2025 dan Pelajaran pentingnya mengenai makna membersamai

…Saya sempat terdiam cukup lama di hadapan layar setelah menulis judul untuk cerita yang ini. Bahkan saya butuh rehat, menunda nulis, Kembali lagi, lalu gak sanggup lagi, dan menunda. Lama sekali prosesnya satu tulisan ini selesai, padahal biasanya saya kalau nulis enggak bisa berhenti, dan saya bisa menulis dengan sangat cepat. Tapi tulisan ini, sulit. Karena rasanya masih sesak. 2025 adalah tahun yang berat sekali untuk Yasmina…

Rencana matang yang sidetracked sejak awal tahun

Sejak 2023, saya sudah merencanakan untuk Kembali kuliah, mengambil jenjang berikutnya yang selama ini enggak pernah saya rasa penting, karena saya pada dasarnya enggak suka sekolah resmi. Saya lebih suka belajar dari pengalaman, atau kelas-kelas pendek, dan tentunya baca buku.

Namun saya sadar, saya mendirikan tempat Pendidikan, seringkali harus berhadapan dengan pertanyaan soal gelar Pendidikan dan pengalaman studi. Tadinya merencanakan mulai di 2024, tapi ada kejadian besar di 2023 yang akhirnya membuat saya harus mendahulukan Pembangunan sistem di AKAR sepanjang 2024.

Sampai akhirnya di 2024 saya sudah matang memilih untuk mendaftar kuliah di universitas idaman. Semua persyaratan sudah lengkap, semua cara sudah diikuti, sampai sekolah anak-anak di negara itu juga sudah saya daftarkan, bahkan mereka sudah diterima.

Tiba-tiba di Januari 2025, saya dapat email balasan yang menyatakan bahwa saya enggak diterima. Saya balas emailnya dengan pertanyaan, dan dijawab hanya dengan statement “Anda tidak menggunakan template yang kami berikan” HAH? Gimana? Padahal saya udah pake semua template yang mereka kasih. Konversi nilai ke ECTS juga sudah semua.

Saya nanya balik dan ngasih bukti. Tiba-tiba email itu dibalas lagi dengan “Semua keputusan enggak bisa diganggu gugat”. Masih Januari lho ini. Patah banget hati saya. Tapi belum juga sempat meregulasi perasaan patah hati ini, sudah ada kejadian berat lainnya.

Kehilangan beruntun sejak Januari-Agustus

Januari itu juga, Cucut meninggal.

Kesedihan saya terus menerus terjadi dengan meninggalnya Pablo, Winter, dan Mia di bulan-bulan berikutnya. Kemudian Friday hilang, entah kemana. Padahal anak itu selalu pulang tiap hari, tapi hari itu dia enggak pulang, dan enggak pernah pulang lagi. Nyari keliling komplek, cek cctv komplek, nanya satpam, enggak ada yang lihat. Sudah 7 tahun kami tinggal disini, dan Friday gak pernah kemana-mana. Jiwa saya potek gak keruan. Kucing tua saya sisa Aling aja…

Buat saya, ini berat sekali. Beraaaaaaaaaattt sekali. Awalnya saya masih bikin postingan kehilangan di Instagram, supaya jadi memori. Cucut, winter, Pablo, dan Friday masih saya buatkan postingan. Ketika kehilangan Mia di Agustus, saya kehilangan semangat hidup.

Bikin postingan aja enggak sanggup. Padahal saya punya Kalender blogpost dan sosial media yang disusun untuk membantu saya jadi reminder, karena tahun ini saya diminta marketing untuk banyak cerita mengenai thought leadership. Bubar semua.

Saya masih bisa maksain sampe Juli, habis itu saya udah kehabisan napas. Kehilangan begitu banyak ini aja, bahkan belum sempat saya proses, karena di Mei, kehidupan di AKAR tiba-tiba babak belur gak keruan karena satu orang yang selama ini saya percaya ternyata merusak sistem dan bahkan culture.

AKAR Babak Belur

Di awal tahun, banyak rencana yang kami buat sejak Annual di Januari. Harusnya sudah cukup matang, apalagi dengan rencana untuk merapikan sistem agar lebih lancar pelaksanaan semuanya. Tapi di Q1 progress nya belom keliatan, malah kok rasanya makin berantakan.

Saya enggak bisa menemukan alasannya. Well saya tau sih bahwa ada 1 orang yang bikin sistem kacau, sehingga saya harus berkali-kali mengubah tools, melakukan penyesuaian disana dan disini untuk membantu pelaksanaan sistem jadi lebih mudah untuk semua. Tapi ternyata kekacauannya gak berhenti sampe di performance sistem aja, ternyata jadi kemana-mana.

Di Mei, kami ada event gabungan dengan beberapa daycare lain yang ternyata, akhirnya membuka fakta besar mengenai value violation. Orang yang tadinya saya pikir teman saya, ternyata bukan hanya mengacaukan performa sistem, namun juga ternyata orang yang melakukan value violation berat sehingga mengacaukan internalisasi value yang sebetulnya merupakan salah satu agenda penting 2025. (saya pernah cerita soal ini disini)

Kacau banget situasi saat itu, dan saya harus mengambil Keputusan besar untuk tidak lagi bekerjasama dengan orang yang ternyata mengacaukan hidup lebih banyak orang lainnya. Sayangnya, kekacauan ga berhenti sampai di hari orang itu tidak ada lagi di AKAR. Damage-nya sudah terlalu banyak sehingga mengakibatkan ripple effect kemana-mana.

Dari internal di back office, lalu permasalahan di jajaran pendidik, sampai ke orang tua murid, dan masalah jalur komunikasi yang enggak sesuai dengan value. Wah gila banget deh saat itu. Kerjaan saya yang tadinya sudah hampir beres justru jadi bertambah 10 kali lipat lebih banyak,

Bahkan untuk pertama kalinya saya traveling, yang emang rutin dilakukan tiap Juli itu, sambil tetap berupaya menyelesaikan pekerjaan. Damage ini masih terus terjadi dan baru mulai mereda di November dengan begitu banyak pivot, penggantian, perubahan, dan babak belur lainnya di internal.

Sedih sekali rasanya melihat anggota tim saya yang kerja sambil ngap-ngapan tiap hari. Ditambah harus ada pelatihan-pelatihan, dan event yang terjadi di akhir pekan. Rasa beratnya muncul karena saya Adalah manusia yang paling bertanggung jawab kan atas kehidupan semua anggota tim, partner, klien, orang tua murid, dan terutama anak-anak.

Kalau internalnya kacau karena ga stabil, gimana mereka mau membersamai anak-anak dengan optimal di sekolah, daycare, dan kegiatan-kegiatan lainnya? Saya juga sebenernya enggak nyangka, kok bisa ya satu orang yang bikin pelanggaran value bisa sampai meleber kemana-mana banget efeknya?

Sistem yang mulai jalan pun menyebabkan banyak pola yang tadinya tertutup jadi lebih transparan, kan. Maka semakinlah ketahuan bahwa selama ini BANYAK SEKALI hal yang ditutupi dari saya, banyak sekali pernyataan-pernyataan tentang saya yang salah dan disebar ke semua orang sehingga keluarlah statement bahwa saya ini: UNAPPROACHABLE.

Ini yang akhirnya bikin marketing membuat plan untuk saya lebih sering keluar dalam konten untuk menceritakan soal thought leadership. Sayangnya karena banyak banget ini yang terjadi all at once, saya drained.

Indonesia Babak Belur

Kita yang hidup di Indonesia, berasa banget ya tahun ini juga GILA-GILAAN. Mulai dari kebijakan-kebijakan yang Ajaib, demonstrasi Dimana-mana dan pecah kerusuhan di Jakarta pada Bulan Agustus. (saya pernah cerita soal itu disini) Sampai bencana yang menimpa Sumatra, dan juga banyak daerah lainnya karena deforestasi.

Rasanya makan aja ga selera ngebayangin rasanya jadi orang-orang lain yang hidupnya udah berat semakin berat di 2025 ini. Semakin pengen bikin sistem di AKAR bisa cepat thrive, tapi banyak sekali obstacle di dalam yang bikin saya harus mundur beberapa Langkah untuk terus perlahan ngebenerin kesalahan.

Kembali detach, dan kehilangan kepercayaan = Isolasi Diri (Vice Versa)

Karena AKAR babak belur, dan terlalu banyak emosi yang saya tunda untuk proses, saya jadi enggak sanggup ketemu manusia. Saya memilih untuk mengurung diri di rumah dan mengerjakan dokumen-dokumen yang penting untuk AKAR, sendirian.

Saya berusaha untuk menyelesaikan semua dokumen yang dibutuhkan untuk bisa menyelesaikan sistem di AKAR, dan itu jumlahnya ratusan, BANYAK SEKALI. Saya harus bisa ngejar semuanya dalam waktu cepat. Makanya saya di rumah mulu, dan jarang banget ke kantor, menolak kerjaan yang harus ketemu orang, nyaris gak pernah sosialisasi.

Apalagi ada kejadian-kejadian gila lainnya kaya anggota tim gue yang hilang selama 3 bulan, mbak gue yang mendadak sakit dan harus dirawat, belum lagi perkara ngurusin anak remaja yang bertingkah terus di sekolah. Berkali-kali berusaha menemani, dengan pikiran yang kemana-mana, tapi berusaha untuk tetap hadir buat dia. Ah udahlah capek banget kalo diinget.

Orang-orang diluar kerjaan yang masih rutin saya ajak ngobrol Cuma sahabat-sahabat kaya Dodon, Adhika, Stevy, dan sepupu saya di Bandung. Kayanya karena mereka ngerti kalau saya harus diseret untuk tetap ngobrol, supaya waras. Ya ini bener banget sih, kalo gak ada orang-orang ini mungkin saya udah lah kelar, hilang lagi kesadarannya.

Soalnya, tanpa saya sadari, saya mulai detach lagi. Iya saya kan punya kecenderungan numbing ya, saya biasa memisahkan pikiran dan emosi sehingga saya bisa tenggelam dan tersesat dalam pikiran saya sendiri sehingga kemudian enggak merasakan emosi apapun. Saya melakukan protective isolation. Beda sih ini ya antara memilih untuk sendirian karena memang sanggup jadi memang memilih untuk solitude from a place of strength dengan defaulting to isolation from a place of survival.

Psikolog saya bilang, “Kumat nih kamu, mulai lagi detach, mulai lagi numbing, ini definisi dari kesurupan nih, jiwanya hilang tersesat dalam pikiran. Kamu bikin dokumen, spiralling belajar dan terus hunger for more, sehingga kaki kamu lupa napak, kamu jadi lupa kalau kamu bikin dokumen ini untuk siapa? Kamu pengen buktiin apa ke siapa sih?”

(saya pernah cerita soal ini disini)

Ketika memilih untuk sendiri berubah jadi isolasi untuk bertahan hidup

Jadi bedanya antara healthy solitude dengan trauma response, gini..

Kalau orang-orang yang memang bisa enjoy ketika sendirian, biasanya justru mereka ini open-minded, dan conscientious, dan justru enggak merasa kesepian karena justru ini bentuk dari rasa kepercayaan diri tinggi yang emang orang-orang ini telah mengembangkan kemandirian sejati. Nah saya ini biasanya nyaman sendirian, kalau emang lagi butuh sendirian ya saya sendirian juga nyaman aja.

Namun karena 2025 ini kaya pintu gerbang neraka ya rasanya, kesendirian yang saya biasanya pilih untuk mendapatkan ketenangan malah berubah jadi cara bertahan hidup. Bentuknya jadi hyper-independence, karena kehilangan rasa percaya sama orang lain dan merasa bahwa self-reliance becomes the only option I trust.

Maka yang terjadi Adalah saya memaksa diri, saya berupaya untuk memperbaiki yang rusak dengan memaksakan diri karena merasa bahwa ini tanggung jawab saya. Semua ini harus bisa kelar, harus bisa Kembali baik, anak-anak saya harus kerja dengan wajar, situasi harus nyaman lagi, sistem bisa kelar cepat.

Boro-boro ngasih kesempatan buat merasakan pedihnya kehilangan, perihnya gagal, dan sedihnya dikhianati orang yang saya anggap teman; I masked those feelings this whole time, so people don’t have to know how chaotic I was every fucking day!

Dampaknya: exhaustion, loneliness, and resentment. Sungguh, ini BUKAN BENTUK DARI “BEING STRONG”. Bukan! Ini Adalah survival mode.

Untungnya psikolog saya yang luar biasa itu selalu bisa bikin saya Kembali ke tubuh saya sendiri. Dia bilang “This can happened because it came from the place of love, eventhough you love the people and this earth more than you can take.” Jadi harus ngapain? Mulai dari Langkah awal lagi, sayangnya sama diri sendiri dulu sebelum sayang sama orang lain, apalagi seluruh dunia ini. Perhatikan kebutuhan dirinya dulu, kasih dulu kesempatan untuk sedih, kasih dulu kesempatan untuk merasakan perihnya semua yang udah terjadi di 2025 ini.

Gak ada salahnya dengan memilih untuk sendirian, dan merasa nyaman saat suasana sepi. Itu justru boundaries yang dibutuhkan. Gotong royong yang sehat juga bukan terus-terusan harus bareng sampe kehilangan otonomi individual. Justru harus ada waktu untuk diri sendiri, tapi bukan membebani diri dengan rasa tanggung jawab yang lebih daripada yang harusnya dilakukan.

Mengizinkan istirahat, dan menemukan diri sendiri lagi

Ketika September itu akhirnya saya diingetin psikolog untuk enggak Kembali ke masa-masa berat saya tersesat di diri sendiri itu, saya jadi banyak ngasih waktu untuk bengong. Banyak ngasih waktu untuk merasakan, lalu bisa bilang sama otak “Terima kasih ya kamu sudah berusaha kuat banget untuk mencegah aku merasakan perihnya hidup sampe segitu banyak distraksi yang kamu kasih. Terima kasih, tapi aku harus bisa merasakan perihnya, jadi enggak apa-apa, aku bisa kok…”

Lalu ketika saya akhirnya bisa nangis, saya gak berhenti nangis, sampe enggak bisa angkat kepala dari Kasur, tapi ya enggak bisa tidur juga. Terus aja nangis, terus aja mengalir semua beratnya 2025 ini. Gak tau deh, rasanya gak keruan banget. Tapi pelan-pelan langitnya gak terlalu gelap lagi rasanya. Kaya akhirnya terasa ada Cahaya masuk.

Saya jadi mulai paham rencana Allah. Iya juga ya, kalau saya tahun ini berangkat kuliah, apa jadinya AKAR saya tinggalin dengan berbagai kejadian berat ini?

Saya juga jadi paham bahwa memang ini salah saya yang bias mempertahankan “teman” saya selama ini karena takut kehilangan, padahal mungkin tanpa saya dia jadi lebih thrive. Karena terbukti kan, tanpa dia AKAR jadi jauh lebih thrive. Damage dia banyak, tapi sistem yang kami siapkan terbukti efektif. Bisa berjalan dengan baik, justru tanpa dia.

Saya jadi ngerti kenapa Allah ambil semua anak-anak saya yang tua, sebelum ujian beratnya dikasih. Sekarang di rumah isinya dua anak mia, 1 anak yang saya ambil dari rumah mertua, 1 anak yang dikasih agung, Aling, dan Manggis. Cat elderly care berubah jadi childcare, dan rasanya saya terhibur sekali karena mereka main dengan gembira bikin hati saya senang.

Damage di AKAR juga ternyata ada dampak baik lainnya; internalisasi value koneksi jadi terjadi, dan kami bisa cleansing lebih efektif. Mereka yang enggak sesuai value, berguguran dan menyisakan mereka yang bisa diajak Kerjasama. Internal kami jadi makin erat dan justru makin bisa mewujudkan cita-cita sebuah tempat yang inklusif.

Saya juga jadi paham, bahwa saya tahun ini diajarin sampe bener-bener paham maknanya MELEPASKAN. Mungkin Allah sedang mempersiapkan saya untuk hal lainnya, karena saya percaya banget kok, gak ada ujian yang lebih berat daripada kemampuan seseorang. Saya juga percaya banget kalau Allah sayang sekali sama saya, Allah gak akan ninggalin saya sendirian.

Dikasih hadiah di jelang akhir tahun

Setelah September saya Kembali attach antara pikiran dan emosi, hal-hal baik mulai datang. Kaya hadiah ya rasanya, reward buat Yasmina karena berhasil tidak menyerah lagi tahun ini. Apakah aku lulus ya Allah? Semoga ya…

Mulai dari dikasih nonton OASIS di jepang (ada tulisannya disini), diundang summit Pendidikan di Doha, Qatar dan dapet BANYAK SEKALI pengalaman baru disana bareng sama Aboy. Dikasih kesempatan jadi Assessor di Good Start Challenge dan belajar banyak banget. Dikasih rezeki tambahan dengan hasil jadi Assessor di Microgrants nya OKC untuk jadi pemasukan sehingga program KAPTEN KEPIK bisa terwujud. Tahun ini, meski kami enggak berhasil bikin outing karena semua babak belur banget, tapi TEMU MAIN masih kejadian.

Meski ya sebenernya tahun ini saya cukup banyak ya jalan-jalan yang seneng, mulai dari awal tahun jalan-jalan ke Hongkong, lalu main ke Labuan Bajo habis lebaran, kemudian ke UK pas ulang tahun (ini juga sebenernya seneeeeeng banget), trus ke Jepang untuk OASIS, terakhir ke Doha untuk WISE 12. Tapi emang ya, kalau emosi gak dirasain itu jadi kurang bersyukur ya? jadi lupa sama betapa nikmatnya hidup saya sebenernya…

Saya juga jadi sadar betapa Allah membantu saya tahun ini gak ada job jadi speakers sama sekali. Saya justru lebih sering jadi mentor tahun ini, dengan bikin lesson plan dan melaksanakan beberapa program mentoring online semua pula, yang menarik jadi pengalaman baru untuk saya. 

Membangun Kebun yang seperti apa?

Banyak sih emang target yang gak achieved secara KPI di AKAR, tapi saya belajar banget untuk trust the process. Saya jadi paham banget bahwa hidup ini Adalah tentang Ikhlas. Hidup ini Adalah tentang memahami soal attraction. Kalau psikolog saya ngajarinnya dari perspective quantum physics, yang saling berkaitan seperti the law of attraction. Panjanglah kalau dibahas bisa satu buku hehe..

Tapi saya ini kan bisanya bikin kebun ya, nah ketika udah jadi tempatnya, saya harus bisa memilih; tanaman seperti apa yang akan saya letakkan di kebun saya? Apakah saya akan membuka taman saya untuk semua mahluk, sehingga tidak ada istilah hama, dan memberikan mereka kesempatan untuk menikmati hasil taman saya juga seperti konsep permaculture. Atau saya akan pake prinsip agriculture, yang menyemprot tanaman saya dengan pestisida, menutup kebun dengan pagar tinggi, dan menggunakan pupuk kimia?

Siapa yang mau saya attract? Mahluk-mahluk yang bisa diajak Kerjasama dan dipercaya dengan kesamaan prinsip, atau mahluk-mahluk yang transaksional dan membangun hubungan tidak dengan pola regenarational tapi memilih ekstraksi cepat tanpa mikirin apa yang akan terjadi di masa depan?

Pasti sudah terbayang kan kebun seperti apa yang sedang saya kerjakan?

Terima kasih ya 2025, semoga saya akan selalu siap untuk 2026 dan seterusnya kalau memang masih dikasih kesempatan untuk hidup…

Leave a comment

Ava Reed is the passionate and insightful blogger behind our coaching platform. With a deep commitment to personal and professional development, Ava brings a wealth of experience and expertise to our coaching programs.

About the Coach ›

Newsletter

Weekly Thoughts on Personal Development

We know that life's challenges are unique and complex for everyone. Coaching is here to help you find yourself and realize your full potential.

About the Coach ›