Tahun lalu, saya dapat order kantor untuk nongkrong di bandara Halim Perdanakusumah, tepat jam 05.00 pagi. Tujuannya, untuk jadi saksi datangnya jenazah almarhumah Ainun Habibie, dari Jerman.
Waktu dapat order itu, saya kaget. Bukan Cuma karena mendadak harus ada di bandara itu pagi buta, tapi juga karena, berarti saya harus menyaksikan sendiri wajah pak Habibie yang dirundung kesedihan, selepas istrinya yang tercinta itu meninggal…
Duh, ga tahan deh pasti.
Yak, dan benar, saya enggak tahan. Saya berdiri di situ, di bandara, dan menyaksikan sejak awal pesawat Garuda Indonesia itu belum hadir sampai akhirnya mendarat. Tepat di depan hidung saya. Saya lihat, wajah Bacharuddin Jusuf Habibie, manusia yang ukuran tubuhnya ekstra small itu, berusaha tersenyum dan melambai kepada semua penjemput, dari pintu pesawat. Perlahan, dengan langkah kaki mungil dan gontainya, ia seperti melayang menuruni anak demi anak tangga berkarpet merah itu.
Sampai dibawah, ia menyalami satu demi satu penjemputnya. Beberapa dipeluknya erat, dengan pipi yang masih bergetar. Saat akhirnya mobil jenazah menghampiri dan menjemput peti jenazah ibu Ainun dari dalam pesawat, mata Habibie tertumbuk dan tak bergerak lagi dari mobil jenazah. Ia kemudian mengambil langkah seribu dan ikut merapikan peti tersebut kemudian masuk ke dalam mobil.
Matanya masih berkaca-kaca, dan bibirnya masih bergetar. Tatapannya terus menunduk ke arah peti coklat. Ia nampak selesai dengan dunia…
Perjalanan saya menemani Habibie, hari itu, belum usai. Siangnya, saat matahari sedang bersinar terik tepat diatas kepala, saya sudah berjemur lagi di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Menyaksikan (lagi) profesor pembuat pesawat itu terhuyung-huyung, nyaris menjatuhkan tubuhnya agar ikut masuk ke dalam liang kubur wanita kecintaannya.
Pedih.
Meskipun sebenarnya, saya merasa cukup beruntung karena penugasan liputan menemani pak Habibie setengah hari-an itu. Kenapa? Karena sejak kecil, saya mengidolakan Dr.-Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie. Hehehe…jadi malu.
Entah, tapi dimata saya, Habibie adalah sosok yang cerdas, sedikit gila, dan komunikatif. Waktu kecil, saya sering melihat dia di televisi. Entah sebagai menristek, wakil presiden, maupun sebagai presiden seumur jagung saat menggantikan Soeharto yang lengser. Saya melihat ekspresinya yang (terlalu) banyak, sinar matanya yang berbinar, dan suaranya yang meledak-ledak. Itu syarat yang cukup untuk anak kecil seperti saya, dalam menemukan idolanya. Apalagi, mengingat, presidennya yang kejawen, dan membosankan selama bertahun-tahun.
Bener kata Jaya Suprana, Habibie itu memang kecil, tapi otak semua.
Beranjak dewasa, saya tahu, gak ada manusia yang lepas dari cacatnya. Saya tahu, banyak kesalahan yang Habibie lakukan. Atau, mungkin sebuah kebijakan yang tidak populer di mata rakyat. Entah hal itu salah atau benar…
Salah satu kesalahan yang dinilai terbesar, adalah melepas Timor Timur pada Agustus 1999. Habibie, memperbolehkan diadakannya referendum Provinsi Timor Tomur, dengan mengadakan jajak pendapat di warga Timtim untuk memilih merdeka atau tetapmenjadi bagian dari Indonesia. Hal ini, rasanya memang disesali banyak lapisan masyarakat. Kebjakan itu jadi boomerang buat dia, dan laporan pertanggungjawabannya kemudian ditolak MPR.
Kesalahan lain yang dialamatkan kepada Kakek kelahiran Pare Pare ini, adalah, pembangunan IPTN yang memakai uang dana reboisasi dari departemen kehutanan yang sampai sekarang tidak ada pertanggung jawabannya. Hal itu dilakukan Soeharto, sebagai persetujuan usulan Habibie, karena kedekatan mereka berdua sejak kecil.
Kata-kata ‘nyelekit’ yang kerap keluar dari mulut Habibie juga seringkali menuai protes. Misalnya dalam kasus omongan Habibie yang merendahkan para petani Indonesia. Ia bilang, hasil pertanian di Indonesia tidak memberikan harapan yang bagus, dan sebaiknya beralih agar hidup dari perindustrian seperti Jerman.
Apapun itu, dimata saya, dia tetap manusia unggul. Mungkin dia tidak jujur, tidak lepas dari berbagai kesalahan, tapi dia punya integritas. Rasanya, saya enggak boleh lupa bahwa Habibie mewarisi kondisi kacau balau pasca Soeharto lengser keprabon. Akhirnya, Habibie harus bersih-bersih.
Sampai sekarang, Habibie tetap idola saya. Salut dan kagum saya tetap buat dia. Si mantan presiden tukang ngobrol, yang gemar memerhatikan detail, dan tidak melupakan memori. Orang yang menghabiskan masa hidupnya dengan membaca dan belajar. Manusia dengan cara berpikir out of the box, yang meski tidak selalu mudah diterima banyak orang, namun bisa membuat banyak terobosan.
Keinginannya untuk meningkatkan nilai tambah rakyat dan negara Indonesia, adalah cita-cita yang sangat oke. Dari dulu, value added, adalah kalimat favoritnya. Hal itu juga masih diucapkannya sampe kemarin, pas berpidato di hari pancasila, 1 Juni 2011. Pidato berapi-api yang laksana pemandangan indah, menggantikan sosok kejawen presiden SBY yang cara pidatonya selalu sukses menewaskan saya, karena ngantuk.
Semua alasan itu ahirnya yang membuat saya yakiiiin banget. Saya akan menamakan anak sulung saya dengan namanya. Habibi.
Semoga, suatu hari nanti, putra pertama saya ini bisa melakukan sesuatu agar rakyat Indonesia enggak perlu lagi ‘membeli jam kerja’ bangsa lain. Semoga, si Habibi yang akan saya lahirkan ini, bisa melakukan sesuatu untuk menghapuskan penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, VOC dengan baju baru, yang sekarang menjajah kedua orangtuanya…