Kilatan cahaya warna warni di langit gelap, gemuruh disana sini, dhuaaarrr….
Tapi itu bukan suara bom di tengah perang. Karena gak ada air mata, gak ada tangisan, gak ada takut, yang ada hanya riuh rendah orang bersorak sorai, teriakan gembira segala usia dari anak-anak hingga orang tua…
Di sebuah gang sempit yang rumahnya berdesakan.
Sumpah, baru kali ini saya ngerasain hal ini. Karena selama ini, buat saya, suara kembang api tembak yang “tsiuuuuuung….DHUAAAAR” itu Cuma bikin telinga pengang dan ngeganggu tidur. Tapi di gang sempit, jalan buaran itu, saya lihat senyum dan tawa. Karena si biang pengang itu ternyata, truly hiburan. Buat mereka, dan buat saya kali itu…
**
Perayaan itu namanya TAHUN BARU.
Hehehe…saya, actually, to be honest, ga pernah tau makna sebenarnya dari perayaan tahun baru.
Waktu masih ababil dulu, saya emang ikut serta merayakan taun baru. Tapi, teteeep, tanpa ngerti makna perayaannya. Karena sebagai ABG sejati, saya sangat suka
berada di tengah keriuhan. Di tengah crowd, apalagi kalau mampu buat saya tertawa dan ikuti irama gegap gempita. Ada teman-teman, pacar, teman yang baru kenal, well, saya Cuma pecinta pesta.
Keluarga saya, dan lingkungan kompleks tempat saya tumbuh juga tidak merayakan tahun baru. Bahkan untuk pergi nginep di villa atau berdoa bersama. Enggak. Kita tidur dan menikmati hari libur aja. Makanya, saya gak pernah ngerti makna perayaan tahun baru. Mama selalu bilang: “Jadi orang itu harus selalu berusaha untuk jadi lebih baik dari hari ke hari”. Gak pernah dia bilang, dari tahun ke tahun. Jadi rasanya, resolusi itu diajarkan untuk ditargetkan dari hari ke hari, bukan Cuma event setahun sekali.
Sekarang, di usia 26, di tengah deraan pekerjaan yang menyita waktu, tiap datang waktunya libur, yang saya dambakan adalah si sexy kasur. Bisa tidur sepuasnya, kelekaran di rumah, ngabisin dvd, nyemil, dan ketawa2 sama si poento plus kucing2. Jadi waktu poento bilang, bahwa jelang tahun baru 2011 ini, kita akan ke Bogor atau bakar2an di rumah Mbah di Buaran, saya manyun. Males.
Tapi gimanapun, itu juga salah satu cara untuk sillaturahim. Jadi, yaudahlah. Apa salahnya nyenengin orang2 tua?! Akhirnya, 31 Desember malam, keputusan jatuh untuk menghabiskan detik terakhir 2010 di rumah Mbah di Buaran.
Sampe disana, saya disambut dengan jagung, ayam, udang dan ikan bakar. Enaaaaaakkkk….puas makan, dengan mata 5 watt, kita nungguin “final countdown” sambil ketawa2, becanda dan menghabiskan waktu layaknya keluarga yang berkumpul. Semua anak dan cucu mbah dateng dan berkumpul. Semua duduk bareng dan menghabiskan makanan enak itu. Begitu juga di rumah-rumah mungil lainnya di gang itu. Pertemuan yang jarang. Silaturahim yang mungkin Cuma terjadi saat lebaran, ada yang nikah atau ada yang meninggal. Tawa lepas, canda riang, yang membuat mata nenek2 bisa berbinar riang…
Sampai tiibalah saatnya…
Kita semua keluar rumah dan … 10,9,8,7,6,5,4,3,2,1…DHUAAAAAARRRRR!!!!!!
Mata saya berbinar liat percikan api yang mencercah sebentuk bintang jatuh di langit gelap. Dari yang awalnya saya tutup kuping karena kaget2 denger suara ledakan, sampe akhirnya saya ketawa. Ketawa barengan orang-orang yang juga sontak keluar dari rumah-rumah petak disekitar rumah Mbah. Tepok tangan, bersorak sorai sambil terus mendongakkan kepala menatap percikan api warna warni itu. Kali ini bukan hanya barengan keluarga, tapi juga barengan tetangga-tetangga. Orang paling dekat, tapi mungkin gak semuanya bisa dikenali karena seringkali waktu habis di tempat kerja…
Kerennya, gak ada satupun orang yang keluar sambil marah-marah, karena tidurnya terganggu. Gak ada satupun orang yang menangis karena mengingat harga komoditas naik terus dan bikin orang harus mengurangi jatah makannya. Gak ada satupun orang yang keluar dengan menggerutu dan muka ditekuk, seperti tampilan wajah presiden Indonesia. Semua orang bersorak sorai.
Saya, kita dan mereka, rakyat. Orang-orang yang keberatan dengan harga cabe sampe 80 ribu sekilo. Orang-orang yang kecapekan tiap pulang kerja karena harus bergumul dengan macet. Orang-orang yang mendambakan tidur nyenyak, tanpa diganggu nyamuk, maling, atau penyakit susah tidur karena mikirin besok sekeluarga mau makan apa. Rakyat, yang asyik dengan hiburan ringan dari kembang api seharga 25-120 ribu itu.
Mungkin di belahan lain Ibukota, ada teman-teman dan saudara-saudara saya yang juga melakukan final countdown sambil toast gelas wine-nya, atau ada juga yang melakukannya sambil dzikir nasional di TMII, atau ada juga orang-orang seperti mama papa saya yang berusaha tidur tapi susah karena diluar berisik banget. Hehehe…
Eniweiii, akhirnya saya mengerti. Kenapa orang-orang yang dalam kesehariannya memang biasa membakar uang lewat rokok, di malam tahun baru itu juga rela membakar uang dengan membeli kembang api. Mereka, bukan membakar uang, mereka membeli secercah kebahagiaan di mata anak-anaknya, di mata orang tuanya, dan di matanya sendiri. Hanya secercah, karena besok, mungkin sudah enggak ada.
Mata saya memandang sesuatu yang baru. Sesuatu yang selama ini saya engga tahu, dan seringkali saya cemooh. Kebahagiaan. Satu malam yang penuh sesak dengan rasa gembira, sederhana, dan berkumpulnya keluarga juga tetangga. Maaf ya Tuhan, selama ini saya merutuk kebahagiaan itu.
Mungkin emang Cuma Tuhan yang tahu harga mati dari perbuatan yang salah atau benar. Saya gak punya hak buat menilai itu semua, apalagi dari mata saya yang sempit ini…
selamat tahun baru.