(Review) The Happiness Project

Gallery

“One April day, on a morning just like every other morning, i had a sudden realization: i was in danger of wasting my life. As i started out the rain-spattered window of a city bus, i saw that the years were slipping by. ‘What do i want from life anyway?’ i asked myself. ‘Well..i want to be happy.’ But i had never thought about what made me happy or i might be happier. “ (the Happiness Project-Gretchen Rubin)

Kalimat tersebut yang membuat saya tertarik sama buku kecil warna biru, yang suatu hari itu saya temukan di periplus kemang. Akhirnya saya beli buku ini dan saya baca, habis tepat di awal 2014.

20140101_074934

Seru, dan menarik banget. Sebab, seperti saya, mrs Rubin adalah seorang ibu (tapi dia dari dua org putri), istri dan senang menulis. Dia merasa hidupnya “gitu-gitu aja” dan dia menjalaninya juga dengan “gitu-gitu aja”. Enggak ada sesuatu yang dia lakukan untuk membuat hidupnya lebih berwarna.

Jadi kata tepat yang bisa menggambarkan kisah hidupnya adalah “hambar”. Dia tidak sedih, tapi juga tidak bisa mencapai kebahagiaan yang sebenarnya dia inginkan. Dia tidak berimprovisasi dengan hidupnya. Tidak memberikan yang terbaik buat dirinya.

Akhirnya dia memutuskan untuk membuat “THE HAPPINESS PROJECT” untuk sepanjang tahun. Dia merencanakan sebuah resolusi riil. Menurut saya resolusinya adalah sesuatu yang ajaib tapi cukup keren. Ok. Jadi, dengan matang, dia membuat perencanaan hidupnya seperti ini:
Januari: membangkitkan energi
Februari: mengingat cinta—memperbaiki hubungan, meningkatkan cinta dengan suaminya
Maret: Mencapai tujuan yang lebih tinggi
April: Membuat hari2nya lebih ceria
Dan sebagainya.

Detail, spesifik dan terencana.

Lebih menarik, karena saya menemukan paragraf ini:
“Other people’s radical happiness projects, such as Henry David Thoreau’s move to Wolden Pond or Elizabeth Gilbert’s move to Italy, India, and Indonesia, exhilarated me. The fresh start, the total commitment, the leap into the unknown—i found their quests illuminating, plus i got a vicarious thrill from their abandonment of everyday worries.

But my project wasn’t like that. I was an unadventurous soul, and i didn’t want to undertake that kind of extraordinary change. Which was lucky, because i wouldn’t have been able to do it even if i’d wanted to. I had a family and responsibilities that made it practically impossible for me to leave for one weekend. Left alone for a year.

And more important, i didn’t want to reject my life. I WANTED TO CHANGE MY LIFE WITHOUT CHANGING MY LIFE, by finding more happiness in my own kitchen. “

*kemudianHening*

Hmmm…bener juga ya. Gak usahlah mencari kebahagiaan dengan pergi lama, pergi jauh. Mosok enggak bisa menemukan kebahagiaan buat diri sendiri, di sarangnya sendiri?
**
Ada satu lagi paragraf di buku ini yang membuat saya manggut-manggut setuju:
“I’d heard the aphorism “Happy wife, happy life” or, put another way, “If Mama ain’t happy, ain’t nobody happy.” At first i’d thought that sounded great—yippie, it’s all about pleasing ME!—but if these sayings are true, it’s a tremendous responsibility.

I’d wondered whether my happiness project was selfish, because it seemed self -indulgent to concentrate on my own happiness. True, i do make other people happy when i tend to my own happiness—i was trying not to snap at Jamie and to laugh at his jokes. But it went beyond that. By being happy myself, i was better able to try to make other people happier.”

Jadi, berusaha untuk membahagiakan diri sendiri, ya enggak salah. Toh kalo kita happy, ujung-ujungnya bisa membuat
orang lain happy. Semacam memberdayakan diri sendiri, kemudian nantinya jadi mampu memberdayakan orang lain…hehe..

Mangga silakan dibeli bukunya, kemarin saya liat paperback-nya di Aksara juga ada, tapi harganya lebih mahal Rp 36 ribu daripada di Periplus. Hihihi…

Atau bisa juga buka-buka dulu http://gretchenrubin.com
**
Menurut saya buku ini cocok banget dibeli sekarang. Yes mumpung masih awal tahun, masih hangat-hangatnya membuat sebuah resolusi. Ya, siapa tau aja, ada kemajuan di resolusi kita, jadi engggak mandek seperti sebelum2nya. Hehe..

Dia juga memberikan banyak ringkasan berupa tips untuk meningkatkan energi, membuat orang lain menyukai kita, dan, ehem, berkomitmen dengan resolusi.

Lengkap dan bacanya bisa bikin senyam senyum sendiri…

Sesekali sambil bilang “I FEEL YOU”, heu. Sebab, sejak beranjak dari usia ABG ke usia mau-gak-mau-harus-bisa-mandiri, banyak dari teman-teman saya yang mengaku hidupnya gitu-gitu aja. Saya juga sih hahahaha…

Mungkin emang harus ada perubahan yang dibuat. Enggak usah besar-besar. The very smallest of change can make the biggest difference. Ya?

Well, HAPPY NEW YEAR 2014, good people.

2 responses »

  1. wah minaaahhh… baru aja dua hari lalu seorang murid yang dateng ke rumah gue ngasihin buku ini sambil bilang, “Bu, baca deh. Katanya sih buku bagus..” hahaha.. dan baru aja tadi gw ngelarin bab awal tentang buku ini trus buka WP eh ada review-nya juga. Pas awal baca, gue sempet mikir, apa emang kita manusia itu diciptain tukang ngeluh ya sampe rasanya apa-apa kurang, apa-apa iri, apa-apa ngeluh. Gotta finish this book really soon.. mumpung masih libur sekolah 😀 Thanks Nyak!

Leave a comment