“Hoi hoi hoi hoi hoi hoi hoi, kami ini orang asli Belitong…inilah tempat kami Kampung Gantong, kata orang pulau kami pulau kaya banyak timah dimana-mana, tapi siapa yang punya, bukan kami yang punya….
Kami hanya kuli2 belaka…”
Gebrakan lagu yang menerbitkan senyum lebar di wajah saya.
Gak Cuma karena berasa sebagai kuli di negeri sendiri, tapi juga karena penampilan kumpulan manusia berseragam a la kuli timah, yang tersaji dengan meriah di hadapan saya. Cuma berjarak sekitar 5 meter dari idung. (perlu diingat idung saya pesek loh, jadi itu deket banget!)
Musikal Laskar Pelangi, namanya.
Sajian teater musikal yang bisa bikin saya bener2 berasa ada di lokasinya, di Kampung Gantong, Belitong. Sajian 3 jam-an dengan 2 babak dan 18 cerita yang setiap ceritanya bisa belasan kali mengganti set. Padahal set nya itu, astaga Tuhan, menurut saya, terlalu NIAT.
***
Saya nonton di kelas 1, dengan selembar tiket seharga Rp 400 ribu, karena Cuma itu yang tersisa buat pertunjukan di hari terakhir pementasan, Minggu (9/1). Tapi gapapa, meskipun gak dapet the best view nya di kelas VVIP, saya masih dapet bangku di jajaran ketiga dari depan. Jadi enggak pegel-pegel amat, dan semua muka pemainnya bisa saya lihat dengan jelas. Perlu diketahui, jajaran bangkunya bertingkat seperti suasana di gedung bioskop atau layaknya pementasan teater, namun, panggungnya lebih tinggi daripada kursi terdepan. Jadi yang duduk di baris terdepan agak harus mendongak. Meskipun gak separah jajaran terdepan pementasan bioskop.
Eeeniweiii…Cukup jelasnya pemandangan pentas musikal itu bikin saya bisa melihat detail keseluruhan. Awal duduk, saya celingak celinguk norak karena baru pertama kalinya masuk dan duduk di teater jakarta. Di mata amatir saya, rasanya tata letaknya mewah ya. Warna merah di tirai-tirainya, plus tekstur kayu dan kursi yang berlainan warna, tapi tetap didominasi warna merah-ungu yang middle tone, karpet abu-abu, balkon dua tingkat, dan lengkapnya sarana pencahayaan dari langit-langit tertinggi sampai terendah, yang menjadikan tayangan paripurna.
Kemudian mata saya juga menangkap layar panggung yang lebarnya sekitar 12 meter dan tingginya sekitar11 meter. Fungsinya, ternyata juga sebagai layar proyektor untuk judul dan daftar cast nya. Setelah terangkat, mulai lah set pertama, pabrik PN Timah. Kejutan pertama pun dimulai, saat tiba2 ada colt hitam jalan dengan damainya di tengah panggung. Ah gila. Kemudian turunlah si ikal dewasa yang kembali ke Belitong. Dia bercerita soal kampungnya yang indah itu. Disusul tarian para karyawan pabrik yang penuh semangat.
Setelah kejutan pertama itu, hadirlah kejutan-kejutan lainnya untuk para penonton. Set yang enggak kalah gila adalah set rerumputan dan padang savana di sekitar sekolah Muhammadiyah. Set itu, ternyata terdiri dari 3 layer yang bisa dipanjat. Tempat lintang dan sepedanya naik turun, layaknya sebuah bukit. Belum lagii tampilan background langit biru-nya dan siluet anak2 di puncak bukit saat bermain.
Saya juga suka sekali set yang menampilkan toko sinar harapan, tempat Ikal beli kapur dan bertemu jari2 indah Aling. Belum lagi ditambah motor yang bolak balik layaknya suasana sebuah pasar. Set pantai rumah Lintang, set SD PNTimah, sekolah Muhammadiyah yang miring, dan yang dahsyat adalah saat cerita Muslimah bawa anak2 muridnya belajar di lapangan.
Dengan lagu yang lucu..”Hujan, pelangi, matahari, lautan, gunung, rumput, savana, di bukit2, bunga2 warna warni, semua ada disini untuk kita jaga dan sayangi….semua menanti, semua yang ada, untuk kita pela.jariii…” dan saat lagu mulai bercerita soal hujan, tiba2 muncullah tirai hujan di panggung. Hujan, air, beneran! Saya nganga…ah ini mah sinting!
Dari semua cerita itu, yang paling saya suka adalah adegan Ikal melihat kuku2 terindah. Pemainnya saat itu, Ivant Septiawarman, bener2 jenius. Hahaha..mukanya persis kaya bocah jatuh cinta dan dia mulai deh nyanyi..”aku mendengar suara berdenTING, aling aling oh aliiiing…” dengan menyebut “ting” persis seperti gelas beradu. Ah,,lucunya. Saya juga suka cerita saat pemilihan ketua kelas, dan kucai terpilih lagi. Alvaro Maldini, bocah yang badannya kecil ketimbang temen2nya itu marah2 dengan nyanyian yang stabil dan kedengeran sangat lucu.
Tapi, cerita paling sedih, dan selalu sukses buat bikin saya mewek (meskipun udah baca novelnya dan nonton filemnya berkali2) adalah saat ayahnya Lintang meninggal dan dia harus meninggalkan sekolah. Di Musikal LP, adegan ini diledakkan dengan lagu menanti ayah, menanti Lintang dan salam perpisahan. Dan untungnya, saya nonton sama Poento yang bisa membuat saya senyum dengan ucapan,”Eh itu yang jadi Lintang namanya Patton Otlivio, anak SMP Pribadi looh.” Duuh narsis banget dia sama almamaternya. Tapi kalo dia gak ngomong gitu, mungkin saat itu saya makin sesenggukan. Hehehe..*cengeng
Semua pemain, SEMUA, yang nyanyi, nari dan berakting di hadapan saya saat itu, adalah orang2 profesional. Semua bisa berakting, semua bisa nyanyi dan nari. Padahal kebanyakan, anak2 usia SD-SMP. Saya sampe mikir, kemana aja dulu waktu saya seumuran itu yah? Kenapa gak bisa main di pentas sedahsyat ini. Duuuhh..
SALUT!
Cuma itu rasanya yang bisa keluar dari mulut saya lepas nonton. Semuanya nampak terkemas matang dan rapi. Lagu-lagu yang bagus, cerita yang sama bagusnya dengan novel dan filmnya, setting yang canggih, sampe wardrobe yang-menurut saya-lebih bagus dari filmnya.
Oke. Saya belom pernah liat sajian sebagus ini. Saya sangat suka nonton teater, musikal dan apapun itu yang pake panggung. Tapi karya ini BESAR, dan rasanya harga tiket dari range Rp 100 ribu sampe Rp 750 ribu itu wajar. Kalau saya jadi Mira Lesmana, rasanya, akan saya charge seorang Rp sejuta! Hehehe…
Bagaimanapun, gak ada hal yang sempurna. Di Musikal LP ini, masalahnya adalah, pembelian tiket, seperti biasa, masih aja didominasi para “pembeli tiket dalam jumlah besar”. Jadi, si suami sudah cari tiket dari beberapa hari sebelumnya, dan selalu kehabisan. Di semua tempat penjualan tiiket, saat ditelepon selalu bilang bahwa tiket udah habis. Akhirnya kita dapet tiket di jalan ciniru, dan hanya itu yang tersisa. Saya gak tau deh solusi buat ini, tapi rasanya masih ada yang salah dengan penjualan tiket ini.
Selain itu, masih ada satu hal yang saya pertanyakan sejak awal pementasan ini diiklankan.
Dengan harga tiket semahal itu, siapa orang yang bisa nonton yah? Anak-anak siapa yang bisa nonton? Saya ngebayangin, kalo saya udah punya 2 anak, dan mereka mau nonton, kemudian memilih kelas 1, berarti harus menyediakan dana Rp 1,6 juta. Habis satu hari. Belum makan, minum dann permintaan beli CD atau merchandise lainnya.
Padahal, cerita di Laskar Pelangi, as we know, adalah cerita tentang anak2 miskin yang punya hak untuk bermimpi. Anak2 miskin, yang tidak perlu jadi kuli. Harapan untuk pendidikan, harapan buat para tenaga pengajar supaya ikhlas, dan pencerahan buat kembali cinta sama negeri kita. Tapi, sepanjang mata memandang, yang saya lihat di sekitar saya adalah ibu2 dan bapak2 yang juga sering nongol di tivi a.k.a selebritis. Atau pejabat dan keluarganya. Atau orang2 yang mampu dateng pake CRV.
Kayanya Cuma kita berdua yang dateng pake karimun imut2. Hehehe..
Kemana yah anak2 miskin, anak2 yang gak bisa sekolah, anak2 yang setiap hari dijejali sinetron busuk, macam anak2 di gang sekitar kontrakan saya yang suka nyanyi lagu jorok2?
Sebelum saya bikin tulisan ini, saya coba googling kemana-mana soal keberadaan anak2 itu. Dan yang saya temuin Cuma pernyataan bahwa ada harga spesial untuk rombongan. Termasuk rombongan dari sekolah dan panti asuhan. Tapi gak ada yang nyebutin berapa harga spesial itu tepatnya.
Jadi gak semua orang punya hak yang sama ya?
Sedih ya? Kok sama kaya bicara kemiskinan di hotel ya?
Padahal,pertunjukan ini, menurut saya, adalah momen yang bagus untuk mengajak orang2 menyaksikan sajian yang bermutu. Di tengah deraan sajian yang minim gunanya macam sinetron, lawak2 penuh celaan, berita2 salah, dll. Tapi kalo yang nonton Cuma orang2 yang punya uang, ya sudah. Yang kaya ya makin pinter dan makin kaya, yang miskin ya gitu2 aja. Buat saya, teater, apapun bentuknya, kan milik rakyat. Semuanya.
Jadi saya terpikir, lucu juga barangkali kalau dibikin subsidi silang kaya kebijakan rumah sakit. Jadi warga miskin, yang punya surat keterangan miskin, atau kartu gakin, atau apalah itu yang membuktikan bahwa dia miskin, dikasih privillege. Kelas 3 juga gapapa, tapi biaya yang harus dibayar, misalnya Cuma Rp 10 ribu. Jadi semua orang mendapatkan hak yang sama.
Saya, rasanya, gak akan keberatan kok kalo harus bayar lebih mahal. Tapi saya tau persis bahwa semuanya bisa juga nonton dan menikmati pertunjukan indah, seperti yang kemarin saya nikmati.
Hehehe..gak tau deh. Saya Cuma agak sedih. Karena pertunjukan ini dahsyat, tapi, gak semua orang bisa lihat…
Mungkin benar, mungkin memang masih terjadi, si miskin belom boleh bermimpi…
(Semua foto adalah hasil googling, karena di dalem gak boleh ambil gambar..:))