“Kenapa sih Allah menciptakan manusia?” adalah hal yang beberapa kali saya tanya ke mama dan papa waktu kecil. Tentu saja mereka nanya balik “Kenapa nanya itu?” setelah itu tentu saja jawabanku berapi-api, tambah marah, kadang tambah air mata “Karena manusia bisanya ngerusak aja, enggak suka berbuat baik, ngejahatin binatang, nebangin pohon, bikin kotor, buat apa ada manusia???”
Baik mama maupun papa biasanya enggak akan menjawab langsung untuk detailnya tapi ngasih saya pengalaman supaya saya bisa mengambil makna dan melekat di jiwa. “Nanti kita cari tahu bareng-bareng ya,” biasanya begitu jawabannya.
Cari tau bareng-bareng itu bentuknya biasanya petualangan. Ke laut, ke gunung, ke pasar, ke kampung, road trip, dan membahas isi buku. Juga membahasnya dari kejadian-kejadian yang saya alami, misalnya…
Menyelamatkan anak kucing
“Mama, ini anak kucingnya kasian. Ibunya dibuang ke pasar sama tetangga, anaknya ketinggalan, kita boleh pelihara?” Setelah reminder untuk bertanggung jawab dalam ngurus anak kucing itu, mama suka nyelipin jawaban, seperti “Kamu seneng kan kalau bisa nyelametin anak kucing yang kasihan gini? kamu manusia, dan kamu berbuat baik. Kenapa?”
“Karena aku punya rumah, aku bisa nolongin, jadi aku tolong” lalu mama akan menambahkan “Berarti mungkin manusia lain yang enggak nolongin itu enggak ngerti, atau enggak punya rumah. Apa yang bisa kamu lakukan?”

(Ini Foto pre-wed kami, eits keliatannya emang gondrong semua itu kucing, tapi hasil rescue semuanya itu! hehe)
Menyelam di laut
“Ikannya banyak banget bagus-bagus, rumahnya juga bagus-bagus!!” karena buat nyelem-nyelem gini pasti papa yang nemenin, dia akan bilang “Nanti tuliskan, ceritakan ke semua orang bahwa di laut banyak ikan bagus-bagus, jangan dirusak rumahnya, nanti ikannya mati” Sayang ya dulu saya belum bisa motret dibawah laut, dan engga bisa langsung share ke sosial media. Hehe.
Dari setiap pengalaman, cerita, dan petualangan yang pernah saya alami itu, saya kemudian jadi belajar satu hal: Manusia punya kecenderungan menyerang yang lebih lemah. Mereka yang enggak bisa melawan, mereka yang enggak bisa bicara untuk membela diri, mereka yang tidak paham apa yang sedang terjadi jadi bisa dibodohi, dan mereka yang enggak punya sesuatu yang lebih (pikiran, tenaga, uang) sehingga hanya bisa diam.
Kita bahkan mulai melakukannya sejak kecil; ngerebut mainan anak yang lebih kecil, bullying di sekolah, nginjek serangga, misalnya. Lalu meningkat ke marahin ART atau supir (karena diajarinnya mereka punya strata sosial yang lebih rendah), nunduk-nunduk hormat ke pimpinan meski dzalim, diem kalo yang dateng pake seragam dan mobil mewah, atau menghardik tukang minta-minta.
Kalau kata Soekarno “Bangsa kita besar, tapi mentalnya kecil karena kelamaan dijajah, akhirnya jadi terbiasa dengan pola abdikrat”
Hewan-hewan kecil cuma dianggap hama, dan enggak pernah dicari solusi untuk tanaman yang dimakanin hewan-hewan itu selain inovasi pembasmi hama. Seolah-olah hewan engga punya hak pada tanaman yang kita tanam, seolah-olah dunia ini hanya milik manusia dan hanya manusia yang “kuat” aja. Solusi yang kita cari hanya setengah jalan, enggak pernah sampe akar masalah dan win-win solution untuk kedua belah pihak. Semuanya biar cepet aja, karena yang kuat tugasnya adalah menginjak yang lemah.
Padahal coba deh dipikir, saya sih ngaku aja nih ya, saya akan sangat kesulitan untuk melakukan semua ini kalau sendirian. Enggak ada bantuan dari ART, supir, atau orang-orang yang dianggap “rendah” secara strata sosial itu. Saya butuh banget mereka, maka mereka punya hak yang sama dengan saya lho, sesuai kesepakatan baik yang dibangun. Kita butuh banget serangga lho, supaya alam ini stabil. Coba kalau ulat dibasmi, enggak ada kupu-kupu, enggak ada bunga tumbuh subur juga. Kita butuh mereka yang dianggap “lemah” dan menginjak mereka yang dianggap lebih kecil dan lebih lemah itu, sesungguhnya hanya akan menghasilkan masalah baru.
“Pick someone your own size!”
adalah kalimat yang akan selalu saya ingat ketika belajar bela diri. Karena dari kecil, saya suka banget berantem, maka saya udah belajar bela diri dari kecil. Ternyata maksudnya orang tua saya justru biar saya enggak berantem lagi. Sebab ketika belajar bela diri justru kita jadi belajar defense, bukan offense. Bela diri itu justru ngajarin untuk enggak mulai duluan, enggak nyari masalah, menahan diri kecuali emang situasinya udah sangat kepepet dan membahayakan nyawa.
Mungkin mereka yang suka membakar hutan dan membunuh hewan itu enggak pernah belajar bela diri ya? Jadi enggak ngerti bahwa ketika pohon dan hewan enggak bisa melawan, artinya mereka bukan musuh. Artinya mereka lemah, dan justru HARUS DILINDUNGI, bukan diinjak. Mungkin mereka yang suka menghina orang miskin itu dulu waktu kecilnya juga diinjak sama orang yang lebih kuat, jadi dendam dan merasa bahwa tindakan itu benar. Mungkin tindakan mencelakakan yang lebih lemah itu jadi pembuktian bahwa mereka kuat dan tidak tergoyahkan. Padahal itu justru artinya mereka lemah, karena beraninya sama yang gak bisa melawan.
Cemen!
Padahal prinsip fair play di turnamen olahraga aja harus dengan klasifikasi yang sama, kan? Perempuan di kelas perempuan, laki-laki di kelas laki-laki, itu juga harus sama ukurannya dan kemampuannya. Makanya ada standardisasi pemain. Olimpiade untuk difabel aja masuknya ke paralympic kan, itu baru setara namanya. Mungkin kalau dalam kehidupan ada juga yang kaya gitu, kalau suami-suami yang suka nyiksa istri itu sebaiknya nyari istri yang sabuk hitam sebelum menikah. Biar fair berantemnya. (Jangan serius2 bacanya, bagian ini ungkapan kesel)
Sesungguhnya ini common sense
Iya, saya sering bingung, kenapa orang-orang dewasa yang suka rebutan uang dan kekuasaan ini tindakannya kaya anak ABG tawuran? Kayanya seharusnya kalau sudah dewasa dan matang prefrontal cortex nya kita semua punya yang namanya common sense. Tapi sejak belajar soal otak dan perkembangan manusia, saya juga jadi paham bahwa masalah utamanya adalah koneksi.
Kebanyakan dari kita enggak diajak untuk mengenal pola integrasi antara satu dengan hal lain di dunia ini. Kita cuma disuapin dengan ilmu-ilmu yang dinilai dan lulus karena mengejar sebuah path yang kelak disebut sukses. Gak peduli gimana caranya. Kita cuma diajarin bersaing, tanpa pernah diajak mengenal kolaborasi. Kita cuma diajarin untuk gemilang, tanpa pernah memikirkan perasaan. Karena emosi enggak pernah sepenting akademis.
Saya sering ngajarin tim saya bahwa akademis itu penting, tapi kalau cuma akademis, gak kurang contohnya di dunia ini. Coba deh liat Ne*any*hu. Kurang pinter apa bapak itu? Pinter banget kan pasti ya? Akademisnya pasti diatas rata-rata, tapi lihat apa yang dia lakukan? Apa common sense nya berfungsi? Apa dia sebenernya cuma butuh koneksi, tapi enggak paham gimana caranya, maka hanya sibuk ngurus yang dia rasa paling benar supaya jadi yang paling kaya dan berkuasa?
Ngasih makan rasa penasaran
Sekarang saya jadi ngerti kenapa orangtua saya memilih untuk menjawab lewat pengalaman. Mereka nurturing rasa penasaran saya, mereka bikin saya jadi paham dan bisa connecting the dots lewat knowledge, skills, dan attitude. Bukan jawaban cepat yang bikin saya nurut aja.
Pelajaran yang saya dapetin dari kehidupan ini yang bikin saya paham bahwa manusia butuh koneksi. Makanya kegiatan di AKAR, baik di Roots maupun peri bumi adalah untuk nurturing koneksi dalam kehidupan seseorang. Mulai dari hal-hal yang dianggap paling kecil dan paling gak penting kaya mengamati serangga. Science itu sebenarnya udah jelas ngajarin kita untuk melatih common sense supaya paham bahwa sampe ke kutu kasur aja ada manfaatnya di dunia ini. Kurang akademis apa itu, coba?
Tapi akademis yang dilihat dari kacamata koneksi. Akademis yang dilihat dari rasa sayang, sesuatu yang paling kita butuhin untuk hidup lebih dari apapun di dunia ini. Kalau aja kita bisa melihat segala sesuatu dari sudut pandang penasaran dan bukan judging, kita akan bisa melihat segala sesuatu dalam bentuk terintegrasi satu sama lain. Bahwa kita saling membutuhkan, bahkan enggak bisa hidup tanpa satu sama lain.

Berdiri diatas prinsip kebaikan dan kebenaran
Mama mengajarkan saya untuk melakukan segala sesuatu dari prinsip kebenaran dan kebaikan, bukan dari kebencian. Pertanyaan saya soal kenapa Allah menciptakan manusia itu berangkat dari kebencian, tapi saya enggak dikoreksi, justru dikasih kesempatan untuk belajar dan penasaran terus menerus.
Saya tau kok, perjalanan untuk mengubah perilaku dan mengubah nilai kehidupan itu bukan hal mudah dan tidak sebentar. Butuh waktu lama banget, tapi saya enggak gentar. Saya enggak pernah diajarin untuk jijik sama hewan-hewan kecil, kalau terasa mengganggu ya tinggal cari cara yang paling enggak kejam. Saya bahkan selalu diajarin untuk ngabisin makanan, bukan kasian nasinya nanti nangis, tapi diingetin bahwa saya hutang nyawa sama tumbuhan dan hewan yang saya makan. Mereka mengorbankan nyawanya untuk saya, supaya saya sehat dan makan makanan bergizi. Masa makanannya gak dihabisin? Harus habis dan harus optimal manfaatnya.
Saya harus bisa bermanfaat buat lebih banyak lagi. Oh dan saya juga enggak pernah dipaksa untuk bermanfaat, saya dikasih pengalaman yang membuat saya paham bahwa saya harus bermanfaat. Menurut saya, ini privillege saya. Punya orang tua yang cerdas dan strategis. Jadi harus saya optimalisasi dengan mengajak lebih banyak orang untuk sama-sama bermanfaat.
Di manapun saya berada, saya gak pernah capek buat ngingetin untuk banyak mengamati semua hal yang dianggap kecil. Kalau anak-anak, diajak kenal sama segala jenis hewan, diajak untuk enggak takut karenanya mulai dari yang paling harmless. Soalnya kalau dimulai dari rasa jijik atau takut, kedepannya jadi enggak peduli. Ini yang paling bahaya. Abai ini yang bikin kita lengah dan mudah ngikut sama perbuatan-perbuatan yang enggak etis. Apalagi ditambah DNA peninggalan kaum biasa dijajah, kan? Makin enggak bisa ngelawan kalau atasan nyuruh apa aja, termasuk menyiksa hewan, tumbuhan, atau bahkan orang.

Membiasakan anak-anak hidup dengan hewan, tumbuhan, dan saling berkasih sayang dengan orang lain, siapapun itu, akan membuat merekan peduli, dan sayang. Agar di masa depan enggak perlu lagi ada orang-orang yang keji sama indigenous, hewan, tanaman, dan apapun. Pada dasarnya kita ini semuanya cuma butuh koneksi. Tapi tuntutan gaya hidup yang didasari pola ekonomi, politik, dan society yang didasari pada kebiasaan menginjak yang lemah ini membuat kita bahkan lupa terkoneksi. Enggak usah jauh-jauh ke mana-mana, terkoneksi sama emosi diri sendiri aja lupa.
“Allah menciptakan manusia untuk saling menyayangi, menjaga, dan melindungi. Air matamu hari ini, akan jadi bekal untuk kekuatanmu nanti. Berani menyuarakan mereka yang lemah dan gak bisa bersuara, berani membela mereka yang diinjak tanpa keadilan, berani menjadi dirimu sendiri dan tidak perlu ikutan sama society yang memintamu untuk diam.”
Begitu kira-kira jawaban orang tua saya yang diungkapkan bertahap, pelan-pelan, lewat begitu banyak pengalaman. Kalau saya enggak punya mereka, mungkin saya enggak akan jadi seperti saya yang sekarang. Semoga Allah menyayangi dan melindungi mama dan papa, selalu.

Leave a comment