Not Too Old For Deftones

Gallery

Konser yang berlangsung di hari kerja, sebenarnya bukan favorit saya. Apalagi kalo berlangsungnya masih di tengah pekan (bukan Jumat gitu, misalnya, yg msh hari kerja tapi besoknya libur). Apalagi, konsernya butuh energi ekstra buat lulumpatan sama teriak2.

Lengkaplah semua ke-tidakfavorit-an saya itu, dibabat abis sama mas Chino dan teman2nya, saat konser DEFTONES pertama di Indonesia. Konser yang berlangsung 2 jam lebih itu, digelar hari Selasa, 8 Februari 2011. Selasa, bayangkan teganya, selasaaa…hehehe…untungnya, macam jalan Tuhan, selasa itu bapak presiden SBY yang saya harus intili, berangkat ke Kupang. Jadi kerjaan saya lebih ringan, dan jelas, bisa pulang lebih awal dari biasanya.

***

Sudah dari akhir 2010, Java musikindo ngumumin di twitter kalo deftones bakal mengguncang Jakarta. Sejak itu juga, saya ngeces. Deftones, di kepala saya, memang gak se dahsyat smashing pumpkins. Tapi saya benar2 penasaran. Penasaran sama penampilannya dan suara melengking Chino yang biasanya Cuma  saya denger dari kaset (waktu jaman SMA) dan dari donlodan lagu di 4 shared. Hahaha,,

Meskipun awalnya harus agak maksa si poento, pada akhirnya, saya diizinin juga buat meluncur ke ibu dibjo dan beli 2 tiket festival yang harganya Rp 450 ribu/orang itu. Tipis deh dompet. Kemudian menanti dalam damai, sampai harinya tiba..

Selasa itu, saya dan poento melaju dari rumah di Otista jam 7 lewat. Harap2 cemas takut macet. Untungnya masih kekejar, dan mendarat dengan sukses di Tennis Indoor Senayan jam 8 malem. Kita kelewatan band pembukanya, si tujuh kurcaci. Tapi who cares? Hehehe,,,

Dari twit nya Java Musikindo udah diumumin bahwa band yang udah maen dari 1988 itu bakalan mulai menjerit pada pk 8.15 malem dan bawain  24 lagu. Jadi, sampe disana, masuk dari pintu 2, saya dan poe langsung bediri dengan manis di pinggir kanan panggung. Ga mau ketengah, takut kena tendang. Hehehe,,,

Masih punya sekitar 10 menitan, kita celingak celinguk. Yang dateng, kebanyakan emang seumuran saya, malahan banyak ketemu temen SMP-SMA dan kuliah disana. Berasa reunian. Tapi gak sedikit juga orang yang lebih tua, bahkan ada juga bocah kuliahan yang membaur di ribuan manusia. Meskipun, semua penonton rasanya punya pikiran yang sama dengan saya, gak sabar liat deftones. Panggung yang kosong, tanpa embel2 tulisan DEFTONES di backdrop nya, atau kincir raksasa macam di konsernya smashing pumpkins, membuat poento, si analis dana bilang “Gila juga ni Java, kosong melompong gini, sponsor Djarum, untungnya pasti gede,” hehehehe…

Tiba-tiba, lampu mati, dan berganti permainan lampu sorot yang –menurut mata saya- enggak maksimal. Dan muncullah, tanpa basa-basi, lengkingan khas Chino. “I’d meet you in wrong bury all, then i would be alright with her, in whole cherished by two, it makes you fly, yes, i lieeeeeeee…” dustak distek. Teriakan itu seperti aba-aba yang membuat kumpulan manusia di depan, belakang dan samping saya mendadak gila. Semua bergoyang dengan seragam, kepala yang dihentakkan kedepan, posisi kaki menendang, tangan membentuk salam metal yang diangkat tinggi2, serta mulut yang ikut berteriak. Moshing.

Birthmark. Lagu yang sering dinyanyiin Hilal. Saya nyengir. Saya sih gak ikutan moshing, Cuma agak ngangguk2 aja, macam orang NU tahlilan. Sambil ngeliatin Abe Cuningham yang gendut itu ngegebukin drum nya, berusaha menangkap perbedaan permainan si bassist Sergio Vega dengan mas chi ceng yang lagi koma, membaca arah raungan gitar stephen carpenter dan meniru gerakan tangannya Frank Delgado, utak atik turn table. Biar kayak ngerti gitu maininnya. Hehehe…

Gak semua lagunya saya hapal, tapi engine#9 yang dibawain langsung dari birthmark, masih bisa saya nyanyiin. Album  “adrenaline” ini memang album yang lagu2nya, menurut saya, paling akrab di kuping. Tapi, lagu2 berikutnya juga gak kalah deh. Saya rasanya, macam terbang ke masa umur 17an, waktu tiap hari dicekokin deftones sama hilal, yang gak nonton, karena istrinya melahirkan. Drive, summer, ihabia, around the fur, knife party, hexagram, minerva, bloody cape, diamond eyes, sextape, beauty school, sampe passenger, dinyanyiin dalam waktu sekitar 90 menit. Semua lagu hits. Saya rasanya kayak nonton konser the best of. Semua orang di sekitar saya, rasanya juga memikirkan itu. Ya karena mereka semua bisa menyanyikan  lagu-lagu yang dimainkan, dengan fasih. Nampaknya sudah khatam ke 7 album nya, itu para penonton.

Beda dengan mas billy yang senewen dengan sound yang jelek di java rockin land, Chino dan teman2nya asik aja main. Meskipun sebenarnya, sound di tennis indoor ini juga sering pecah dan rombeng macam java rockin land. Belum lagi suara sampling dan gitar yang bukan Cuma sekali teredam suara drum. Mendem. Tapi, penonton, rasanya juga terbawa dengan aura santai yang dibawa deftones karena kendala2 kecil macam itu. Gak ada nada protes, semua  asik tenggelam dalam irama penuh sentak yang dibawakan. Wajar juga mungkin, karena sepanjang permainan, orang2 gila itu gak turun sama sekali staminanya. Mereka hajar itu panggung, stabil, dan gak keliatan kecapekan. Meleset sempat kejadian, skali dua kali, tapi enggak jadi masalah yang berarti.

Bedanya ada lagi, Chino teramat ramah. Dia menyapa, menegur dan bahkan mengangkat tinggi2 kaleng bir warna merah punya kita “This is delicious, bintEng!!” hahaha,,,,truly hiburan dari bapak2 yang umurnya udah 40-an itu. Udah gak muda memang, tapi masih gila-lah. Selesai 22 lagu dihentakkan, mereka masuk. Tapi suara “We want more” dari penonton yang meminta encore gak terlalu banyak, dan antusiasi. Seolah yakin seyakin-yakinnya bahwa band asal Sacramento, California ini pasti ngasih encore. Dan iya, ada encore, sudah ketebak, Roots dan 7 words. Lagu kebangsaan. Yang dibawakan dengan memanjat pagar pembatas. Chino berteriak, melompat dan menggila persis di hadapan penonton yang ada di lini terdepan. (sudah pasti  gak ada saya.. takut bengek! Hahaha  J) semua berdesakkan, moshing dan ikut serta larut dengan energi yang ditularkan, terutama oleh Chino dan si bassist Sergio Vega. Ledakan energi itu, gak Cuma terasa di baris depan, tapi juga di baris saya, samping panggung. Semua yang tadinya hanya melompat kecil, menganggukkan kepala, menghentakkan kaki sambil ikut nyanyi, di sirep 7 words dan langsung melenting.

Setelah 7 words, setelah peluh membanjiri kaos saya, setelah lampu kembali terang, saya kembali sadar bahwa saya masih ada di Indonesia, di tengah Tennis Indoor senayan, dan di tengah kawan2 yang juga mendengarkan deftones dari masih belom tumbuh bulu. Band yang memulai karier di tengah masa transisi rocker musik METAL ke musik Nu Metal ini, sukses menghipnotis saya.  Suara serak, badan pegal2, dan idung agak pedih kena sepak. Hehe..

Tapi gimanapun, saya percaya, saya belom harus ngomong “I’m too old for this” macam kawan2 saya yang menolak nonton konser, yang menolak gila2an dan nekad2an di umur 27 nya. Belom lah, man…mungkin gue udah gak sebebal dulu  lagi badannya buat ikutan moshing, tapi gue belom tua. Mungkin begitu juga dengan deftones ya, yang gak pernah melempem. Nampaknya mereka masih bisa ngebuktiin ‘taring’nya dengan hantaman musik metal di usia 40-an. Superb. Untung mereka enggak idup di Indonesia ya, kalo disini, mungkin lama2 mereka menyerah, dan mulai ‘goyang cenat cenut’ biar tetep bisa idup dan gak tenggelam trus jadi rocker miskin…hehehe

One response »

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s