakalan terjun ke industri musik. Trus pertama, lo bakalan keilangan idealisme lo juga sama musik dan bikin lagu-lagu jualan yang bisa kasih lo makan. Kedua, lo pada akhirnya bakalan lupa sama cita-cita lo jadi penulis dong,” kata Gaga sambil mengamit lengan kiri Lita, mengajaknya menyeberang. Sebenarnya jalanan sudah kosong dan tak perlu takut akan mobil yang berseliweran. Namun dalam hati Gaga mengatakan, ini sebuah kesempatan, kesempatan kecil untuk mengamit lengan wanita yang membuat debar dadanya semakin kencang tiap hari.

Usai menyebrang, Lita sempat melirik blackberry Gaga yang menyala dan tulisan 01.30 am terlihat di layarnya. “Iya Ga, kan gue bilang dulu. Sebelum masuk kuliah. Dan gue juga tadinya yakin kalo musik itu satu-satunya jawaban gue gak bakalan terlibat semua intrik atau jadi mahasiswa munafik. Sampe akhirnya gue sadar, semua itu emang tergantung orangnya. Yah udahlah, lagian kan gue juga bukan anak ekonomi, komunikasi atau  politik,” kata Lita sambil tertawa. Matanya menyipit, dan jantung Gaga berhenti sejenak. Ada suara yang seolah memerintahkannya untuk …

“ Duduk dulu Ta, sebentar. Udah dua jam nih jalan,” kata Gaga saat menemukan emperan trotoar di depan sebuah perkantoran yang sudah gelap. Lita mengangguk dan duduk, kemudian menyenderkan punggungnya ke bahu Gaga. Mata gaga menjelajah sekitar. Ada hasrat hatinya memeluk dan mencium Lita.

“Ga, kok lo masih wangi aja sih?” Tanya Lita sambil terkekeh. Gaga memejamkan mata dan mengusir pikiran joroknya kemudian ikut terkekeh.

“Yoi doooong..kan gua calon model,”

“Hahaha…model susu yang bikin six pack yah? Tapi model before-nya, bukan after-nya,”

Gaga mengacak-acak rambut Lita. Mereka tertawa.

“Rumah gue masih jauh loh, Ga. Lo yakin masih mau jalan nemenin gue?” Tanya Lita sambil menyalakan rokoknya.

“He-eh, gak masalah, kan gua jalannya dibantu angin,” sahut Gaga melempar bahan celaan, dan mencomot sebatang rokok milik Lita.

“Heh! Maling!” kata Lita bercanda sambil menepak tangan Gaga

Keduanya terdiam dan menikmati hisapan rokok. “Gue deg-degan Ga. Gue takut merit.”

“Trus kenapa dua hari lo merit? Kalo elo takut ya harusnya lo kaya gua, masih belom jelas gini nasibnya,” sahut Gaga sambil menatap kedua mata Lita.

“Hehehe..iya sih. Abis kemarin kayanya seru aja. Pacaran tiga tahun udah kelamaan Ga.  Gue bosen. Lagian gue mau cari apaan lagi coba? Secara personality, pacar gue udah oke banget, udah gitu kita sama-sama udah kerja. Dia udah punya rumah, dan secara mental udah siap juga. Lagian kalo pacaran terus mau ngapain lagi coba? Tinggal bareng ga bisa, punya anak ga bisa, masa mau makan, nonton, jalan-jalan terus ampe mati?”

“Sekali lagi   gua Tanya nih, emang alesan lo merit Cuma anak?”

“Hehehe..ya gak sih, tapi itu big point nya someday. Gue juga pengen punya temen sampe mati. Kan nantinya semua temen gue pasti sibuk sama urusannya sendiri, berkeluarga, punya anak, punya cucu trus mati dan gak sendirian.”

Lita meneguk air botolannya. Gaga menunggu Lita usai bercerita.

“Sebenernya gue itu pengen jadi peter pan Ga,”

“Ariel?” Gaga memotong Lita, sambil terkekeh dan melempar rokoknya ke jalan.

Mata Lita terpaku pada rokok Gaga yang sekarang terkapar sendirian di jalan raya, terdiam sampai asapnya menghilang terbawa angin malam, sambil nyengir. “Sialan. Ya bukan lah yaa…peterpan beneran. Yang ga pernah mau tumbuh dewasa. Yang bisa terbang karena selalu punya happy thoughts. Yang tingal di neverland dan bebas menjalani hidup anak-anaknya. Soalnya kehidupan dewasa, yang terbebani dengan hal-hal kayak harus kerja, cari duit buat keluarga, ato kalo gue, ya ngurusin anak, ngurusin suami, blabla..gak banget deh,” kata Lita sambil memainkan batang kedua rokoknya.

“Tapi kan ceritanya gak selesai sampe situ, Ta..ada lanjutannya, Hook” kata Gaga sambil memijat-mijat kakinya yang mulai terasa pegal.

“Nahhh…itu diaa! Disitu deh yang bikin gue sadar. Berkeluarga, menjalani kehidupan orang dewasa ya bukan berarti gue ga bisa nemuin happy thoughts. Buktinya di cerita itu kan si peter ngebayangin anaknya sebagai happy thoughts dia. Jadi, mungkin beban akan tambah berat, tapi pasti ada kebahagiaannya sendiri..” Lita menghisap rokoknya.

“Daripada gue berakhir dengan tua, mati dan sendirian kaya Captain Hook…mendingan gue jalanin aja takdir untuk tambah dewasa. Gue kan ga bisa lari terus dari kenyataan,”

Gaga terdiam. Dadanya tertohok. “Dalem banget sih lo nanggepin felem anak-anak,”

“Hahaha…masa kanak-kanak gue emang ga pernah tuntas Ga,”

Mereka tertawa.

“Lo bener ya Ta. Mau sampe kapan lari terus dari kenyataan? Tuh elo sendiri udah nemuin jawabannya. Harusnya elo udah ga takut merit..”

Lita mengangguk dan membuang puntung rokoknya ke jalanan, jatuh di samping puntung rokok Gaga yang sendirian.

Dalam diam, Gaga berdiri dan mengulurkan tangannya ke Lita. “Jalan lagi yuk, udah jam dua, biar lo cepet sampe rumah,”

Lita menyambut uluran tangan itu dan menyejajari langkah Gaga yang panjang.

“Gua jadi pengen nikah deh..”

Lita senyum. “Kayanya gue udah cocok ya bikin acara golden ways kaya Mario Teguh, menginspirasi!”

Gaga mencibir.

Lita tertawa.

“Tapi sama lo,” Gaga menyambung omongan sebelumnya, usai derai tawa Lita.

Lita berhenti berjalan dan menatap Gaga.

Gaga balas menatap Lita dengan masygul.

“Gua suka ta, sama lo. Suka banget. Dari pertama ngeliat, betapa seenaknya elo. Betapa gebleknya kelakukan lo, betapa bagusnya tulisan-tulisan lo yang menganalisis hal besar yang dimulai dari hal remeh temeh. Tiap hari gua kangen denger suara ketawa lo. Dan lo harus tau, betapa patahnya hati gua denger lo mau merit.”

“Tapi,”

“Ya ga ada tapi-tapian. Ya lo mau merit, merit aja. Gak usah juga jadi mikirin gua. Toh gua juga udah punya pacar. Gapapa. Gua Cuma kepingin elo tau aja yang selama ini gua simpen sendirian. “

Lita termangu dan mulai berjalan lagi. Kali ini dalam hening. Sesekali suara motor dan mobil melintas, bercampur bagai music tanpa lirik dengan suara pepohonan yang terterpa angin. “Bener ya kata cowok gue…”

“Apaan?”

Lita menarik tangan Gaga dan menggenggamnya sambil terus berjalan. “Kalo elo suka sama orang, dan lo amatin tu orang, trus lo yakinin dalam hati. Tu orang pasti sebenernya suka juga sama lo.”

Gaga mengerutkan kening, hingga kedua alisnya bertemu.

“Gue juga suka Ga, sama lo. Sama. Dari pertama ketemu. Elo dan gaya lo, elo dan suara lo yang jarang keluar. Elo dan mata lo yang suka banget menyorot ke mata orang lain. Damn,” Lita tertawa.

Gaga tertawa. “Gila! Masa sih? Hahaha..baguslah berarti gua ga bertepuk sebelah tangan kan,”

“Sialan,,” sahut Lita sambil menonjok lembut lengan Gaga.

Gaga merangkul pundak lita dan mencium rambutnya yang kini berbau debu khas jalanan.

“Gue suka warna orange, Ga”

Gaga menatap Lita yang tiba-tiba menunjuk mukanya. Ia tersenyum dan menyadari bahwa ini adalah sebuah permainan.

“Gua suka warna item,”

“Gue suka air putih,”

“Gua suka Lemon tea,”

“Gue suka Rhoma Irama,”

“Ih gua gak suka dangdut,”

“ Hahaha…Gue suka makanan Indonesia,”

“Ah gak seru, Gua lebih suka makanan Praktisnya Amrik,”

“Dasar Kapitalis! Gue gak doyan duren,”

“Bego! Duren tuh enak banget. Gue bisa ngabisin 10 sekali makan,”

“ Pasati sama kulit-kulitnya! Hehehe..Gue suka banget pete,”

“Enakan jengkol tau. Apalagi keripiknya,”

“Ih najis..,” seru Lita sambil tertawa-tawa.

Permainan itu terus berlanjut. Lita dan Gaga terus mengemukakan hal-hal tentang dirinya dalam satu kalimat sampai Lita mengamit lengan Gaga untuk menyeberang. Kompleks rumahnya sudah di depan mata.

“Gue gak bisa sarapan nasi,”

“ Yaaah…Gua juga sih kalo itu,” kata Gaga sambil mengepalkan tangan ke udara.

“Hahahaha gila ya dari segitu banyak, kita Cuma punya satu persamaan..”

Gaga tertawa. Lita berhenti berjalan di depan sebuah gapura perumahan. Jalanan masih gelap dan kosong.  “Udah Ga, tu rumah gue udah deket. Gue gak mau lo anterin gue sampe depan rumah. Ni udah jam setengah lima, sebentar lagi bokap gue berangkat ke masjid. Bisa habis gue dimaki-maki pulang berdua sama cowo lain jam segini…lagian gue juga gak mau tetangga-tetangga   liat…”

“Liat lo jalan sama gua?”

“Bukan…liat gue cium lo..” kata Lita dan mencium lembut bibir Gaga. Gaga terhenyak. Dan diam.

“ Hehehe..biasa dooong…gue Lita kok bukan Angelina jolie, meskipun miriiiip..”

Gaga tersenyum dan memeletkan lidahnya. “Mau lagi dong,”

“Hahaha enak aja! Segitu aja jatah lo. Minta lagi, bayar!!”

Mereka tertawa. “Makasih ya Ta, mainan lo tadi mungkin bisa jadi tolak ukur, kalo kita gak cocok”

“Hehehe..actually gue sama cowok gue juga main begituan tiga tahun ga pernah sama kok. Cocok kan bukan berarti semuanya sama. Itu tadi biar kita gak aneh aja.” Huff…Lita menarik nafas panjang dan menghembuskannya.

“So this is it, Ta? Dua hari lagi lo jadi punya orang dan gue bakal kasih lo selamat. Hehe..lucky him. “

“Yah nanti lo juga dateng sama cewek lo dan gue bakal bilang dalam hati, Lucky her”

Gaga memeluk Lita erat. Ada getar kaca di mata Lita. Ada getar bara di dada Gaga.

“Tidur yang enak yah ta…” kata Gaga sambil melepas pelukannya.

Lita mengangguk. “Makasih ya Ga, udah nemenin gue, udah jujur sama gue. Elo hati-hati ya pulangnya, jam segini masih banyak taksi kok..tapi taksi yang buat angkut pecun pulang. Hehehe “

Gaga terkekeh dan mengangguk. Mata mereka bertemu dan saling menatap. Lama dan dalam. Sampai akhirnya Lita melambaikan tangan dan membalik badannya lalu berjalan memasuki kompleknya. Gaga terdiam menatap punggung perempuan yang sukses mengacak-acak isi kepalanya itu. Gaga mengacak-acak rambutnya dan berbalik ke arah jalan raya.

Pulang..

Oia, dulu bikinnya abis nonton felem GALAU kelas dewa ini…. hahahaha…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s