“People, what is going on out there? I look down this table, all I see are white flags. Our numbers are down all across the board. Teen smoking, our bread and butter, is falling like a shit from heaven! We don’t sell Tic Tacs for Christ’s sake. We sell cigarettes. And they’re cool and available and *addictive*. The job is almost done for us! ” –Thank you for smoking (2005)
Kemarin saya buka link di kompas.com ini,
Lalu membacanya dengan serius. Kemudian nonton videonya. Dan meringis. Heu..
Rokok. Sebel loh sebenernya ngebahas hal ini. Karena, saya setuju, boleh lah para perokok bilang bahwa merokok itu hak asasi mereka. Tapi rasanya non perokok juga berhak membela hak asasi nya, yakni menikmati udara yang bebas dari asap rokok.
Saking ekstrim nya saya sering denger “Kalo para perokok mau merokok, jangan keluarin asapnya, telen aja sendiri jadi gak bikin orang lain batuk” hehehe..
Ya sebenernya sih gampang aja ya, kalo emang doyan nye moke, ya ngerokok nya jangan di public area. Dirumah, atau dikamar sendiri gitu, misalnya. Jadi enggak ngerugiin siapa2, kecuali diri sendiri. Apalagi sekarang kan aturannya di Jakarta, udah enggak boleh lagi nyediain smoking room.
Well, soal rokok ini, saya punya cerita sendiri yang lumayan ‘pilu’. Hehehe..berawal dari rasa heran saya sama ruang wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta. Sebenarnya enggak ada yang aneh dengan hobi merokok teman2 wartawan. Tapi, press room di ISTANA PRESIDEN memperbolehkan orang2 merokok di dalam ruangan AC, menurut saya, tetep ANEH. Padahal, di pos sebelumnya, Istana Wakil Presiden, tidak ada teman2 wartawan yang merokok dalam ruangan. Semua yang mau merokok, pasti keluar.
“Di istana kan emang begini aturannya min, yang ngerokok harus masuk kedalam, karena kalo merokok diluar ruangan dan kelihatan sama paspampres, pasti ditegur. Tujuannya mungkin, jangan sampai keliatan sama pak SBY, dia gak suka ngeliat orang ngerokok, dan gak suka cium asap rokok,” kata seorang kawan yang juga merokok. “Jadi, kalo mau merokok ya opsinya di dalem, atau jalan agak jauh ke warung belakang,” tambah dia. Hmm.. ternyata ada opsi.
Beberapa bulan saya ngepos di istana, saya makin tersiksa. Jadi ya, rasanya harus mengetik puluhan berita di tengah ‘ngelekep’ nya udara penuh asap rokok itu sangatlah bikin pusing. Saya harus berpikir keras untuk mengolah berita dengan bahan sebanyak itu, tapi juga susah banget konsentrasi karena gak dapet udara bersih. Saya liat temen2 yang gak merokok juga ngerasain yang saya rasain.
Akhirnya, kita ngalah dan melipir buat mengetik diluar. Duduk di emperan depan ruangan wartawan, memangku laptop. Sayang disayang nih, kalo ‘ngemper’ diluar itu ternyata cukup sulit juga buat berkonsentrasi. Karena, udara panas bikin keringetan. Lalu, posisi duduk dibawah bikin kita sering kesemutan, jadi susah nyari posisi enak. Yang paling fatal, diluar itu enggak ada ‘colokan’ listrik, means saat batere abis, ya mau gamau masuk lagi. Gengges ya?
Lama2 saya kesel. Temen2 kesel. Kalo dulu jaman di ekonomi, pressroom yang boleh ngerokok adalah di kementerian keuangan, tapi disana ada ruang tunggu yang ada sofanya, adem dan ada colokan. Jadi enggak masalah. Di DPR juga boleh ngerokok, tapi opsi buat ngetik banyak banget, karena gedung DPR kan gede, dan semuanya ber AC juga dilengkapi colokan. Jadi gak masalah. Tapi di istana, no no, gak ada opsi buat orang2 yang tidak merokok, dan terganggu dengan asap rokok.
Kekesalan itu dimulai dengan protes tertulis di mailing list para pewarta istana. Disitu, seorang kawan mulai menuturkan protesnya, dan ditanggapi oleh teman2 yang tidak merokok lainnya. Tetapi teman2 perokok gak ada yang ngasih jawaban. Teguran langsung juga pernah saya utarakan, tapi jawaban yang datang selalu malah bikin tambah kesel.
Saya: Lo jangan ngerokok disini dong, kan sumpek!
Dia: Iya gue geser. Tempat ngerokok kan emang disitu, bukan disini. *kemudian melipir kesisi lain ruangan, dan ngerokok disana*
Twawawww…ya sama aja-lah duduuul!! ATAU
Saya: Lo jangan ngerokok didalam ruangan AC kek, kan sumpek, gue gak bisa mikir
Dia: Gue juga gak bisa mikir kalo enggak ngerokok!
DISKUSI MENTOK!
Saya mulai gak tenang. Saya ngerasa ada yang salah disini, dan gak bisa dibiarin. Saya sih sebenernya bukan tipikal rese yang seneng nyampurin urusan orang dan rewel diulang-ulang. Tapi, buat saya, ini keterlaluan. Karena para perokok itu sudah dewasa, sudah bukan ABG yang memang susah dibilangin. Orang dewasa, IMHO, biasanya kan udah sadar sendiri kalo mereka bikin sebagian orang tidak tenang.
Misalnya mereka bisa aja melakukan tanggapan akan protes di milis, kemudian kita berdiskusi baik2 tentang hal ini, biar sama2 enak. Atau mengalah-lah, para perokok kan punya opsi dengan merokok di warung belakang. Sementara yang tidak merokok, tidak punya opsi. Contohnya di pressroom istana wapres, teman2 tidak perlu ditegur agar tidak merokok di tempat yang tidak proper, sudah sadar sendiri. Bahkan kalo kita lagi makan di kantin belakang wapres yang terbuka, teman2 perokok tidak menyalakan rokoknya sebelum orang2 yang tidak merokok menyingkir.
Akhrirnya merasa mentok, para non perokok sering melarikan diri ke sabang buat mengetik berita. Tapi resikonya, berita sampai ke kantor terlambat, karena harus menempuh macet dan resiko kehabisan meja. Dengan mengetik berita di KTO atau Sabang 16, means kita juga harus keluar uang, dan menumpuk berita2 itu di akhir. Padahal, online membutuhkan pasokan berita cepat. Jadi, ujung2nya tetap aja, Ngemper. Heuh..
Akhirnya kekesalan saya itu berujung pada artikel ini.
Hmm.. ini biar saya masukin artikel lengkapnya, karena di Republika online ini nampaknya harus berlangganan. Hehe..
Kepulan Asap Rokok di `Bioskop’ Istana Kepresidenan |
Oleh Yasmina Hasni |
10 Maret 2011.
Presiden Susilo Bambang Yudho yono tidak senang dengan rokok, ia juga tidak merokok. Karena nya, kompleks Istana Kepresidenan harus bebas dari asap rokok. Demi kian yang sering digemborkan. Hal itu bahkan juga disampaikan kepada wartawan saat arahan tentang “kode etik” peliputan di kompleks Istana Kepresidenan, sebelum kartu tanda pengenal peliput istana dibagikan.
Benarkah demikian? Benarkan seluruh ruangan di kompleks Istana Ke presidenan bebas asap rokok? Tidak.
Faktanya, ruang yang biasa di gunakan wartawan istana untuk bekerja, tidak pernah absen dari rasa ‘sumpek’ hasil dari kepulan asap rokok para wartawan. Sepertinya, aturan dilarang merokok dalam kompleks Istana Kepresi denan tak berlaku di ruangan yang luasnya sekitar 100 meter persegi yang biasa disebut ‘bioskop’ tersebut. Padahal, ruangan itu dilengkapi dengan pendingin ruangan, yang membuat asap rokok seolah wajib dihirup oleh siapa pun yang berada di dalam ruangan.
Wartawan yang tidak ingin terpapar asap rokok, harus menyingkir dan duduk di emperan untuk melakukan pe kerjaannya di luar ruangan. Bekerja di luar ruangan khusus wartawan, mengakibatkan kendala seperti tidak bisa mengetik di meja, tidak bisa men-charge baterai telepon selular, atau laptop yang digunakan untuk menulis berita. Kendala itu memaksa beberapa jurnalis bekerja di dalam ruangan yang terselimuti asap rokok itu.
Ironisnya, memaksakan berada di dalam ruang an, pernah mengakibatkan masalah kesehatan serius salah seorang pe warta. Ia adalah Camelia Pasandaran, wartawan sebuah media swasta berbahasa Inggris. “Tanggal 5 Januari 2011 lalu, saya yang biasanya di luar ‘bioskop’ memutuskan untuk di dalam karena baterai netbook habis dan harus di-charge di dalam. Tengah malam sepulang dari istana, saya sesak napas dan sakit di dada luar biasa,” katanya.
Pemeriksaan dokter terhadap Ca elia menghasilkan diagnosis kalau dia menderita ‘hyper acidity’. Dalam bahasa awam, ‘hyper acidity’ adalah asam lambung yang terlalu banyak hingga naik ke dada menekan paru-paru dan jantung. “Dia (dokter) menanyakan apakah saya merokok. Saya jawab tidak. Lalu dia bertanya, apakah saya perokok pasif. Dan saya teringat seharian ada di ‘bioskop’,” ujar Camelia.
Wartawan yang tidak merokok, memang seolah tidak punya pilihan.
Alasannya, tidak ada tempat lain yang disediakan oleh Biro Pers Istana untuk bekerja. Kecuali, saat acara masih berlangsung, yang masih memperbo leh kan para wartawan bekerja di ruangan bawah kantor Presiden. Di ru angan tempat Presiden menerima tamu, maupun melakukan sidang kabinet tersebut, suasana jauh lebih bersahabat, karena disediakan ruang merokok yang terpisah.
Sebenarnya, sejak awal, para wartawan sudah diperingatkan oleh Kolonel Eko Margiono, komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden (Pas pampres), saat memberikan arahan peliputan. Menurut Eko, semua yang masuk ke kompleks Istana dilarang keras merokok di sembarang tempat.
Bahkan, ia juga menjelaskan, sejumlah ruangan khusus merokok telah disediakan. Sebab, “Kalau masuk ke suatu tempat dan tercium bau rokok, Bapak Presiden tidak senang.” Sebenarnya, para wartawan yang merokok mengakui bahwa mereka cukup enggan merokok di dalam ru angan wartawan. Namun, jika mereka membakar lintingan tembakau di luar ruangan, risikonya adalah kena ‘semprot’ Paspampres. “Seharusnya me mang ada ruangan khusus merokok di dalam ‘bioskop’,” kata salah seorang wartawan yang juga perokok.
Menjawab persoalan ini, Kepala Biro Pers dan Media Rumah Tangga Kepresi denan DJ Nachrowi mengakui selama ini dia belum mengatur soal pembatasan kawasan merokok di lingkup sekitar ruang wartawan. Menurut Nachrowi, belum tersedianya ruang merokok untuk war tawan, karena pihaknya kesulitan mencari tempat khusus merokok. “Kan area nya terbatas,” ujarnya.
Aneh jika mengingat bahwa kini su dah banyak aturan dikeluarkan terkait pembatasan kawasan merokok. Di wilayah DKI Jakarta, ada Pergub Nomor 88 tentang Kawasan Dilarang Merokok, yang merupakan perubahan atas Per aturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005. Dalam peratur an ini, ruang khu sus merokok di da lam gedung dihapus kan dan kegiatan mero kok harus dilakukan di luar gedung.
Selain itu, ada juga Peraturan Ber sama Menkes dan Mendagri No.188. Menkes/PB/I/2011 dan Nomor 7 Ta hun 2011 tentang Pedoman Pelak sa naan Kawasan Tanpa Rokok. Menkes Endang Rahayu Sedya ningsih pernah berharap agar dikembangkan kawasan tanpa rokok (KTR) di wilayah kerja masing-masing. Maka, bagaimana mungkin, kompleks Istana Kepresidenan, lokasi yang pengamanannya paling ketat di setiap lini, lokasi yang tidak bebas dimasuki sembarang orang ini, membiarkan salah satu ruangannya tetap terpapar asap rokok? ■ ed: andri saubani
Di hari saat artikel saya itu terbit, saya datang terlambat ke istana. Begitu nyampe, saya disambut dengan tatapan tajam penuh kebencian oleh sebagian orang di bioskop, dan ucapan terima kasih serta jabat tangan erat oleh sebagian lagi. Oops, ternyata tulisan saya di copy sampe ber lembar-lembar oleh biro pers istana dan ditempel di seluruh tembok bioskop lengkap dengan tempelan “DILARANG MEROKOK DALAM RUANGAN”. Hehehe…ya meneketehe…
Selain itu, gak lama tulisan saya itu juga di posting oleh seorang teman di milis, daaaannn…membuat rekor ratusan thread yang isinya debat dari pagi sampe pagi lagi. Intinya, para perokok kaget dan menganggap saya-si anak baru yang sotoy ini- lancang dan minta ditendang. Hehe..untungnya teman2 lainnya banyak juga yang mendukung saya. Debat itu, sebenarnya, saya tunggu agar terjadi di dunia nyata. Saya menunggu para perokok itu datang dan memaki saya, di dunia nyata, bukan di milis. Karena saya sudah punya penjelasan dan saya yakin saya melakukan tindakan yang benar.
Nyatanya enggak pernah ada yang ngomong langsung sama saya. Heu, mereka Cuma marah2 di milis, dan kemudian diam. Menurut saya, berarti para perokok sebenarnya mengakui kan bahwa tindakan yang dilakukannya memang salah dan merugikan. Kalo menurut mereka itu benar, ya kenapa harus berhenti merokok di ruangan itu? saya kan Cuma nulis, biro pers Cuma nempel. Enggak ada ancaman, enggak ada sanksi. Kalo merasa benar, pertahankan dong kebenaran yang diyakininya. Seperti saya mempertahankan kebenaran yang saya yakini.
Sayangnya, enggak lama setelah kejadian itu saya hamil, ditarik ke kantor, dan saya mengundurkan diri jadi wartawan. Jadi, saya enggak sempet lama ngerasain pressroom bebas asap rokok itu. damn. Hehehe..tapi gak papa, kemarin seorang teman nge twit, dan bilang bahwa sampe sekarang bioskop masih bebas rokok. Alhamdulillah. Kabar yang menyenangkan.
Saya, dimanapun, tidak pernah menulis atau berkomentar agar anda, kamu, siapapun, berhenti merokok. Itu urusan jij sama Tuhan, dan kesehatan jij sendiri. Tapi, jangan merugikan siapa-siapa.
“Robin Williger. He is a 15 year old freshman from Racine, Wisconsin. He enjoys studying history; he’s on the debate team. Robin’s future looked very, very bright. But recently he was diagnosed with cancer, a very tough kind of cancer. Robin tells me he has quit smoking, though, and he no longer thinks that cigarettes are “cool.” “—Thank You For Smoking (2005)