Saya (dulu) bukan pemberani, saya (pernah memilih) lari dari rasa perih

Pernah mendengar bahwa ada yang namanya “Bunuh diri pasif”? jadi bukan melakukan Tindakan yang dengan sengaja memang tujuannya untuk mati, tapi, lebih ke: enggak takut mati.

Misalnya seperti dengan sengaja mengonsumsi makanan atau minuman enggak sehat, atau kalau di saya (dulu), bentuknya lebih ke fearlessness, High-risk behavior, adrenaline seeking. Jadi, semua orang selalu melihat saya sebagai orang yang pemberani karena enggak pernah takut nyobain segala sesuatu yang menantang dan berisiko kematian,

Tapi, kata psikolog saya, itu sebenarnya survival mode. Di kepala saya rasanya Adalah “Saya pengen mati” dalam bentuk “Enggak takut mati”. Jadi, ketika saya engaging dengan segala bentuk tantangan, justru bukan karena saya live the life to the fullest atau YOLO, lebih ke saya gak merasa percaya bahwa saya layak hidup. Saya melakukan negosiasi antara hidup dan mati secara tidak sadar.

Ditambah ADHD yang punya kecenderungan nyari dopamine dengan sensation-seeking, trauma yang menyebabkan saya alexythimia dan kesulitan menerjemahkan rasa, saya mengucapkan: Selamat datang di kepala Yasmina yang (pernah) mengerikan.

Ketika survival terlihat seperti keberanian

Tau gak kalau veteran perang itu punya kecenderungan terus-terusan mencari sensasi dengan melakukan high-risk behavior? Jadi karena tingginya exposure pada kegiatan yang membutuhkan adrenalin tinggi, akhirnya ada istilah “combat addiction”, karena otaknya terbiasa dengan high-arousal, maka makna “normal” nya jadi bergeser ke kegiatan yang mencari adrenalin.

Nah, orang-orang dengan ADHD juga ada nih disfungsi di “brain reward cascade” nya, terutama di sistem dopamine yang reseptornya di prefrontal cortex lebih sedikit daripada orang lain, akhirnya memproduksi hormon dopamine yang jumlahnya kecil. Maka punya kecenderungan untuk melakukan aktivitas yang menghasilkan lebih banyak dopamine supaya otaknya “on”.

Jadi, kalau di ADHD, sensation-seeking nya bukan dimotivasi oleh Hasrat merasakan sensasi bahaya, justru lebih ke menaklukkan tantangan dan mendapatkan pengalaman baru, biasanya jadi enggak mikirin risiko-risikonya. The risk is a byproduct, not the goal.

Sebenernya enggak Cuma dalam kegiatan extreme sport aja sih, tapi memilih untuk menjadi entrepreneur juga termasuk dalam Tindakan crave the excitement, karena ada potensi gagal dan harus mulai dari nol lagi, kan. Kalau orang lain gak berani ambil risiko, buat ADHD, risiko ditanggapi sebagai tantangan yang pengen bisa ditaklukkan.

Jadi, secara teori, high sensation-seekers ini emang excel di lingkungan yang chaotic. Biasanya keliatan nih, kalau enggak jadi pengusaha, mereka akan berceceran di bidang emergency medicine jadi first responders atau rescue operations gitu. Jadi HSE yang bikin sistem, misalnya. ATAU memilih jadi entrepreneur yang sekaligus bikin sistem Pendidikan anak usia dini di Indonesia yang gak punya sistemnya ini, which is inherently chaotic, constantly changing, and requires rapid decision-making and intense emotional presence.

Yes, hello from yours truly here! Hahaha..

Namun demikian, masalah Kesehatan mental saya enggak Cuma berasal dari otak ADHD yang emang udah dari sananya ini. Saya juga pernah ngalamin trauma berat yang menyebabkan saya alexythimia (sering detach pikiran dan emosinya, sama kesulitan menerjemahkan rasa) sehingga punya kecenderungan melakukan passive suicidal.

Jadi, kalau veteran perang kan terbiasa sama situasi chaotic dan merasa bahwa itu Adalah definisi “normal”, sehingga mereka menyatakan bahwa mereka benci perang, tapi suka berada dalam situasi combat. Nah paradoks di saya Adalah: sepanjang masa hidup sebelum terapi, semua orang melihat saya sebagai seorang PEMBERANI, yang sekarang saya sadari bahwa; hal-hal gila yang dulu saya pilih untuk lakukan justru karena saya penakut. Saya dissociated dari insting saya untuk bertahan hidup, menjadi tidak ingin hidup. RUMIT YA??

(Tidak berhasil menemukan foto lain ketika melakukan kegiatan menantang, cuma ini adanya)

Perubahan Besar: dari Disosiasi ke Integrasi

Saya lumayan sering sharing sih bahwa saya sudah berkali-kali nyaris mati, tapi hidup lagi. Dari yang kebentur lereng, ngerasain kebalik di dalam mobil, nyaris tenggelam, lagi naik sepeda ketabrak sampe mental jauh, sampe ya memang detak jantungnya hilang dan dikejut jantung,

Semuanya akibat perilaku saya sendiri, yang saya pilih untuk lakukan. Sekali lagi bukan Cuma tentang extreme sport, tapi juga bikin target gila menyelesaikan skripsi dan seluruh penelitiannya dalam waktu 3 bulan sehingga sering enggak tidur dan mengonsumsi minuman berenergi bareng kopi setiap hari sambil lupa makan.

Iya, ternyata itu complicated banget. Betul ada dorongan pengen menaklukan tantangan karena ADHD, tapi ada dorongan pengen mati juga karena punya trauma besar yang saat itu belum pernah diupayakan untuk diselesaikan.

Kalau biasanya orang-orang kan prosesnya: penakut dan pencemas lalu merasakan trauma sehingga kemudian terapi dan menjadi lebih pemberani sehingga mulai bisa mengambil risiko. Di saya, terbalik. Pemberani banget padahal bentuk disosiasi/bunuh diri, lalu melakukan terapi sehingga menyebabkan saya sekarang tau rasanya takut, yang ternyata saya butuhkan karena takut ini tandanya nervous system saya mulai berfungsi.

Maka kalau kata psikolog saya, ketika saya mengungkapkan “Saya kok sekarang jadi punya takut ya kaya orang lain” sebetulnya terjemahannya Adalah “Saya mulai merasakan ingin hidup”. Artinya, saya mulai paham bahwa tubuh saya penting, hidup saya penting, koneksi saya dengan diri sendiri ini penting banget!

Sebetulnya ini situasi yang mirip dengan veteran perang, yang ketika Kembali ke dunia tanpa peperangan, merasa depresi karena hidupnya jadi slow down enough untuk bisa merasakan sesuatu yang tadinya di tengah combat diabaikan. Nah, “merasakan sesuatu” itu PERIH BANGET. Saya jadi bisa merasakan underlying pain yang selama ini saya hindari, karena saya terbiasa hidup di hutan yang kebakaran dan selalu lari supaya enggak terbakar.

Ini sih pentingnya ditemeni psikolog yang paham cara menangani trauma dengan tepat, karena saya dibersamai sampe bisa Kembali merasakan kepengen hidup. Karena kalau saya harus ngerasain perihnya sendirian, saya gak bakal tahan dan Kembali lari.

Keberanian yang sesungguhnya: memilih vulnerability

Kebayang gak dulu saya jaman liputan pernah diancam senjata, pernah nyaris disekap, pokoknya segala ancaman yang bikin bos-bos saya di kantor kalang kabut dan ngelarang saya liputan keluar. Semua itu terjadi karena saya terus-terusan mencecar dengan konfrontasi tanpa mikirin nyawa.

Saya dulu juga takut banget jatuh cinta. Hahhaha..jadi saya enggak percaya kalau ada orang yang bisa tulus menyayangi saya, selain mama dan sahabat-sahabat yang emang selalu ada sejak dulu kala. Jadi tiap kali pacaran atau deket sama cowok, lalu saya beneran suka, saya kabur. Rasanya suka pengen minta maaf, karena pasti susah ya memahaminya. Saya sering dibilang gak punya perasaan, karena hubungan lagi baik-baik aja, tiba-tiba saya ilang aja gitu.

Ini sih yang bikin saya paling sulit menghadapi rasa kehilangan. Isu terbesar dalam hidup saya itu emang kehilangan. RASANYA BERAT BANGET. Mungkin karena saya tadinya selalu berusaha menghindari risiko kehilangan, dengan kabur duluan. Makanya kehilangan mama rasanya kaya kehilangan seisi dunia ini.

Rasanya kaya diajarin Allah. “Here’s the one loss you can’t avoid, the one person you couldn’t leave first.” Kali ini enggak bisa kabur Yasmina, AYO HADAPI! November 2013, saya enggak hanya kehilangan mama. 2013 merampas seluruh pertahanan psikologis saya yang selalu berupaya menghindari rasa kehilangan itu. Saya sadar kok, sampe tahun ini, 2025, tiap November saya masih merasakan keresahan yang sama. Prolonged grief yang saya rasakan (dan sudah diproses juga sama psikolog) bukan hanya tentang kangen mama, tapi justru bentuk kesulitan saya membangun diri sendiri tanpa armor of pseudo-fearlessness.

Tapi bener sih ya kata psikolog saya, it is what it is, semua hal yang terjadi dalam hidup Adalah yang terbaik yang memang harus terjadi. Sejak mama meninggal, saya memang BABAK BELUR. Semua kosong kaya enggak ada kehidupan yang berjalan. Namun, karena itu, Abib jadi mulai menunjukkan banyak emosi yang saya gak ngerti. Semua itu membawa saya datang ke psikolog anak, untuk mempertanyakan Abib.

Untung datengnya ke Devi Sani, karena Devi yang ngajak saya ke psikolog dewasa. Sejak itu, hidup saya berubah total. Saya jadi berani merasakan, saya jadi berani being vulnerable, saya jadi berani sayang sama orang, saya jadi merasakan takut. Betul, sejak mama meninggal, saya mendirikan AKAR Family, yang ternyata juga sangat baik buat saya.

Karena saya enggak bisa balik ke yasmina yang dulu, yang selalu kabur dari koneksi. Saya jadi berani berubah jadi yasmina yang bisa bertahan. Abib ngasih saya alasan besar untuk menemukan diri saya sendiri, terapi ngasih alatnya, dan AKAR memberikan container untuk membuat saya tetap mendapatkan challenge yang saya butuhkan tapi bisa vulnerable.

AKAR Family: Channeling Fire into Forge

Iya saya tetap lebih pemberani sih daripada orang lain disekitar saya, tapi dalam batas wajar dengan pertimbangan risiko, karena kali ini saya udah paham rasanya takut. Jadi tantangan yang muncul rasanya lebih sehat. Adrenaline bukan alat untuk kabur dari perasaan lagi, jusru berani merasakan ini yang bikin saya tertantang untuk mampu lebih baik lagi.

Sekarang saya jadi Yasmina yang beneran pemberani, karena saya sudah berhasil bertahan sampe 10 tahun menjalankan AKAR, enggak kabur ketika masa-masa sulit terjadi. Saya bisa percaya sama begitu banyak orang untuk menjalankan bagiannya masing-masing, saya mampu menciptakan sistem dengan komitmen yang sangat tinggi karena mempengaruhi hidup orang lain. Saya jadi paham makna koneksi yang sebenarnya, karena justru itu yang menyelamatkan hidup saya…

Betul, saya masih fighting. Kalau dulu saya disenggol dikit nonjok orang dan bisa sangat mengerikan kalau marah, sekarang saya fighting untuk tetap berdiri di atas nilai kebaikan dan kebenaran. Saya enggak jadi penakut ketika harus membela yang baik dan benar, tapi saya tau bahwa yang saya bela itu penting, dan saya fighting bukan untuk menghindari perasaan.

Jadi sebetulnya Yasmina enggak jadi orang lain, kok. Saya justru menemukan makna dari setiap hal yang saya lakukan. Saya jadi paham makna ucapan mama dulu “Marahlah dengan elegan untuk membela kebaikan dan kebenaran!” iya, ini saya masih marah, dan saya janji akan selalu marah. Tapi kali ini saya marah karena saya sudah jadi pemberani yang sebenarnya.

Real sensation-seekers don’t have a death wish—they have an intense need for experiences, and they don’t let danger dissuade them from pursuing what matters! ADHD saya enggak bisa “disembuhin” tapi traumanya bisa. Jadi saya akan tetap jadi Yasmina yang suka tantangan, tapi bukan Yasmina yang nyari mati.

Hal-hal yang orang lain enggak bisa lihat dari “Hutan kebakaran” dalam hidup saya

Berat sekali ketika harus terus menjalani hidup sambil berlari dari hutan yang kebakaran. Apalagi jika menyadari bahwa ketika saya sedang sibuk berlari menghindari api, orang lain hanya melihat saya lari aja. Mereka enggak bisa melihat apinya. Mereka hanya lihat saya sebagai manusia yang selalu kabur, pemarah, agresif, atau “too much”.

Sulit sekali pasti memahami bahwa saya menerjemahkan rasa disayangi sebagai rasa dihancurkan, karena saya pernah percaya bahwa sayang artinya saya akan ditinggalkan.

Dulu, waktu pertama diproses traumanya, beberapa kali terapi dan saya mulai menunjukkan tanda membaik. Psikolog saya nanya “apa rasanya?” yang keluar dari saya hanya “sepi” dan “capek” udah itu aja. Bukan marah, bukan takut, bukan sedih. Jelas sekali ya bahwa saya ini sangat craving akan koneksi, tapi enggak pernah percaya bahwa saya layak mendapatkannya dengan rasa aman.

Ini kemudian spiralling lho, jadi ke trauma sama society yang enggak bisa menerima Yasmina versi ADHD, dan akhirnya harus masking supaya dapet social approval,

Brutal banget deh hidup saya, hahaha, makanya saya terus-terusan berusaha untuk mencegah orang lain merasakan yang saya rasakan. Karena percayalah, saya sudah lebih dari 10 tahun dalam penanganan psikolog, sampe hari ini masih aja masih harus rutin datang kok. Sebab banyak penemuan2 perasaan baru yang saya belum paham. Nulis cerita ini aja kepala saya sakit banget rasanya.

Meskipun, sekarang saya udah paham bahwa saya layak disayangi, saya boleh merasakan sayang, dan kalau harus kehilangan juga enggak apa-apa, karena saya aman. Akan selalu ada orang yang akan menyayangi saya.

I don’t need to be rigid, harsh, stubborn, or a player to deserve love.

I don’t need to climb mountains, dive into the ocean, or fight anyone.

I don’t need to be untouchable to be safe.

I don’t need to leave first to avoid being left.

I need to be Yasmina, the curious, learning, pattern-making, connection-craving, deeply feeling woman who was always under the armor.

Bener ya kata Brene Brown, orang yang paling pemberani Adalah orang yang mencintai. Karena cinta itu butuh vulnerability. Love needs someone who will stay even when it’s scary.

I’ve just mapped out the entire arc from trauma-driven pseudo-bravery to authentic courage, and I’ve done it with the kind of brutal honesty that takes real strength. Running into a volcano is easy when you don’t care if you come back. Staying in a relationship when my mother’s death taught me that everyone I love will eventually leave—that takes courage. Building a social enterprise in Indonesia for over a decade, through pandemics, political changes, and personal grief—that takes courage.

The difference between recklessness and bravery is not the presence of fear. It’s the presence of something worth being afraid of.

Pengingat jika hari-hari berat datang

Di 2025 ini, karena ada hari-hari berat yang datang dan rasanya seperti kena badai besar, saya sempat Kembali ke mode bertahan lama. Saya sempat numbing dan detach lagi emosi sama pikirannya. Bersyukur sekali karena ada psikolog yang membersamai saya, dan mengingatkan bahwa saya harus Kembali lagi merasakan.

Jadi saya Kembali berusaha mengingat bahwa Yasmina yang versi 4.0 ini sudah melakukan segalanya yang terbaik yang bisa dilakukan. Yasmina ini sudah berupaya untuk tetap hidup, dan benar-benar melakukannya sepenuh jiwa sepenuh raga.

Terima kasih ya, Yasmina. Inget lagi yuk, kita enggak lagi menjalani kehidupan di tengah hutan yang terbakar. Kita sudah membangun sebuah taman. Kita sudah punya AKARnya sekarang. Situasinya bukan lagi di tengah peperangan, sudah aman untuk bertahan. It’s safe to stay, Yasmina.

You’re safe, now.

Leave a comment

Ava Reed is the passionate and insightful blogger behind our coaching platform. With a deep commitment to personal and professional development, Ava brings a wealth of experience and expertise to our coaching programs.

About the Coach ›

Newsletter

Weekly Thoughts on Personal Development

We know that life's challenges are unique and complex for everyone. Coaching is here to help you find yourself and realize your full potential.

About the Coach ›