Penanganan Krisis Merokok di Indonesia Dimulai di TK, Bukan di SMA

(English version is here: Yasmina Medium)

Ketika Disiplin Diterapkan dalam bentuk Kekerasan, dan Kekerasan Menjadi Cerita yang dikemas sebagai bentuk “Kepedulian”

Belakangan ramai sekali isu mengenai seorang siswa di SMAN 1 Cimarga, Banten, yang tertangkap basah merokok di lingkungan sekolah. Sang kepala sekolah, yang bertindak atas apa yang banyak orang sebut sebagai “kepedulian terhadap masa depan siswa,” menamparnya. Orang tua siswa tersebut marah, mengambil jalur hukum. Kepala sekolah kehilangan pekerjaannya. Siswa-siswa melakukan protes.

Netizen terpecah menjadi dua kubu: mereka yang mengatakan anak-anak zaman sekarang terlalu dimanja, dan mereka yang mengatakan memukul siswa adalah pelecehan. Kalau dari postingan teman-teman yang se-angkatan (usia) dengan saya, banyak yang menyatakan “Jaman sekarang apa-apa ngadu sama orang tua, dan bikin guru jadi kehilangan pekerjaan. Padahal gurunya udah bener..”

Saya jadi rada bingung sebenernya, padahal dulu saya kalau diperlakukan kaya gitu sama guru rasanya sedih, marah, dan kecewa. Bahkan traumanya masih sisa sampe sekarang, membuat saya jadi sering merasa “kecil” karena terlalu sering di-“disiplinkan” tanpa pernah diberikan penjelasan atau diajak berdiskusi.

Akhirnya saya jadi mempertanyakan: Jangan-jangan perdebatan dalam kasus ini sebetulnya salah fokus?

Pertanyaan yang seringkali enggan dijawab orang-orang

Coba deh kita telaah dulu ya,

Jangan-jangan lingkungan terdekat siswa itu Adalah perokok? Secara statistik, sepertinya hampir pasti ya, di negara yang 63% pria-nya merokok ini. Guru-guru di sekolah itu? Mereka mungkin juga merokok. Di ruang guru. Tepat setelah memberikan ceramah tentang bahaya tembakau.

Pertanyaan saya berikutnya mungkin membuat kita enggak nyaman:

Jika siswa tidak diizinkan menampar guru yang merokok di sekolah, mengapa guru diizinkan menampar siswa ketika melakukan hal yang sama?

Iya, iya. Semua orang mungkin berpikir: “Tapi kan beda! Guru punya otoritas! Siswa butuh disiplin! Merokok itu berbahaya!”

Ya. Merokok MEMANG berbahaya. Enggak bisa disangkal. Tapi inilah yang telah saya pelajari selama bertahun-tahun bekerja dengan anak-anak kecil dan keluarga mereka di Akar Family: Jika kekerasan bukanlah respons yang tepat terhadap pelanggaran aturan yang mengalir ke atas dalam hierarki kekuasaan, maka seharusnya tidak tepat juga ketika dihadapkan dengan kasus yang mengalir ke bawah, kan?

Saat kita membenarkan satu pihak dan mengutuk yang lain, sebetulnya yang kita amini Adalah pengakuan pada sesuatu yang krusial: Ini bukan lagi tentang merokok. Ini tentang kekuasaan.

Orang Tua, Pendidik, dan Anak-anak yang Terjebak di Antaranya

Mari saya gambarkan situasi yang dihadapi para pendidik Indonesia saat ini, karena ini benar-benar membingungkan:

Skenario 1: Seorang anak merokok di sekolah. Guru mendisiplinkan mereka secara fisik. Orang tua menggugat. Guru kehilangan pekerjaan mereka. Narasinya: “Guru tidak bisa melakukan pekerjaan mereka lagi karena orang tua memanjakan anak-anak mereka.”

Skenario 2: Seorang anak terpeleset dan jatuh di taman sekolah. Tidak ada cedera serius, hanya lecet. Tapi orang tua menyerbu sekolah, menuntut untuk tahu mengapa itu terjadi, bahkan sampai mengancam. Narasinya: “Orang tua terlalu protektif dan tidak membiarkan anak-anak mengalami masa kanak-kanak yang normal.”

Skenario 3: Seorang anak kesulitan dengan koordinasi. Pendidik dengan lembut menyarankan kepada orang tua bahwa terapi okupasi mungkin membantu mengembangkan keterampilan proprioseptif mereka. Orang tua merespons secara defensif: “Jadi ini SALAH saya?” Narasinya: “Orang tua menganggap setiap saran sebagai penilaian.”

Kebayang ya polanya? Kita semua bingung.

Orang tua enggak tahu Batasan antara perlindungan dan memanjakan. Guru enggak tahu Batasan antara disiplin dan pelecehan. Siswa juga enggak tahu perilaku apa yang bisa diterima karena aturan terus berubah berdasarkan siapa yang memiliki kekuasaan pada saat itu.

Jadi siapa yang salah, dong? Hmmm… kenapa sih harus nyari yang salah? Emang gak mau ubah pertanyaannya jadi: “Jadi apa ya solusinya?”

Data yang Tidak Ingin Kita Hadapi

Sini deh, saya bagikan beberapa angka yang seharusnya membuat setiap orang tua dan pendidik Indonesia berhenti sejenak dari perdebatan aneh ini.

Realitas Merokok Indonesia:

  • Ada sekitar 61-77 juta perokok di antara 273 juta penduduk Indonesia
  • 63% nya Adalah pria, sementara 5% nya wanita
  • Kita adalah satu-satunya negara di dunia yang masih mengizinkan iklan rokok
  • Di antara siswa berusia 13-15 tahun: 20,3% menggunakan produk tembakau, dan 36,2% anak laki-laki merokok

Tapi yang paling mengenaskan adalah: Remaja dengan anggota keluarga yang merokok, 5 kali lebih besar kemungkinannya untuk menjadi perokok.

“Saya merokok karena ayah saya merokok di depan saya. Setiap hari saya melihat ayah saya merokok di rumah, saya pikir merokok itu menyenangkan dan hal yang lumrah.”

“Jika orang tua merokok di depan anak-anak mereka, sepertinya merokok itu biasa saja dan tidak dilarang sama sekali; jadi anak-anak juga akan merokok.”

Kebayang ya, masalahnya bukan merokok. Justru, merokok adalah gejalanya. Masalahnya adalah kita mencoba menampar perilaku yang kita contohkan di rumah dan di lingkungan terdekat seorang anak.

Dan inilah dampak ekonomi yang jarang kita bicarakan: Ketika pengeluaran keluarga meningkat karena tembakau, otomatis mereka mengurangi pengeluaran untuk beras, protein, dan pendidikan. Anak-anak yang tinggal dengan orang tua perokok kronis tumbuh 1,5 kg lebih ringan daripada anak-anak dengan orang tua yang tidak merokok.

Kita enggak hanya memodelkan kebiasaan yang tidak sehat. Kita bahkan mencuri hak perkembangan anak-anak, hanya untuk memberi makan kecanduan.

Serba salah, kan? Merokok jelas merugikan, tapi tetap dilakukan bahkan dicontohkan. Namun ketika anak tertangkap merokok, ia mendapatkan hukuman kekerasan. Kenapa anak harus ditampar karena melakukan sesuatu yang dilakukan oleh panutannya?

Apa yang Dipelajari Dunia (Sementara Kita Masih Memperdebatkan perkara salah atau enggak sih Memukul Anak yang kedapatan merokok)

Saya mencari kasus serupa di negara lain; seorang guru secara fisik mendisiplinkan seorang siswa karena merokok. Enggak ketemu. Ternyata, bukan karena merokok enggak terjadi di sekolah-sekolah di tempat lain. Tetapi karena yang jadi concern sudah bergerak maju.

Di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia:

  • Hukuman fisik oleh guru sudah dilarang secara sistematis sejak tahun 1980-1990-an
  • Bahkan di 19 negara bagian AS yang secara teknis masih legal, tetap memerlukan protokol ketat, persetujuan orang tua, dan saksi
  • Seorang guru yang secara spontan menampar siswa karena alasan APA PUN akan menghadapi tuduhan pidana langsung

Ketika siswa merokok di negara-negara ini:

  • Pelanggaran pertama biasanya melibatkan: penyitaan, pemberitahuan orang tua, konseling, materi pendidikan tentang dampak kesehatan
  • Pelanggaran berulang: skorsing, program pendidikan wajib, dukungan penghentian
  • Apa yang TIDAK mereka lakukan: hukuman fisik

Bagian yang menarik: Penelitian menunjukkan bahwa konseling dan pendidikan untuk siswa yang tertangkap merokok LEBIH efektif daripada pendekatan yang murni disipliner. Hukuman keras TIDAK terkait dengan penurunan tingkat merokok.

Tahu gak, apa yang paling ngaruh untuk menurunkan angka siswa merokok? Kebijakan sekolah komprehensif ketika guru JUGA enggak bisa merokok di lingkungan sekolah.

Di negara-negara dengan kontrol tembakau terkuat di sekolah:

  • Larangan berlaku untuk SEMUA ORANG—siswa, guru, staf, pengunjung
  • Mereka menghilangkan kemunafikan yang merusak semua otoritas
  • Mereka mengakui bahwa pendidik enggak bisa dianggap kredibel ketika mengajari anak-anak untuk tidak merokok, tapi dirinya juga merokok

Hukum di New Zealand bahkan menyatakan ilegal bagi SIAPA PUN yang merokok di lingkungan sekolah. Bukan hanya siswa. Semua orang.

Kebayang kan jika kita melakukan itu di Indonesia? Perlawanannya akan sangat besar. Karena kita akan meminta orang dewasa untuk berubah, bukan hanya menghukum anak-anak untuk perilaku yang kita contohkan.

Pertanyaan yang Mengubah Segalanya

Bagaimana jika siswa SMA di Banten itu enggak merasa bersalah ketika merokok karena orang tuanya merokok di depannya? Bagaimana jika seluruh lingkungannya merokok? Bagaimana jika setiap panutan pria dewasa yang ada disekitarnya merokok?

Kalau begini, sebenarnya apa sih yang dicapai dengan menampar anak merokok? Anaknya aja enggak paham bahwa yang ia lakukan itu salah, lho.

Jadi tamparan itu enggak lantas membuat ia merasa bersalah atau paham. Justru menciptakan:

  • Kebingungan: “Kenapa orang ini memukul saya untuk sesuatu yang ayah saya lakukan setiap hari?”
  • Kebencian: “Sekolah adalah masalahnya, bukan merokoknya”
  • Keterampilan bohong yang lebih baik: “Lain kali, jangan sampe ketahuan”
  • Ketidakpercayaan pada otoritas: “Orang dewasa gak bisa diprediksi dan kejam”

Seorang anak yang enggak merasa bersalah tentang perilaku yang berbahaya biasanya karena ia belum paham alasan hal itu berbahaya.

Jadi ini bukan kegagalan moral. Justru adalah kesempatan perkembangan.

Sayangnya, kita enggak bisa menampar seseorang kemudian berharap ia jadi paham, lho. Percaya deh, enggak akan bisa.

Hal terpenting dalam Mencegah Krisis

Ini dia kenapa saya fokus sekali dengan pekerjaan yang saya lakukan di AKAR Family.

Soalnya, saya sadar betul bahwa insiden merokok SMA Itu ENGGAK dimulai di SMA.

Justru dimulai ketika anak itu berusia 2, 3, 4, 5, 6 tahun dan sistem di sekitar mereka:

  • Memodelkan merokok tanpa penjelasan
  • Menggunakan hukuman tanpa koneksi
  • Memprioritaskan kepatuhan sebelum memberi pemahaman
  • Melihat perilaku sebagai pembangkangan ketimbang komunikasi
  • Membangun struktur kekuasaan melebihi hubungan

Pada saat seorang anak berusia 16 tahun merokok dan ditampar, kita berurusan dengan hasil akhir dari 15 tahun kesempatan yang terlewatkan.

Makanya di Akar Family, kami bekerja di awal. Bukan di akhir.

Seperti Apa Sebenarnya Pencegahan yang dimulai dari Anak Usia Dini?

Ketika seorang anak berusia 3 tahun di Roots belajar mengatur emosinya—mengambil napas dalam ketika frustrasi, menamai perasaan, mencari koneksi dengan orang dewasa yang dipercaya—Ia membangun fondasi untuk mengelola stres tanpa rokok kelak di usia 15 tahun.

Ketika seorang anak berusia 4 tahun terbiasa diberi batasan yang dilakukan dengan empati—”Saya bisa melihat kamu marah. TAPI kita tidak memukul. Mari kita temukan cara lain”—ia belajar bahwa orang dewasa dapat membimbing mereka melalui tantangan tanpa kekerasan, membangun kepercayaan yang diperlukan untuk meminta bantuan kelak di masa remajanya.

Ketika seorang anak berusia 5 tahun belajar literasi mengenai tubuhnya—memahami paru-paru mereka, bagaimana tubuh mereka bekerja, mengapa tubuh layak dirawat—ia menginternalisasi rasa hormat pada tubuhnya, yang kelak akan membantunya melakukan evaluasi secara kritis jika kelak mengalami tawaran merokok dari orang lain.

Ketika seorang anak berusia 6 tahun didorong untuk mempertanyakan norma sosial—”Hanya karena semua orang melakukan hal itu, bukan berarti hal tersebut baik untuk kita”—ia membangun keterampilan berpikir kritis untuk menolak tekanan teman sebaya dan ekspektasi budaya.

Ketika seorang anak berusia 7 tahun mengembangkan persahabatan autentik dan harga diri yang kuat—”Teman menerima saya apa adanya”—ia menciptakan fondasi untuk mengatakan “tidak”, dan ia paham banget, enggak perlu rokok untuk membuktikan dirinya sebagai bagian dari suatu kelompok pertemanan.

Ini adalah pencegahan. Pencegahan nyata. Bukan menampar remaja dan menyebut perilaku itu sebagai tindakan disiplin.

Memutus Rantai Kesalahan Antargenerasi

Melalui pekerjaan komunitas parenting kami, saya telah belajar sesuatu yang krusial: Orang tua dari anak-anak usia dini masih lebih mudah menerima perubahan. Mengapa? Karena anak mereka masih terasa “bisa diperbaiki”. Polanya belum mengeras.

Makanya penting untuk mulai dari percakapan yang jujur:

  • “Saya merokok, DAN saya bisa menceritakan ke anak saya bahwa sebetulnya saya berharap saya gak memulainya”
  • “Saya belum bisa berhenti, DAN saya pastikan anak saya tidak pernah melihat saya merokok”
  • “Orang tua saya memukul saya, DAN saya memilih cara yang berbeda untuk membimbing anak saya”
  • “Budaya kita menormalisasi merokok, DAN saya bisa membantu anak saya berpikir kritis tentang norma budaya”

Ini bukan percakapan tentang kesalahan. Ini adalah percakapan tentang memutus rantai.

Pekerjaan Sistem: Mengubah Budaya Sekolah dari Akarnya

Di Akar Family, kami enggak hanya mendidik anak-anak secara individu. Kami membangun bukti dari sebuah konsep yang penting bagi pendidikan Indonesia:

  • Kurikulum berbasis koneksi yang melihat perilaku sebagai komunikasi
  • Guru yang dilatih dalam ko-regulasi, bukan hanya manajemen kelas
  • Sistem yang dibangun berlandaskan hubungan, bukan sekadar kontrol
  • Kebijakan yang dibuat berdasarkan ilmu perkembangan, bukan hanya tradisi

Kami percaya, jika konsisten terus diterapkan, maka anak-anak yang dibesarkan di lingkungan terkoneksi sejak usia dini, kelak di SMA (jika sistem di negara ini masih seperti sekarang) akan berbeda, secara fundamental. Karena kami menghubungkan sistem saraf mereka untuk terkoneksi, pikiran mereka untuk berpikir kritis, dan tubuh mereka untuk menghargai diri sendiri.

Percakapan yang Perlu Dimiliki Indonesia

Nah, jika kita kembali ke kasus di Banten. Baik kepala sekolah, orang tua, maupun siswa tersebut, mereka semua terjebak dalam sistem yang rusak jauh sebelum momen viral ini terjadi.

Kepala sekolah mungkin melakukan apa yang selama ini dialaminya. Melakukan Tindakan disiplin berdasarkan satu-satunya paradigma yang dia tahu. Orang tua melindungi anak mereka dari kekerasan, padahal tanpa sadar memodelkan perilaku yang membuat anak mereka bermasalah. Sementara, siswa terjebak dalam posisi yang sebetulnya mustahil untuk dihukum oleh orang dewasa, karena ia melakukan apa yang dilakukan orang dewasa lain di sekitarnya dengan bebas.

Semua orang kalah. Karena kita menyelesaikan masalah yang salah.

Masalahnya bukan: “Haruskah guru diizinkan memukul siswa yang merokok?”

Masalahnya adalah: “Mengapa kita menunggu sampai anak ini merokok untuk melakukan sesuatu? Mengapa kita tidak membangun fondasi untuk kesehatan, koneksi, dan regulasi diri di awal kehidupan mereka? Dan mengapa kita meminta sekolah untuk menegakkan standar, yang bahkan enggak dipegang oleh rumah dan masyarakat?”

Mari kita sama-sama bergandengan tangan

Percaya deh, orang tua itu perannya BESAR SEKALI. Bukan “Sekadar” membesarkan balita, namun mencegah krisis yang belum terjadi. Jadi setiap kali kita: Memilih membangun koneksi sebelum kepatuhan, Memberikan contoh perilaku yang diharapkan dilakukan anak, Membantu anak memahami emosi, enggak hanya fokus mengontrol perilakunya, dan Mempertanyakan skrip budaya “begitulah cara kami melakukannya”…

Kita sedang melakukan pekerjaan pencegahan. Kita menginterupsi sebuah siklus. Kita melakukan aksi nyata membangun Indonesia yang selama ini hanya jadi wacana, tetapi terus gagal diciptakan.

Bukan hanya orang tua, pendidik anak usia dini pun punya peran yang tak kalah besar. Bukan “hanya” mengajar warna dan ABC. Justru menghubungkan sistem saraf untuk hidup. Pendidik adalah kekuatan pencegahan utama untuk setiap krisis masyarakat yang dicoba untuk diselesaikan di hilir—kekerasan, kecanduan, penyakit kronis, kehancuran lingkungan. Pekerjaan pendidik jauh lebih penting daripada yang diakui masyarakat.

Pembuat kebijakan atau administrator sekolah, ada baiknya: Berhentilah menginvestasikan semua sumber daya kita di titik krisis. Siswa SMA yang merokok itu? Percayalah, sekolah enggak bisa mendisiplinkan hal yang sejak awal gagal dicegah. Tapi sekolah DAPAT mencegah apa yang saat ini didisiplinkan.

Investasikan dalam pendidikan anak usia dini berkualitas. Dukung orang tua. Latih pendidik mampu menerapkan pendidikan berbasis hubungan erat. Bangun fondasi sebelum keburu terjadi krisis.

Pilihan di Hadapan Kita

Masyarakat Indonesia boleh aja terus berdebat tentang tindakan memukul anak yang merokok bisa diterima atau tidak. Meski ya ujungnya entah kemana ya, seperti yang sudah-sudah…

Atau, kita bisa mengakui bahwa kita adalah bangsa yang berhadapan dengan realita pahit: Orang dewasa merokok dengan bebas, Iklan rokok ada di mana-mana, Tembakau terjalin dalam budaya dan struktur ekonomi kita, Kita meminta anak-anak untuk tidak melakukan hal-hal yang sebetulnya dicontohkan terus-menerus oleh orang dewasa.

Namun, kemudian bertanya: Gimana jika kita saling bergandengan tangan mengubah sistem, ketimbang menghukum anak-anak yang dibentuk sistem yang enggak ideal?

Inilah pekerjaan yang kami lakukan di Akar Family selama ini. Bukan karena kami naif sama tantangannya. Kami sadar betul kok, tantangannya BESAR. Tetapi kami telah melihat dampak dari berbagai praktik baik yang selama ini dilakukan, jika kita semua menginternalisasi nilai kebaikan dan kebenaran sejak awal.

Kami membangun Roots Daycare, Roots Preschool, dan Kindergarten sebagai laboratorium untuk memformulasikan cara yang berbeda dari praktik yang kurang pas sama kebutuhan anak tumbuh dan berkembang. Kami mendukung orang tua melalui program komunitas untuk memutus pola antargenerasi. Kami membuat kurikulum yang menghubungkan anak-anak dengan tubuh, emosi, hubungan, hingga ke bumi, tempat mereka tinggal—mengajari mereka untuk berpikir kritis tentang segala hal, termasuk norma budaya yang merugikan.

Dalam setiap tarikan napas yang kami ambil, dan Langkah yang dijalani sepenuh hati, kami membantu keluarga memahami bahwa pilihan mereka hari ini membentuk besok. Bahwa hanya karena semua orang melakukan sesuatu enggak lantas membuat hal itu benar dan baik. Bahwa kita semua memiliki kekuatan untuk memutus siklus.

Dengan sepenuh jiwa dan raga memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa mereka dapat membuat pilihan yang berbeda dari generasi sebelum mereka. Sambil mempertahankan hubungan. Sambil menghormati budaya. Sambil membangun sesuatu yang baru.

Kasus tamparan yang memulai tulisan ini mengungkapkan hal yang wajib kita revisit:

Selama ini, kita mengasuh dan mendidik anak-anak hanya untuk mengontrol mereka. Kita menjalankan sebuah sistem, yang bahkan enggak memberikan panduan untuk membimbing dan membersamai tumbuh kembang anak-anak.

Cara disiplin lewat kontrol tidak mengarahkan siapapun menuju koneksi hati yang paling dibutuhkan manusia. Saling sayang dan saling jaga bukan diterapkan lewat kontrol.

Jadi, yuk, berhenti menormalisasi Tindakan kekerasan dalam bentuk apapun. Berhenti menyatakan “Dulu gue juga begitu dan gue baik-baik aja” karena mungkin kamu belum menyadari aja, bahwa engga akan ada yang “baik-baik saja” jika dibesarkan dalam pola kekerasan.

Ilmu pengetahuan terus berkembang, jangan terus-terusan terjebak dalam nostalgia masa lalu, menampar remaja tidak akan membuatnya jadi lebih baik. Berhenti menghukum gejala dan mulai menangani akar.

Mari kita berhenti berdebat tentang metode disiplin dan mulai membangun sistem anak usia dini yang membuat disiplin keras tidak perlu lagi diterapkan.

Indonesia yang kita inginkan dimulai di prasekolah, bukan di “kantor kepala sekolah”.

Leave a comment

Ava Reed is the passionate and insightful blogger behind our coaching platform. With a deep commitment to personal and professional development, Ava brings a wealth of experience and expertise to our coaching programs.

About the Coach ›

Newsletter

Weekly Thoughts on Personal Development

We know that life's challenges are unique and complex for everyone. Coaching is here to help you find yourself and realize your full potential.

About the Coach ›