
Belakangan saya lagi sering nonton film dan series cheesy dengan target audiences yang sebetulnya remaja. Hehe..karena sejujurnya, saya lupa banget apa sih yang terjadi waktu remaja? Sementara saya sekarang harus menghadapi anak 13 tahun yang fluktuasi emosinya seperti IHSG saat pandemi.
Setelah berbulan-bulan menyempatkan diri nonton tayangan-tayangan remaja itu, saya kemudian membuka lagi diary-diary lama sejak masa SD sampai kuliah. Diresapi dan diingat-ingat, ahirnya sampai pada Kesimpulan: Benar ya semua buku Daniel Siegel yang menulis “Remaja berusaha keras menjalani kehidupannya, setiap hari. Apapun yang mereka rasakan memang terasa sangat berat, karena otaknya sedang mengalami perubahan besar”
Pantas saja dibuat INSIDE OUT. Karena yang mereka rasakan sebetulnya berat sekali.
Dari semua tayangan itu, yang paling membekas di kepala saya adalah film “Kissing Booth” dari yang pertama sampai yang ketiga. Di mata saya yang 40 tahun ini; APA SIH MASALAHNYA SEBETULNYA? Hahahaha..
Kalau hanya melihat dari kacamata saya yang sudah dewasa ini, saya tidak paham sedikitpun apa yang sebetulnya terjadi dan menjadi konflik di film itu? Tapi kok kelihatannya melibatkan begitu banyak emosi didalamnya.

Berkaca ke masa remaja Yasmina
Well, sebetulnya, otak saya yang agak berbeda dengan orang lain – lengkap dengan berbagai pengalaman traumatis- sepertinya tidak perlu menunggu sampai usia 40 tahun untuk kebingungan pada begitu banyak emosi di sebuah tayangan remaja.
Otak ADHD yang late bloomers, ditambah kebiasaan masking dan numbing emosi, membuat saya mengalami banyak kesulitan untuk mendramatisir sesuatu. Buat saya, semua sederhana saja. Suka ya bilang suka. Tidak suka ya tinggalkan.
Berdasarkan catatan-catatan dari diary saya – untung nurut sama mama nulis diary tiap hari, karena kalau mengandalkan ingatan, enggak banyak yang diingat hehe- saya ini dari dulu ya begitu aja. Lempeng dan enggak peduli sama apapun, kecuali itu berhubungan sama keadilan, hewan, lingkungan, atau mereka yang tidak bisa menyuarakan isi kepalanya.
Kemampuan empatetik saya lebih banyak muncul pada kejadian-kejadian besar yang menggambarkan bahwa sistem di dunia ini tidak adil dan tidak menyenangkan. Saya kesulitan berempati pada kejadian-kejadian yang saya anggap enggak penting seperti pacaran, drama pertemanan, atau sekolah.
Iya saya pacaran kok, berkali-kali, tapi ya begitu aja. Saya juga enggak paham kenapa sih saya ganti-ganti pacar terus? mungkin bosan, atau ya penasaran aja. Karena biasanya drive terbesar saya adalah rasa penasaran.
Kalau pernah ada drama dalam kehidupan, biasanya terjadi karena saya berupaya keras untuk fit in di tengah lingkungan pertemanan. Padahal aslinya sih saya nyaman aja di kamar baca buku sendirian sambil elus-elus kucing. Enggak butuh-butuh amat bergaul.
“Elo waktu remaja enggak pernah merana, berarti ya?” tanya sobat kantor saya, si Dhani. Mendengar pertanyaan itu, saya jadi baru ngeh.
Iya juga, merana itu apa sih?
Sepertinya saya sudah punya lebih dari cukup masalah di keluarga, yang membuat saya kelelahan setiap hari, karena harus berpikir strategis terus. Jadi saya belajar untuk pura-pura 8-punya beragam emosi dari melihat reaksi orang lain. Saya melihat reaksi manis teman A ketika menghadapi teman B yang putus cinta. Saya mengamati teman C yang marah karena cemburu. Saya mendengarkan curhat teman D yang berantem sama temannya, karena hal yang, buat saya, apaan sihhh?
Pada akhirnya saya layaknya petugas BPS yang mengumpulkan data, dan mengolahnya agar bisa diterima Masyarakat sekitar karena saya mengeluarkan reaksi yang seragam. Sebab sebetulnya kita itu sulit menerima reaksi yang beragam, kan? Hehehe
Keterbatasan Pengetahuan Emosional
Tentang ini sudah beribu kali saya ceritakan di blog ini, ya, kayanya? Boro-boro meregulasi, atau mengelola, merasakannya aja enggak. Makanya saya baru mempelajari emosi dengan sungguh-sungguh dan bukan pura-pura, ketika ada Abib.
Karena saya jadi punya alasan besar untuk punya kompetensi tersebut. Tadinya kan, ah buat temen sama pacar doang mah, segitu aja cukup. Karena emosi genuine saya hanya muncul ketika Bersama mama dan adek saya. Sisanya, gak relevan.
Jadi perpisahan demi perpisahan yang saya alami juga ya sebetulnya terasa biasa saja buat saya. Karena kan, ya, nanti juga sibuk dan punya kehidupan baru. Atau kalau memang kangen banget ya kan bisa telepon atau menyediakan waktu untuk ketemuan.
Cara Allah mengajari saya
Lucu memang, semasa remaja, saat orang-orang lain justru sedang sibuk-sibuknya mendramatisir segala hal, saya …. Biasa aja.
Sayang kok sayang sama teman-teman, sayang, bener deh. Tapi enggak punya kebutuhan dan kompetensi untuk drama aja. Karena buat saya hitam-putih aja. Kalau sudah memilih temenan, ya jadi teman yang sebenar-benarnya. Kalau tidak nyaman, ya gak usah temenan.
Kalau sayang ya dibuktikan, bukan Cuma diomongin. Kalau enggak sayang, ya bilang aja. Well, meski saya dulu juga seringkali membatasi diri, karena enggak berani merasakan perasaan sedih atau sakit hati, maka, kalau pacarana dan suka beneran, biasanya saya putusin aja.
Tindakan itu saya anggap sebagai bentuk mitigasi risiko, biar enggak perlu merasakan sakit hati dan enggak perlu drama. Karena, percayalah, kalau kamu jadi saya, kamu enggak butuh drama. Hidup saya udah berat banget dari sananya, ditambah drama, nanti saya makin enggak kepengen hidup. Padahal saya pengen hidup biar bisa jagain mama dan adek.
Maka iya saya jadinya SUPER LATE dalam hal emosi. Baru kenalan sama berbagai emosi ketika punya anak dan saya terapi ke psikolog dewasa. Baru tau rasanya sedih, baru tau pedihnya ditinggal, baru tau merana. Meski sampai hari ini saya baru bisa merasakan cemburu ke anak-anak. Itu juga muncul kayanya lima tahun sekali huahahhaha..
(di mata saya rasa cemburu itu adalah rasa yang paling enggak rasional, jadi sulit banget diterima akal sehat, jadi sulit sekali terasanya. Mungkin karena saya enggak pernah merasa bahwa memiliki itu artinya eksklusif hanya buat saya)
Saya akhirnya dikasih hidup yang aneh untuk orang seumuran saya. Kejadian-kejadian di usia 35 ke atas itu justru seperti kejadian di usia remaja. Jadi ketika saya merasakan pedihnya, sepertinya segala emosi yang dulu ditahan, keluar semua all at once. Pedihnya luar biasa.
Tapi saya sudah tau bahwa pemberani itu bukan berarti tidak pernah takut, justru meregulasi rasa takut. Saya juga sudah paham bahwa mencintai itu adalah Tindakan yang paling berani, karena kita enggak akan pernah tau, apa yang akan terjadi kedepannya. Kalau berani mencintai, artinya berani menerima apapun kejadian buruk yang nantinya muncul. Sesuatu yang seumur hidup hanya saya berikan seutuhnya buat mama dan adek. (dan hewan peliharaan)
Ya otak kita justru terbangun dari rasa dan pengalaman. Maka saya sekarang jadi paham, kenapa orang-orang bisa drama. Meski sekarang sih sudah enggak punya energi untuk drama. Jadi sekarang, karena saya sudah cukup mampu berempati, saya jadi bisa memilih mana yang mau saya tanggapi dengan rasa, mana yang mau saya abaikan saja.
Mungkin Allah memberikan kejadian yang dilengkapi dengan emosi ini di usia dewasa karena gue baru punya kemampuannya sekarang. Ingat kan “Allah tidak akan memberikan ujian melebihi kemampuan hambaNya”? artinya kan kemampuannya dulu, baru ujiannya. Ya saya baru bisa dapet ujian itu sekarang.
Lucu ya?
Mungkin kalau dulu saat otak masih renovasi di usia belasan, saya dikasih kemampuan emosi seperti sekarang, maka jadinya masa depan saya enggak akan jadi begini. Saya sih percaya aja bahwa Allah sudah memperhitungkan strategi hidup saya dengan baik, supaya bisa achieve KPI nya. Hahaha
Kissing Booth
Oke, Kembali ke filem yang dibintangi sama mas-mas ganteng Jacob Elordi (yang gini-gini bikin motivasi nonton hahaha) itu. Cerita konflik yang muncul dari pertemanan dari bayi, cerita konflik percintaan, sampai ke cerita cemburu dan transisi senior year SMA, dan gagal saya pahami karena di kepala saya yang isinya Cuma strategi ini, ya semua itu mudah sekali.
Tapi endingnya di kissing booth 3 bikin saya manggut-manggut. Karena saya jadi paham; oh ya memang setiap orang harusnya merasakan drama-drama itu, sebab dengan kejadian seperti itu manusia belajar, bertumbuh otaknya, dan memahami emosi sehingga kelak di saat prefrontal cortexnya matang, ia mampu melakukan regulasi dengan baik.
Drama-drama itu memang sesuatu yang sebetulnya dibutuhkan remaja.
Ruwetnya kehidupan yang dimata saya enggak ruwet itu, adalah jalan menuju kematangan otak seseorang.
Saya jadi makin bisa catch up sama hidup Abib lho dengan me-recall ingatan dari diary dan tayangan remaja. Saya jadi bisa masuk ke dalam isu-isu yang sedang Abib alami, dan dia jadi selalu cerita sama saya setiap detail yang dia alami. Saya jadi bisa dengan mudah memahami apa yang terjadi sama dia.
Saya jadi bisa berempati dengan hal-hal yang dianggapnya sulit dan berat. Saya jadi paham kalau dia sedang marah dan sedih. Saya jadi bisa menempatkan diri di sepatunya.
Yang Mama lakukan ketika saya remaja…
Hal yang paling saya ingat soal mama adalah: waktu saya kecil mama itu galak dan tegas, semua harus disiplin dan sangat nagging soal kerapihan, ketepatan waktu, dan skill menjalani hidup.
Tapi waktu kami remaja, mama jadi teman. Mama enggak ngomel lagi. Mama catch up terus dengan segala hal yang saya lakukan. Mama selalu ada, dan selalu siap mendengarkan semua cerita saya. Menanggapi nya dengan serius, bahkan mendukung saya yang tergila-gila OASIS lalu geser ke music metal.
Jadi seberat-beratnya yang saya rasakan, saya tau saya punya mama.
Mama juga yang terus-terusan mengulang untuk saling sayang dan saling jaga sama adek, karena saya Cuma punya dia, dan dia Cuma punya saya. Mama juga yang ngasitau saya supaya nulis diary tiap hari, mungkin karena mama tau saya pelupa, jadi saya punya ingatan yang tertulis dan bisa saya recall Kembali saat dibutuhkan.
Seperti sekarang ini, ketika punya anak remaja.
Saya enggak tau kenapa mama sekeren itu. Tapi ada kejadian baru-baru ini yang membuat saya pengen sekali peluk mama.
Waktu interview sebagai rangkaian tes ADHD, salah satunya adalah interview seseorang yang mengenal saya sejak kecil untuk tau konsistensi perilaku dari kecil sampai sekarang. Tentu adek saya kan yang diinterview.
“Emang sih kalau ada teteh gue suka sebel, soalnya dia seenaknya, berantakan, dan berisik. Tapi gue inget banget kok, dulu, setiap kali kita berantem, pasti teteh yang ngalah duluan.”
Saya enggak inget setitikpun bahwa saya selalu ngalah, bahkan seinget saya, gak ada tuh kami disuruh ngalah, seringnya disuruh mikir hahaha. Tapi ingatan adek saya susah sih nandinginnya, dia detail banget. Mendengar ucapan itu saya….
Ya Allah, ternyata memang mama membesarkan kami dengan sangat baik. Mungkin karena itu juga saya bisa melewati masa remaja dengan mulus, dan bisa mengejar banyak sekali mimpi yang rasanya kalau dibayangkan, ya enggak mungkin bisa didapatkan.
Karena mama membuat saya thrive.
Saya punya mama yang enggak pernah menyerah, sebab sekarang saya tau banget betapa beratnya membesarkan anak seperti saya ini.

Leave a comment