Lets Beat Beryl’s Chocolate Kingdom, Indonesia!!!

Gallery

“Say it with chocolate”…

Sebenarnya saya bukan penggemar fanatik coklat, jadi rayuan gombal dengan menggunakan coklat rasanya tak mempan buat saya. Namun Beryl’s Chocolate Kingdom ternyata berkata lain…

Awalnya, saya ragu saat tim panitia dari CIMB Group mengajak saya dan rombongan wartawan berbagai media dari Indonesia mengunjungi kerajaan coklat di Jalan Utara no 38, Kuala Lumpur, Malaysia, pada hari terakhir kunjungan kami di negeri Jiran itu, awal Mei 2010. Apalagi jika mengingat betapa padatnya acara di hari-hari sebelumnya dan panas teriknya matahari saat itu. Jelas,otak dan tubuh lelah saya terus menerus mengajak pulang ke tanah air tercinta. Ternyata, toko yang luas bangunannya sekitar 150 meter persegi itu sukses memupuskan lelah saya. Senyum sudah terbit di wajah saya saat menatap desain luar Beryl’s, warna dan gayanya mengingatkan saya pada film Charlie and the chocolate factory. Senyum di wajah saya tambah melebar saat menghirup aroma coklat yang menggelitik hidung, di dalam toko. Hmmm….

Berbagai poster terpampang di ruang tamunya, dari poster tentang pabrik Beryl’s, hingga sejarah keberadaan coklat dan Negara-negara  penikmat coklat terbanyak. Setelah seluruh anggota rombongan berkumpul, dengan bahasa inggris yang berlogat melayu, seorang staf menjelaskan cara pabrik coklat, yang telah berdiri sejak 1995, itu mengolah tanaman kakao hingga menjelma menjadi camilan nikmat. Menurutnya, ada enam langkah dalam pengolahan coklat modern. Pertama adalah proses pencampuran biji coklat yang telah dihancurkan dengan berbagai bahan baku seperti gula, sari kedelai, susu bubuk, dan vanilla, dengan mesin khusus. Campuran ini kemudian diaduk rata agar mencacah bahan-bahan tersebut hingga menjadi partikel berukuran 30 mikron. Kemudian, hasilnya dimasukkan ke dalam oven bersuhu sekitar 80 derajat celcius selama beberapa jam dengan tujuan mengurangi rasa pahit khas coklat dan menciptakan tekstur coklat yang lembut.  Setelahnya, proses pemanasan terus dilanjutkan untuk mendapatkan cairan coklat yang mengkilat. Cairan coklat panas tersebut, kemudian dialirkan ke dalam semacam mangkuk yang bergetar untuk menghindari kemungkinan gelembung udara yang muncul usai dipanaskan. Sebab, keberadaan gelembung tersebut akan merusak bentuk coklat dalam proses selanjutnya, yakni pendinginan. Proses terakhir, tentu saja, mencetak coklat ke dalam berbagai bentuk yang diinginkan dan dipak. Sayangnya, tak semua orang bersemangat mendengarkan penjelasan tanpa demo nyata itu. Sebab, kami sudah tak sabar untuk mengintip ke dalam toko yang menjual lebih dari seratus rasa coklat tersebut. Saat tiba saatnya masuk ke dalam toko, mata saya membelalak menatap rak-rak penuh coklat. “Tiramisu flavoured, 39 ringgit per pack, you take five, bonus one pack,” kata seorang staf sambil sedikit menjerit kepada pengunjung yang menyemut. Jantung saya berdebar mendengarnya. “Mahal juga ya?” pikir saya. 39 ringgit Malaysia (rm), jika disesuaikan dengan kurs rupiah yang sekitar Rp 2.900/1 rm, berarti seharga Rp 113.100 per pak.

Akhirnya, saya melewatkan jerit rayu si karyawan di ruangan tengah toko itu dan beralih ke bagian yang agak sepi. Disanalah saya bertemu Nana, seorang staf yang menawarkan saya untuk mencoba dark chocolate rendah gula yang sudah dipotong-potong kecil dalam nampan warna merah muda, di tangannya. “Coklat ini baik untuk kesehatan,” katanya. Saya mengambil satu potongan dan melumatnya pelan. Sekali lagi saya ulangi, saya bukan penggemar fanatik coklat, apalagi dark chocolate yang biasanya pahit dan hanya digunakan untuk dimasak kemudian dicampur bahan lainnya untuk membuat kue atau biskuit, bukan dimakan langsung seperti yang baru saja saya lakukan. Tapi kali ini, tangan saya langsung meraih dua kotak kecil seharga 7 rm per kotak, dan meletakkannya dalam keranjang merah yang saya pegang. Dan tak sampai 30 menit kemudian, keranjang itu sudah penuh sesak. Coklat yang berdesakan dalam keranjang saya, terlihat juga dalam keranjang yang dipegang oleh para pengunjung lain. Mungkin, mereka memikirkan hal yang sama dengan saya, tidak merasa rugi membelanjakan lembar-lembar ringgit terakhir untuk memanjakan lidah dengan coklat aneka rasa yang menjadi paripurna saat meleleh perlahan usai dilumat oleh geligi, lidah dan langit-langit mulut.

“Ada sekitar 1.000 pengunjung yang datang per harinya,” kata Nana. Terutama, lanjut dia, pada hari libur dan akhir pekan. Nana juga menjelaskan, kebanyakan dari pengunjung toko yang menjual coklat dengan kisaran harga 7rm hingga 75 rm ini, berasal dari Cina, Jepang, Hong Kong, Taiwan, dan tentu saja gerombolan pecinta belanja dari Indonesia. Tak heran, sebab Beryl’s memang menawarkan olahan produk coklat yang terlampau variatif.  Coklat dengan rasa buah-buahan tropis seperti mangga, melon, apel hijau dan rajanya buah-durian- adalah jenis-jenis coklat yang paling laku diserbu para pengunjung. Beryl’s bahkan menjual chilli chocolate untuk pengunjung yang gemar rasa pedas. Rasa lain yang ditawarkan adalah tiramisu, teh hijau, yoghurt, almond bahkan coklat rasa ginseng yang beraroma seperti jamu. Hal yang saya sukai dari kerajaan coklat ini, semua pengunjung berhak mencoba setiap jenis coklat yang diinginkan dan para staf nya pun wajib memberikan penjelasan mengenai jenis coklat yang terbaik untuk dimakan hingga cara terbaik menikmati coklat. Selain rasa, perusahaan yang pabriknya berada di Kawasan Perindustrian Seri Kembangan , Selangor Darul Ehsan, Malaysia ini pun menawarkan coklat dalam berbagai bentuk dan kemasan yang disesuaikan dengan kebutuhan serta usia. Ada coklat dalam kotak yang dipeluk sebuah boneka beruang yang dibandrol seharga 38 rm, ada juga coklat warna warni yang jadi kegemaran anak kecil dengan harga 40 rm. Selain itu, masih ada coklat bentuk ikan, bola dan beruang.

Nana juga menjabarkan, biji coklat yang terbaik bernama Criollo, Forastero and Trinitario. Meski, kebanyakan dari para petani coklat memilih Trinitario karena aromanya yang nikmat. “Tapi jenis biji coklat itu tak menjadi patokan tipe olahan coklat, sebab coklat yang satu dan lainnya menjadi berbeda karena komposisi perisanya,” kata dia. Dari Nana-lah saya kemudian tahu, bahwa cara terbaik menikmati coklat adalah dengan menghindari makanan yang pahit atau terlalu manis sebelum mengunyah coklat. “Sebab itu akan merusak rasa original coklatnya,” kata dia. Jadi, sebaiknya sebelum menikmati coklat, minumlah air mineral untuk menetralkan berbagai rasa yang sudah terlanjur menempel di lidah. Biarkan coklat meleleh perlahan di dalam mulut untuk memaksimalkan rasanya.

Usai berbelanja, Beryl’s juga menyediakan jasa pembungkusan hasil memborong ke dalam kardus yang langsung diikat agar aman jika hendak dibawa dalam bagasi pesawat. Saya-tentu saja-memanfaatkannya. Sambil mengantri, saya tiba-tiba terhenyak. Seingat saya, Indonesia saat ini tercatat sebagai produsen kakao ketiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pada tahun lalu, produksi biji kakao nasional mencapai 490.000 ton dengan daerah produksi yang terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan. Perkembangan luas perkebunan kakao Indonesia dari tahun ke tahun pun cukup signifikan dan punya potensi besar untuk mengalahkan pengolahan kakao Malaysia. Pada 2002 luas perkebunan kakao domestik baru mencapai 821.400 hektare, tetapi pada 2008 telah meningkat menjadi 1,4 juta hektare. Pesatnya perkembangan luas area perkebunan kakao ini disebabkan oleh gencarnya usaha penanaman kakao pada tahun-tahun tersebut baik berupa rehabilitasi perkebunan yang sudah tua maupun perluasan. Sayangnya, dari volume produksi sebesar itu, sekitar 70 persen dilempar ke pasar ekspor dan sisanya diserap pasar lokal. Dampaknya, utilisasi industri pengolahan biji kakao hanya 150.000 ton dari 300.000 ton total kapasitas produksi terpasang pertahun.

Di sisi lain, Malaysia justru punya industri pengolahan biji kakao atau pabrik cokelat dengan kemampuan produksi hingga 300.000 ton per tahun. Padahal produksi biji kakao negeri jiran itu setahun hanya sekitar 30.000 ton. Namun, produsen di Malaysia juga justru jauh lebih efisien. Malaysia pun makin berjaya dan mampu menghasilkan produk kakao olahan yang kompetitif. Produksi kakao dalam negeri, dalam hal ini kakao biji, pada umumnya hanya dikonsumsi langsung oleh industri pengolahan kakao yang menghasilkan cacao butter, cacao powder, dan cacao pasta. Ketiga jenis produk tersebut, meskipun bentuknya berbeda, secara prinsip merupakan produk oleh satu industri pengolahan kakao.

Mengingat hal itu, pandangan cerah saya menjadi nanar saat menatap tulisan “Welcome to every chocolate lover’s idea of heaven” yang terpampang di dinding toko. Dalam langkah pelan meninggalkan Beryl’s chocolate kingdom, saya berdo’a, semoga suatu hari nanti saya menemukan kerajaan macam ini di tanah air tercinta, dengan tulisan “Made In Indonesia” terpampang jelas di setiap bungkus coklat olahan, yang rasanya- tentu saja- harus lebih nikmat dari buatan Malaysia ini.n min

2 responses »

  1. 3 paragraf dari bawah menarik sekaligus miris. Kita menjadi produsen nomor 3 terbesar di dunia tapi kurang bisa mengolahnya… =( harga kakao pun stagnan..

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s