(From FB’s note, February 20th 2010)
Tadi saya kembali ke hotel, hehehe..
Setelah sekian lama terdampar di kepulan asap rokok aroma politik di mimbar2 tertutup, saya kembali terdampar di ruangan ber AC maksimal, yang bikin saya menggigil. Bukan liputan perbankan. Tapi liputan golkar,,,
Gak penting memang, cuma penyegaran kader. Tapi, nara sumber golkar belakangan memang sedang sexy dan diuber pewarta berita. Karena konfliknya dengan demokrat, karena isu lobi-lobinya, karena ancaman reshuffle, karena kasus pengemplangan pajak dan sikap (sok) kerasnya di pansus..ya, bank century. Perihal kebijakan bail out yang dilakukan 2008 silam. Meradang rasanya dengan headline bertubi-tubi, dan running di seluruh media soal kasus itu. Saya setuju dengan beberapa narasumber diliuar politik yang belakangan saya temui. “Cepat saja selesaikanlah kasus ini biar pemerintah bisa fokus pada kesejahteraan rakyat”…
Demikianlah memang. Kasus ini menyita terlampau banyak perhatian. Perhatian yang sebenarnya tak diperlukan. Berlebih-lebihan dan membuat mual, apalagi buat reporter kaya saya. Sudahlah, kita semua tahu akan jadi apa ini semua. Kita semua juga tahu, kalau satu terbongkar, maka kita mungkin akan kehabisan pejabat dan anggota parlemen. Kasus ini, kaya cewek main bola. Pernah liat cewek2 main bola? Maksud saya, cewek2 biasa yang bukan pemain bola liga profesional. Lucu kan? Kalau permainan sepak bola beneran, kan ada back, ada kiper, ada penyerang, kalau cewek main bola, semua penyerang, semua back, bahkan semua kiper. Bola kemana, semua heboh seruntulan ngikutin bola. Gak ada pembagian peran disana. Dari pejabat, parlemen, pengamat sampe rakyat semua sok heboh pengen terlibat, pengen eksis, dan (mungkin) pengen masuk tv one.
Tapi apa? Beberapa waktu lalu saya sedang melangkah pulang dr kantor wapres, menunggu bis sambil pelanga pelongo. Sampai tatapan saya tertumbuk pada dia, seorang bapak yang usianya saya perkirakan sekitar 50-an. Nenteng-nenteng kantong besar dan berdiri termangu. Pandangan kosongnya menatap kebawah. Saya susuri pandangannya dan menemukan ceceran bekas makan para demonstran, yang heboh menjeritkan “Turunkan Boediono, Turunkan Sri mulyani, selesaikan centurygate”. Banyak sekali sisa-sisa nasi bungkus yang terlihat masih banyak isinya. Sepertinya hanya dimakan lima suapan, dan sisanya digeletakkan begitu saja di pinggir jalan. Sampah yang menyedihkan. Ya, menyedihkan karena bapak tadi menatapnya dengan syahdu. Tampaknya dia lapar, dan menyesalkan nasi serta lauk pauk yang tergolek malang itu berceceran begitu saja.
Jadi begitu ya? Menuntut pemerintah, menuntut keadilan, menuntut kebenaran tanpa bersikap adil, tanpa mengindahkan kebenaran yang hakiki. Apa bedanya para demonstran itu dengan koruptor? Apa bedanya mereka dengan pembuat kebijakan yang tak pro rakyat? Apa bedanya mereka dengan para pengusaha kaya yang mengemplang pajak? Cuma bisa omong kotor, menjerit-jerit, buat kepentingan yang entahlah apa. Entah memang buat rakyat, atau cuma buat kesejahteraan kelompoknya? Tapi kalau buat rakyat, kenapa harus sampai ada si bapak yang akhirnya berjalan melewati tumpukan nasi2 itu, sambil terus menengok ke belakang dan masih menatap makanan yang terbuang percuma itu.
Jadi apa bedanya kalian semua? Di mata saya, kalian semua sama. Yang heboh membuka diskusi, yang heboh membela diri, yang heboh mencecar dan menerkam. Indonesia, negara kesayangan saya, bangsa kebanggan saya yang kaya raya dan dianugerahi banyak kemakmuran oleh Tuhan ini sedang menggerogoti dirinya sendiri. Ada rasa sedih mengalun dalam dada. Tatapan bapak tadi, tatapan lelaki tua di kampung melayu yang berdiri saja sulit, tapi harus pungut sampah, ratapan sedih ibu yang anaknya menderita penyakit hidrocephalus, tatapan nanar anak-anak kecil yang ditelantarkan begitu saja oleh ibu bapaknya karena terhimpit hutang, sampai mata kosong boediono saat temani SBY keliling-keliling. Semua mata itu cuma bikin sedih..cuma bikin pesimis..
Kebebasan pers yang kebablasan, itu juga ambil peran besar. Hajar sana hajar sini, injek sana injek sini, saling terkam. Saya tau, semua orang benar dan semua orang salah. Semua punya dua sisi. Tapi adakah sedikit hadiah buat bikin semangat baru? Misalnya berita bahwa si bapak yang tadi menatap nanar nasi, mendapat bantuan modal dan kini ukm nya bisa dinikmati orang se indonesia, atau headline foto koran memperlihatkan senyum tulus dan lebar seorang kakek renta yang berhasil membesarkan cucunya seorang diri dengan jujur, susah payah sampai lulus kuliah dan sukses membuat terobosan untuk menumbuhkan pohon dengan cepat supaya hutan gak gundul. Satu saja, menyelip disela semua kabar buruk soal bangsa ini..
Satu saja, tapi tiap hari…
Satu saja, cuma buat bikin saya dan jutaan rakyat lainnya yakin, kalau sebenernya masih ada harapan buat Indonesia..
Satu saja…