Saat memutuskan buat menikah, saya sadar betul bahwa kedepannya saya akan dihadapkan pada berbagai hal yang harus dicari, dipilih, kemudian dijalani. Kadang gampang, kadang ribet.
Kalo di kehidupan saya, waktu memutuskan akan menikah, sejak lamaran sampai hari H pernikahan, saya dan poento kerjanya memang mencari, menilai, kemudian memilih dan berkomitmen. Dimulai dari mencari dekor, catering, dll. Setelah menikah, akhirnya mencari kontrakan, lalu mencari rumah, kemudian mencari mobil, terus mencari pembantu, mencari desain rumah dan perentilannya, memilih liburan dan perentilannya sampai mencari barang2 bayi, plus memilih nama bayi. Itu yang besar-besar ya, belum yang kecil2 dan terjadi dalam keseharian.
No wonder, nabi berpesan untuk shalat istiqarah setiap hari sehabis dhuha. Hahaha…karena emang hidup itu isinya pencarian dan pengambilan keputusan untuk memilih hal yang dirasa paling tepat. Salah, ya kadang2. Kalau sudah begitu berusaha ikhlas, kalau masih bisa diubah ya diubah, kalo sulit, ya udah…hehehe
Untuk itulah, saya rasa, kata ‘komitmen’ diperlukan.
Esensinya sama seperti membuat keputusan terbesar dalam kehidupan, yakni menikah. Saat akhirnya hati memilih, kepala memutuskan, untuk menjatuhkan keyakinan menikah dengan orang itu, maka selanjutnya, cuma komitmen. Karena bukan gak mungkin, ada pertengkaran hebat terjadi di usia 6 bulan pernikahan. Dan pada saat itu terbersit rasa, ‘memilih orang yang salah’. Ya kan?? Hahaha…
Buat mengatasi hal-hal yang perentil tapi bisa menggoyahkan iman itu, banyak nasihat yang masuk sebelum saya menikah. Tapi yang saya rasa paling rasional adalah: komunikasi dan demokrasi. Let’s say, saya dan Poento menganggap pernikahan kami adalah bentuk pemerintahan, dan rumah plus barang2 kami adalah negara kepulauan. J
Dia, presidennya. Saya, wapres sekaligus kabinet. Nanti, anak2 kami akan jadi rakyat, sampai usia yang dianggap cukup untuk diangkat menjadi anggota kabinet. Jadi, saya adalah pihak yang akan mencarikan opsi dan mengajukannya kepada pimpinan untuk diambil keputusannya. Poento, sebagai pemimpin, punya tanggung jawab terbesar yakni mengambil keputusan. Jadi salah atau benar langkah kami kedepan, ada di tangan dia. Ngeri kan tanggung jawabnya…? hehehe
Sementara rumah dan barang2 kami, sbagai negara kepulauan, tentu butuh disentuh dan dibangun. Misalnya, kami mulai dari ibukota: kamar utama. Kita memutuskan untuk merombaknya. Saya akan gugling, beli buku, tanya sana-sini untuk mencari desain plus furniture. Saya ajukan ke poe, dia akan memberi masukan. Dan keputusan diambil. Kami memilih tukang dan menyerahkan pembangunan ke tangan tukang. Voila. Kamar utama, jadi.
Begitu juga dengan kamar lain, mobil, sampai ke peralatan terkecil macam penggorengan. Enggak ada satu benda pun yang ada di rumah kami, dibeli maupun diberikan ke orang lain tanpa kesepakatan berdua. Begitu juga dalam menjalankan tugas sehari-hari. Karena sampe detik ini, kami belum punya pembantu, kami berdiskusi untuk membagi tugas yang wajib dikerjakan oleh masing-masing. Di sini, kepala negara juga harus kerja bebersih rumah loooh…hehehe…Karena ini negara kami, teritori kami. Nanti, kalau anak2 kami sudah besar, mereka mungkin akan menjalankan otonomi daerah atas kamarnya maupun benda-benda lain. Tapi, keputusan harus tetap ditangan presiden.
Bentuk pemerintahan dan kenegaraan macam ini, adalah komitmen kami. Jadi, sampai detik ini, saya rasa semua masih berjalan dengan fair. Semua menjalankan fungsinya masing-masing. Keputusan berdemokrasi ini juga enggak saklek, bukan gak boleh kalau suatu waktu poento yang memberikan opsi. Tentu, untuk dibahas berdua. Gak selalu damai, kadang dengan debat, kadang pake marah, tapi ujungnya tetap harus ada keputusan, dan palu tetap harus diketok poento.
Komitmen menjalankan komunikasi dan demokrasi dalam rumah tangga seperti ini, kami terapkan karena belajar dari pengalaman. Bahwa seringkali pertengkaran terjadi dalam rumah tangga, karena ada pihak yang selalu mengalah, dan nantinya meledak. Atau ada pihak yang timpang dengan melakukan SEGALANYA dan satu pihak lagi tidak tau apa2. Atau ada peraturan yang dibuat dengan semena-mena, tanpa komunikasi, sehingga akhirnya terjadi kecurangan. Misalnya aturan jam malam, yang seringkali dibuat oleh satu pihak. Sehingga, ada pihak lain yang ingin melanggar dan berbohong.
Kami juga belajar dari negara kami. Bahwa pemerintah, kabinet, dan DPR disini tidak pernah berkomitmen, tidak pernah melaksanakan demokrasi dengan sebenar-benarnya, dan tidak melakukan komunikasi dengan baik. Sehingga pada akhirnya, semua keputsan yang dibuat hanya mengorbankan negara dan –tentu saja- rakyat.
Satu hal penting lainnya yang selalu kami upayakan adalah cinta. Basi? Hehehe..mungkin terdengar basi. Tapi kalo gak pake cinta, ya pemerintahan kami mungkin akan berjalan basi seperti di Indonesia. Keengganan pemerintah, dan DPR untuk mencintai negara dan rakyatnya, membuat semua porak poranda.
Jadi, pengambilan kebijakan di negara kami, sebidak surga dunia kami, sangat mementingkan demokrasi, komunikasi dan cinta.
Cukup ya, rasanya…
saya terharu min bacanya.. :p
Pingback: Happy 5th Anniversary, coy… | My -FreeTime- Writing Domain