(From FB’s note, March 28 2010)
Saya rasa saya terpuruk.
Melihat lagi air mata itu, disana sini, buat saya seolah kehilangan harapan..
…..
Ini pernah terjadi 2007 silam.
Waktu java jazz berkumandang di bulan Maret, sudah saya siapkan dana dan niat. Buat saya saat itu, sekadar 400-600 ribu gak akan jadi msalah buat sebuah event yang geger setahun sekali. Informasi soal early bird juga udah ramai disana sini, ada woro-woro di dunia kecil saya. Rabu itu, saya sudah bikin janji buat ketemu teman saya untuk beli tiket hari sabtu plus special performance yang saat itu adalah Chaka Khan.
Malamnya, saya ga bisa tidur dan nonton berita di tivi. Klik.. wajah seorang ibu menangis karena bayinya mati kedinginan. Dampak banjir lima tahunan belom usai. Saya mengerenyitkan dahi, saat menonton. waktu itu saya -sebenarnya- memang ga terlalu mengikuti seperti apa perkembangan bajir lima tahunan yang nyaris menenggelamkan jakarta. Karena alhamdulillah rumah saya dan sekitarnya ga kena banjir. Jadi saya juga ga liat sendiri kaya apa itu semua. Siaran itu, flash di sebuah stasiun tivi, gambar air butek dimana-mana, pengungsian, air mata, kesibukan mengamankan barang sampai pernyataan aburizal bakrie, menko kesra pada waktu itu yang dengan damainya bisa bilang “mereka masih bisa ketawa kok, dunia belum kiamat, media ini melebih2kan aja.”
Selama setengah jam, acara itu berhasil memporakporandakan hati saya. Masih dalam kondisi berantakan, saya langsung menuju komputer dan browsing semua berita terkini tentang bajir bandang itu. Sampai saya akhirnya berani berkesimpulan bahwa cuma empati warga lain yg selamat, pemerintah yang punya rasa tanggung jawab dan kapal nabi Nuh yang bisa menyelamatkan Jakarta.
Saya batalkan janji beli tiket…
Kenapa?
Saya jadi inget cerita papa soal doa. Semua kita tau, doa orang yang teraniaya nilainya lebih tinggi untuk didengar dan dikabulkan. Kalau ada seorang pejabat korup dan akibatkan rakyatnya sakit hati kemudian mennyumpah hal2 buruk maka harusnya pejabat itu takut. Karena omongan itu doa. Jadi saat itu, segudang rasa bersalah buat saya ketakutan. Ketakutan jika korban banjir yang sejak sebelumnya juga sudah miskin itu menyaksikan riuhnya jcc, kemudian menyumpah serapahi orang2 didalamnya. Ga usah pake itu aja dosa saya udah banyak, amit2.
Pekan lalu, air mata itu datang lagi di depan wajah saya, juga dari channel tipi yang sebenernya cukup berlebihan mengekspos air mata. Masih air mata yang mirip, tapi kali ini kiriman dari karawang. Lokasi yang, kata penduduknya, gak pernah kebanjiran apalagi sampai sedahsyat itu. 6.119 rumah tenggelem di 7 kecamatan, dan jumlah pengungsinya sebanyak 5 ribu orang. Mirip dengan banjir dimanapun, air butek, tanah basah, pengungsian, dan mata-mata yang menatap kosong. Saya tergugu. Saya terpuruk. Sambil mengutuk. Mengutuki kejadian seperti ini yang terus menerus terjadi, mengutuk isu yang katanya banjir ini terjadi karena waduk memang di buka di karawang agar menyelamatkan jakarta, dan mengutuk diri saya sendiri. Karena ga pernah bisa melakukan apa2 buat melakukan perbaikan, karena dari tahun ke tahun cuma bisa melongo di depan tivi sambil menahan gemuruh di dada agar tak tumpah ruah,
Dan, astaga, Karena baru saja kemarin, seorang teman ajak saya nonton kings of convenience, ajakan yang bikin saya mengangguk-angguk semangat…
…
Mungkin Tuhan gak suka saya nonton konser ya?