The english version is here
Kalau kamu Adalah pembaca blog-ku dari jaman dulu, kamu akan menemukan betapa banyaknya tulisanku soal Indonesia. Betapa besarnya rasa cintaku pada Indonesia, dan betapa inginnya aku melakukan sesuatu yang baik untuk masa depan anak-anak Indonesia.
Hari ini, 29 Agustus 2025, aku merasakan rasa takut yang sama dengan rasa takut yang kurasakan di 1998 saat kerusuhan dan kekacauan waktu menurunkan pemimpin pada waktu itu.
Aku merasakan marah dan sedih yang sama. Merasakan kehampaan yang sama.

Masa Kecilku
Aku dibesarkan oleh seorang Ayah yang Jurnalis dan seniman di masa ketika profesi itu Adalah profesi yang kesempatan hidupnya amat kecil karena selalu berada di bawah ancaman kekerasan pemerintah yang antikritik. Ibu yang bekerja di institusi pemerintahan dan setiap hari pulang dengan air mata, dan berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak akan pernah memilih untuk bekerja di jalur pemerintahan.
Tapi meski aku dan adikku dibiasakan untuk tidak menggantungkan harapan pada yang tidak bisa diharapkan, dan dibiasakan untuk mengupayakan segalanya yang terbaik dengan landasan kebaikan dan kebenaran, kami tidak pernah diajarkan untuk kehilangan harapan.
Ayah dan ibuku mengajarkan kami untuk selalu yakin bahwa segala perbuatan baik dan benar, akan menemukan jalan lalu menjadi cara untuk menemukan Solusi dari setiap permasalahan. Kami tidak pernah dibesarkan dengan kebencian, kami dipaparkan pada setiap bentuk kehidupan agar paham kondisi sekitar dari sudut pandang yang menyeluruh.
Meskipun demikian, ayah ibuku tidak pernah meng-encourage kami terlibat dalam demonstrasi dan protes. Waktu aku kecil dan remaja, aku sering diajak ayahku datang ke pertunjukan teater yang akhirnya dibubarkan bedil. Aku diajak ayahku liputan yang berujung gas air mata.
Setelah itu, ayah dan ibuku akan mengajak kami duduk Bersama dan berdiskusi, untuk mengelaborasi apakan cara-cara itu relevan untuk melakukan perubahan?
Kami sampai di sebuah Kesimpulan bahwa knowledge, skills dan attitude yang akan punya dampak besar dalam melakukan perubahan. Karena itu, meski jiwaku social justice warrior garis keras, aku tidak pernah sekalipun terlibat dalam demonstrasi. Tidak pernah ada di barisan protes. Tapi aku belajar dan merancang rencana integrasi untuk memperbaiki.
Jujur, Adalah nilai besar dalam keluargaku. Aku akan mengupayakan dengan seluruh jiwa ragaku untuk tidak pernah mengambil apa yang bukan hak-ku. Aku selalu berusaha sekerasnya untuk berlaku adil. Karena begitulah kami diajarkan, begitulah cara orang tuaku membesarkan kami. Makanya aku tidak pernah ragu dalam menerapkan boundaries, dan bilang “tidak!”.
Setelah aku belajar mengenai somatic, collective trauma, intergenerational trauma, aku jadi sadar, yang dilakukan ayah dan ibuku Adalah Upaya untuk memutus rantai trauma yang tertanam di DNA kami sejak jaman penjajahan dulu. Cara berpikir Abdikrat yang pola coping strategy berulang yang membuat kita terus-terusan mengulang Sejarah, dan mencoba mengatasinya dengan cara yang sama terus menerus.
Melakukan kekerasan yang sama, melawan kekerasan dengan cara yang sama, protes dengan cara yang sama, menularkan kebencian dari generasi ke generasi, pupus harapan yang sama lalu opsi berikutnya Adalah pergi dan meninggalkan Indonesia.
Kita kan udah pernah ngalamin ini berkali-kali ya. Tapi yang kita lakukan tetap cara2 bertahan hidup as we always knew from the past time. We are coping with that anger. We fight using the exact phrases, and we will offend each other before it blows into the same war we used to have…
This country has to move on. We should stop being in a state of fight-or-flight responses.
Berada di dunia Pendidikan
Aku memutuskan ada di dunia Pendidikan, setelah bertahun-tahun menyupayakan perubahan lewat jalur media dan menjadi jurnalis. Kenyataannya: nonsense. Situasinya setiap hari malah membuatku lebih sering merasa tidak punya harapan, karena menyaksikan yang dialami rakyat dalam perjalanan yang tidak pernah sinkron dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam berbagai rapatnya.
Waktu masih jadi jurnalis, aku akhirnya jadi seperti ibuku, yang pulang kerja dengan bersimbah air mata. Karena melihat berbagai kezaliman namun merasa tidak bisa melakukan apa-apa.
Akhirnya aku belajar, bahwa berperang tidak harus selalu dengan mengangkat senjata, tapi bisa memilih jadi tenaga Kesehatan yang fungsinya “Menyembuhkan”. Pernah nonton film Hacksaw Ridge?
Makanya 10 tahun lalu aku bikin Learning Center, iya, sebuah tempat untuk siapapun bisa belajar sepanjang hayatnya. Hidupku terasa jauh lebih nyaman, karena aku tau, aku sedang mengupayakan sesuatu yang besar, memberikan Pendidikan dan pengasuhan pada mereka yang nantinya akan jadi pemimpin bangsa ini. Berperang, melawan dan berjuang, tanpa senjata tapi dengan pengobatan juga pencegahan.
Aku berupaya memutus cara yang selama ini digunakan. Aku berupaya melakukan sesuatu tidak dengan landasan kebencian, tidak menyebarkan kalimat yang keji, tidak menularkan rasa sakit yang sama dari generasi ke generasi, tidak meracuni orang-orang dengan pesan kemarahan yang kasar.
DON’T LOOK BACK IN ANGER
Karena kalau kamu digigit ular, yang kamu lakukan kan berupaya mengobati lukanya, bukan mengejar ularnya dan mempertanyakan alasannya menggigit kamu, betul?
—
Puji Syukur, aku mengalami kerusuhan tahun 1998, tapi aku selamat dan sehat. Banyak orang lain yang tidak selamat dan membawa beban kepedihan sepanjang masa hidupnya, karena trauma kekerasan di tahun itu.
Aku yang hanya menyaksikan aja hidup dalam rasa ketakutan yang luar biasa. Aku gak terbayang apa yang terjadi dengan mereka yang merasakan kekerasannya, semoga Tuhan melindungi jiwa mereka, ya.
Luka menyaksikan aja membuatku sadar, bahwa aku tidak boleh mengulang pola yang sama. Karena pola menularkan kebencian itu hanya jadi bentuk balas dendam, dan percayalah gak akan ada hal baik yang datang dari balas dendam.
Pola itu harusnya berhenti, kita harus collective healing karena yang kita alami Adalah collective and intergenerational trauma. Kita harus menyadari bahwa kita terus menerus mengulang pola yang sama dan kita anggap sebagai Solusi. Kenyataannya, apakah ada dampaknya? Enggak signifikan, karena dari tahun ke tahun, kita terus berperang dengan saudara kita sendiri.
Mereka yang jengah tapi tidak punya kesempatan kemudian marah dan menularkan kemarahan, mengakibatkan lebih banyak orang celaka.
Mereka yang jengah dengan kemiskinan, mencari celah dengan cara apapun sehingga bisa duduk nyaman di kursi panas DPR atau pemerintah, lalu lupa bahwa mereka tadinya rakyat biasa.
Mereka yang dimiskinkan dan tidak diberikan hak Pendidikan berkualitas, merasa hilang harapan dan apatis lalu abai.
Mereka yang punya privilege juga seringkali abai, dan tidak mengingatkan pada anggota keluarganya untuk peduli, sehingga ketika ada masalah di negeri ini, Tindakan pertamanya Adalah kabur keluar negeri.
Mereka yang ada di kelas menengah, terlena dengan nyamannya dunia lalu tidak mengupayakan perubahan apapun, bahkan untuk dirinya sendiri.
Percayalah, ini terjadi terus dari tahun ke tahun. Padahal ketidakadilan tidak pernah berhenti terjadi dari masa ke masa pemerintahan. Bedanya hanya terekam kamera dan diketahui massa atau tidak.
Aku mencintai Indonesia sepenuh jiwaku, tapi ini Adalah bentuk cinta yang paling bikin hati pedih, karena aku harus mencintai negeri ini secara sepihak aja. Tidak berbalas.
Aku bahkan menyatakan cintaku pada orang-orang dengan pernyataan “Aku mencintaimu seperti aku mencintai Indonesia, sepenuh jiwa dan raga”
Karena aku sangat mencintai negeri ini, percayalah, kemanapun kaki ku melangkah, ada dimanapun aku, semuanya akan tetap aku upayakan untuk Indonesia. Sebab anak-anak butuh Pendidikan yang relevan dengan kehidupan mereka, mereka butuh tumbuh dengan gizi lokal yang ada di sekitar mereka harusnya tumbuh dengan subur, mereka berhak menikmati segala keindahan alam Indonesia, mereka berhak tumbuh dengan rasa cinta.
—
Semangatku selalu MELAWAN! aku akan terus melakukan perlawanan pada kekerasan, pada ketidakadilan, aku akan terus mengajak setiap orang untuk tidak diam saja, dan harus senantiasa mau melakukan perubahan menuju kebaikan!
Karena keadilan pada akhirnya harus tegak, dan kita semua harus bergerak bersama, siapapun, dimanapun, kapanpun. Aku melakukannya dengan AKAR FAMILY, dan seluruh unit didalamnya. Lewat pendidikan, lewat kasih sayang! Karena aku merasa marah, dan aku akan selalu merasa marah pada ketidakadilan yang terus di glorifikasi.
Namun, ibuku selalu bilang, marahlah dengan cara yang benar dan baik….
Jadi, hari ini, 29 Agustus 2025, bagiku Adalah hari yang melelahkan karena sejak bangun tidur air mataku tidak berhenti mengalir. Tanganku gemetar dan kepalaku luar biasa pusing. Lalu aku sibuk mengecek keadaan setiap orang, memastikan setiap bagian hidupku baik2 saja, dan mengingatkan untuk tetap saling menyayangi..
Karena percayalah, orang-orang yang jahat itu sebetulnya kasihan, karena mereka pasti tidak pernah merasakan cinta yang sebenarnya. Tidak pernah tau bahwa hidup terkoneksi yang saling sayang dan saling jaga itu tidak ada tandingannya. Tidak pernah tau rasanya dipeluk dengan penuh kasih sayang, lalu berada di sebuah lingkungan yang tidak pernah menyerah pada satu sama lain.
Cara kita mengungkapkan kemarahan Adalah energi mereka, bukan sesuatu yang bisa membuat mereka berhenti. Karena yang mereka tau hanya perlawanan artinya dibalas dengan kekerasan.
Sedih, kan?

Leave a reply to penaivana Cancel reply