Emansipasi, apa sih artinya?

Gallery

Emansipasi.

Baru pekan lalu, lini masa twitter banyak ngebahas soal itu. Jelang dan pasca tanggal kelahiran RA Kartini, pejuang wanita yang berhasil mendobrak aturan-aturan kejawen soal perempuan. Lewat surat-suratnya.

Saya sih, bukan penceloteh jagoan yang mau cerita soal sejarah, atau menelisik ulang arti emansipasi, atau berteriak menuntut kesetaraan bahkan menuntut hak kaum perempuan dan berjuang untuk itu. Saya gak sepintar itu-lah. Hehe..

Saya Cuma mau cerita.

Oke, membuka ceritanya, dari yang saya baca di beberapa sumber (entahlah terpercaya/gak), katanya, emansipasi itu artinya: 1. Pembebasan dari pembudakan 2. Persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ada juga yang bilang: “emansipasi adalah istilah harkat martabat informasi wanita dalam bahasa indonesia yang mengacu kepada harga diri yaitu mereka [wanita] yang menerobos keamanan sistem harkat pria tanpa ijin, umumnya dengan maksud untuk mengakses pola pikir yang terkoneksi ke jaringan para pria. Istilah emansipasi di indonesia diajukan oleh RA kartini untuk mengacu kepada harkat dan martabat dalam arti ini.”

Dan masih banyaaak lagi pengertiannya. Googling lah sendiri, pemalas! #eh

Nah, konsep itu sebenarnya di mata saya masih blunder. Apa sih yang dimaksud dengan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan? Disini aturan agama berlaku atau gak sih? Misalnya: wanita boleh berprilaku, bekerja, dan menjalani tipikal kehidupan yang sama dengan laki2?

Jadi, bener juga dong..kalo ada perempuan yang menuntut hak nya, bahwa dia boleh pake tanktop dan hotpants dimana aja, kapan aja, tanpa merasa takut ditelanjangi mata laki-laki, atau secara spontan ditawar (means: dianggap pelacur) bahkan diperkosa. Berarti dia juga harus melaksanakan kewajiban laki2, yakni sebagai kepala rumah tangga, ga usah disediain bangku di bis, ga usah diperlakukan spesial meskipun sedang hamil, dan ga usah dibantuin bawain belanjaan meskipun keliatan kesulitan bawanya?

Ehm, gimana yah?

Tapi, sesuai janji saya, no no saya gak bakal membahas pengertian emansipasi. Saya mau cerita.

Di keluarga saya, mama, gak pinter masak. Hehe…chef dirumah kami adalah papa. Dia bisa masak creamsoup (asli bukan instan) yang enak dan gurih banget, tanpa vetsin. Dia bisa masak daging sukiyaki yang tipis dan napsuin itu. Dia bisa masak terong balado yang ga ada tandingannya. Satu lagi, nasi goreng bikinan dia, gak ada tandingannya di muka bumi ini. Sumpah.

Mama? Dia jagoan beberes dapur, sisa kerjaan papa yang berantakan. Yah, namanya juga laki, di mata dia, tiap abis masak, tu dapur biasa aja. Dimata kami, heddehh…ancur!

Gak ada masalah dengan itu. Gak pernah ada masalah. Mama juga gak pernah jealous, bahwa saya, di masa hami ini, seringkali ngidam masakan papa. Ya karena memang papa yang kerjanya masak dirumah. Mama, semasa saya masih tumbuh dirumah itu, bekerja setiap hari. Dari saya lahir, sampe saya menikah, dia baru pensiun. Papa juga sama. Jadi, setiap hari, kami catering makanan. Sabtu-minggu baru papa masak. Kalau bosan sama makanan catering, nanti mama tinggalin uang buat saya dan adek buat secara bergantian beli lauk yang kami suka. Selang-seling tiap hari, kami berdua harus saling memerhatikan perut saudaranya. Gak bisa lupa, karena kalau sampai lupa, salah satu dari kami bakal kelaparan. Eniwei, adek saya laki-laki. Dan dirumah, gak pernah dibedakan. Kami harus bisa berprestasi, dan harus sama2 bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Sampai baju, jenis olahraga, bentuk sepeda, sepatu, tas, apapun itu, punya saya dan adek gak pernah ada bedanya. Poin nya memang agar saya bisa lakukan semua yang adik saya lakukan dan dia juga begitu. Meskipun pada akhirnya, saya tetap gak bisa berhitung dan menabung dengan baik seperti dia, dan dia gak pernah bisa bercerita sebaik saya.

Dalam pembagian uang, pembagian tugas, papa dan mama juga gak pernah ribet sama gender. Kalo gak ada mbak, ya papa nyuci bajunya sendiri, begitu juga mama, dan kami, anak-anak. Semua wajib bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Mereka juga gak melakukan pembagian gaji. Bahwa perempuan telah ditakdirkan harus dikasih gaji, kemudian mengaturnya saja sambil ongkang2 kaki. Gak ada dimata mereka. Mereka simpan gaji mereka masing2 dan melakukan pembagian tugas pengeluaran uang. Papa harus bayar sekolah, listrik, telepon dll. Mama wajib mengeluarkan gajinya untuk belanja bulanan.

Papa juga gak menerapkan jam malam yang berbeda antara saya dan adek. Kalo saya harus sampe rumah jam 11 malem, gitu juga dengan dia. Kalo saya diteleponin dan dicariin, sumpah, dia juga. Hehehe..

Semua orang dirumah kami harus mandiri. Tanpa kecuali. Semua orang punya beban tugas yang sama, dan dianggap punya kemampuan yang sama. Tapi tetap, selalu ada pengecualian buat hal-hal yang prinsip. Misalnya: mama yang sudah mulai tua, diusahakan jangan sampe harus angkat yang berat2. Perempuan hamil juga demikian. Tapi saat saya normal, angkat lemari saja, harus ikut bantu!

Gak pernah disebutkan dengan jelas diirumah kami: “Fajar, ayo sana keluar temenin kakaknya. Masa perempuan jalan sndirian malem2” yang ada juga: “Fajar, sana itu kakaknya ditemenin, penyakitan gitu” hehehe.,.. ya kalo itu mah emang iya. Mau gimana lagi.

Tapi, persamaan yang dilakukan dirumah kami itu, selalu mempertimbangkan juga kekuatan dan kemampuan. Saya dan mama dikasih Tuhan badan yang gak sekuat pria2 dirumah kami. Jadi kami gampang sakit, dan mereka enggak. Maka, tetap selalu ada pengecualian buat para penyakitan itu. Saya rasa hal itulah yang membuat mereka, pria2 dirumah kami tidak melulu menyamaratakan perempuan dengan dirinya.

Lagiipula, mama selalu bilang, agama mengajarkan adanya perbedaan. Bagaimanapun, fisik perempuan memang diciptakan lebih lemah dari laki-laki. Badan perempuan juga diciptakan dengan lekuk yang akan membuat laki-laki ‘ngiler’, makanya harus ditutupi. Karena bagaimanapun, itu adalah takdir, itu insting. Otak laki-laki, kata mama, cepat sekali merespons ke’sexy’an yang dilihatnya. “Kalau mau disebut kesetaraan, tutup aurat, itu namanya perempuan yang mampu melindungi dirinya sendiri,” gitu kata mama.

Jadi, bukan Cuma bela diri yang diajarin papa, tapi juga keinginan untuk melindungi ‘aset’ dengan menutupnya. “Emangnya kamu barang obralan?” gitu kata dia. Laki-laki dan perempuan, menurut kedua orangtua saya, bukan masalah perbedaan maupun persamaan, tapi masalah pembagian tugas. Saat perempuan hamil, laki2 menjaganya. Saat perempuan melahirkan, laki2 menemaninya. Saat harus menyusui dan merawat anak, laki2 membantunya. Satu2nya perbedaan kodrat antara laki-laki dan perempuan memang Cuma itu. Jadi, seharusnya gak akan ada masalah dengan laki-laki yang merasa harga dirinya diinjak-injak saat istrinya punya penghasilan lebih besar. Perempuan juga seharusnya tidak merasa pekerjaan ibu rumah tangga merupakan aib. Semua kan punya tugasnya masing-masing.

Di rumah tangga saya sekarang juga begitu. Saya dan poento biasa membagi tugas. Kalo dia pulang lebih malam dari saya, saya bikinkan teh. Kalo saya yang pulang lebih larut, ya dia yang bikinkan teh. Apa sih susahnya? Masak juga begitu. Beberes rumah juga begitu. Saya juga bekerja, sama beratnya dengan kerjaan dia. Terus kenapa?

Jadi, menurut saya, hal ini bukan masalah. Seringkali jadi bahan pertengkaran, karena poin utamanya sebenarnya hanya masalah harga diri. Titik. Saya dan mama, perempuan. Kalo diminta, kami bisa melakukan semua pekerjaan berat yang umumnya dilakukan laki-laki, karena fisik mereka yang memang lebih kuat, kenapa enggak? Tapi kalo masih ada laki-laki  di dunia ini, kenapa kami, perempuan harus mengerjakan itu semua? Buat apa?

Kenapa gak kita biarkan saja pembagian tugas itu berjalan dengan baik. Gak ada juga salahnya. Laki-laki juga punya hak dan kewajiban. Begitu juga dengan perempuan.

Eniwei, sebagai penutup. Saya mau kasih contoh perempuan-perempuan yang bikin saya bangga. Mama, dia bisa ngurus anak, bisa jadi tiang keluarga, tapi ga pernah bosan belajar. Emansipasi, adalah saat melihat dia, di masa pensiunnya ini, masih berani masuk ke LP Cipinang dan mengajar ngaji disana dengan niat tulus. Bisa tengok disini

Emansipasi adalah melihat shally  Pristine berani ikutan indonesia mengajar. ini orangnya. Emansipasi adalah mendengar cerita para perantau fitria andayani dan Munawwaroh yang berani datang ke pulau jawa jauh2 dari seberang, sendirian, dan ga dikasi banyak bekal uang.

Jempol buat kalian.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s